Chapter 5

Petugas itu melangkah cepat menyusuri koridor rumah sakit jiwa yang sunyi. Langkahnya bergema di lantai marmer, bersahut dengan detak jantungnya yang tiba-tiba berpacu.

Sungguh, ia masih sulit mempercayainya, setelah sepuluh tahun berlalu, akhirnya ada seseorang yang datang… seseorang yang ingin menemui Miranda.

Ia menggenggam map laporan di tangannya lebih erat, lalu mempercepat langkah menuju ruang dokter Jodi. Ada campuran antara rasa penasaran dan haru di matanya.

Begitu sampai di depan pintu berpelat nama Dr. Jodi Alvin Narendra, petugas itu menarik napas dalam-dalam. Tangannya sedikit bergetar sebelum mengetuk permukaan kayu berwarna cokelat tua itu.

Tok… tok… tok.

“Permisi, Dok,” suaranya terdengar hati-hati, nyaris bergetar antara gugup dan tak sabar.

Di balik pintu, terdengar suara lembut namun tegas menjawab,

“Masuk saja.”

Petugas itu, memutar gagang pintu. Begitu pintu terbuka, aroma kopi dan antiseptik tipis menyambutnya, dan di sana, duduk di balik meja kerja yang rapi, tampak dr. Jodi..

Lelaki itu mengenakan jas dokter putih yang kontras dengan kemeja biru tua di dalamnya. Rambutnya tersisir rapi, wajahnya tenang, dengan sorot mata tajam namun menenangkan, sejenis tatapan yang membuat siapa pun merasa aman sekaligus segan. Garis rahang tegas dan senyum tipis di ujung bibirnya menambah pesona yang sulit diabaikan.

Ada wibawa yang alami terpancar darinya, bukan hanya karena ketampanannya, tapi karena caranya memandang seseorang, dalam, penuh perhatian, seolah benar-benar mendengarkan bahkan sebelum kata terucap..

Petugas itu melangkah masuk dengan hati-hati, menutup pintu di belakangnya. Suasana ruangan terasa hening, hanya terdengar suara detik jam di dinding dan gesekan lembut pena dr. Jodi yang sedang menulis sesuatu di map pasien.

“Dok,” ucapnya pelan, berusaha menahan nada bergetar di tenggorokannya.

Dr. Jodi mengangkat pandangannya. Tatapan matanya yang tenang langsung membuat siapa pun merasa kecil di hadapannya.

“Ada apa?” tanyanya, suaranya rendah tapi jelas, penuh wibawa.

Petugas itu menelan ludah, lalu menjawab dengan cepat,

“Tadi… ada seseorang yang datang, Dok. Katanya, dia ingin menemui pasien atas nama Miranda.”

Sejenak ruangan itu kembali hening. Pena di tangan dr. Jodi berhenti bergerak. Ia bersandar perlahan di kursinya, alisnya terangkat tipis, ada kejutan halus di wajahnya, namun segera tertutup oleh ketenangan khas seorang profesional.

“Menemui Miranda?” ulangnya pelan, seolah memastikan pendengarannya tak salah.

“Setelah sepuluh tahun…” gumamnya hampir tak terdengar.

Ia berdiri, merapikan jas dokternya, lalu menatap petugas itu dengan tatapan yang sulit diartikan, antara penasaran dan waspada.

“Baik. Antarkan orang itu ke ruang konsultasi saya,” katanya akhirnya, suaranya lembut tapi tegas.

Petugas itu segera mengangguk. “Baik, Dok.”

Ia berbalik dan melangkah cepat keluar dari ruangan, perasaannya sedikit berdebar. Ada semacam kehangatan aneh dalam pikirannya, setelah sekian lama, mungkin hari ini Miranda akhirnya bisa dijenguk oleh seseorang.

Namun begitu ia sampai di ruang tunggu, langkahnya terhenti mendadak.

Matanya menyapu sekeliling. Ruangan itu kosong.

Kursi yang tadi didudukinya masih terayun pelan, meninggalkan jejak samar kehadiran seseorang. Di atas meja, hanya tersisa secangkir kopi setengah habis, uapnya telah lenyap, menyisakan aroma pahit yang menggantung di udara.

Petugas itu menatap sekeliling, wajahnya kebingungan.

“Mas…?” panggilnya pelan. Tak ada jawaban.

Ia keluar ke koridor, menoleh kanan dan kiri. Tak ada siapa pun. Hanya suara langkah perawat di kejauhan dan desir angin yang masuk dari jendela terbuka.

Beberapa detik ia terpaku, sebelum akhirnya menelan ludah dan berbisik lirih,

“Tadi… dia benar-benar ada, kan? Masa iya hantu.”

Petugas itu kembali ke ruang dokter Jodi dengan langkah ragu, wajahnya pucat.

“Dok…” ucapnya perlahan, “orang yang tadi ingin menemui Miranda… dia sudah tidak ada.”

Dr. Jodi menatapnya dalam diam. Wajah tampannya yang biasanya tenang kini menegang, namun suaranya tetap lembut saat bertanya,

“Tidak ada? Maksudmu… pergi?”

Petugas itu menggeleng pelan. “Saya tidak tahu, Dok. Tapi bisa jadi.”

Hening.

Dokter Jodi menatap cangkir kopi yang kini sudah dingin di atas meja laporan pasien, lalu bergumam pelan,

“Seolah dia hanya datang untuk memastikan sesuatu… lalu menghilang.”

...----------------...

Hujan sudah berhenti ketika dokter Jodi melangkah keluar dari ruangannya. Udara sore itu lembap. Dari jauh, taman rumah sakit terlihat sepi, hanya suara burung gereja yang sesekali terdengar dari balik dahan flamboyan.

Langkahnya perlahan saat menyusuri jalan setapak menuju taman belakang, tempat Miranda biasa duduk. Sepatu hitamnya menginjak genangan kecil, menimbulkan riak samar.

Dan di sana, di bawah pohon flamboyan yang mulai meranggas, Miranda duduk seperti biasanya.

Seragam biru pucatnya basah di ujung lengan, tapi ia tidak tampak peduli.

Kedua tangannya memegang secarik kertas lusuh yang sudah mulai pudar tintanya.

Dokter Jodi berhenti beberapa langkah di belakangnya, tidak ingin mengusik. Namun sesuatu membuatnya diam lebih lama dari biasanya.

Senyum itu.

Senyum lembut yang jarang muncul, kini menghiasi wajah Miranda. Tapi kali ini… berbeda. Sesuatu yang sulit untuk dijelaskan.

“Mira…” panggil Jodi perlahan.

Gadis itu tidak menoleh. Matanya masih tertuju pada bangku kosong di depannya.

“Mas… akhirnya kamu datang, ya,” bisiknya lirih, suaranya nyaris tenggelam oleh hembusan angin.

Dokter Jodi menatap bangku kosong itu lama, lalu ke arah Miranda.

Senyumnya tak berubah, tapi di pipinya menetes satu bulir air mata.

“Sekarang aku tidak sendirian lagi,” ucapnya pelan, masih menatap bangku di depannya. “Aku tahu kamu pasti datang.”

Hening.

Langit sore mulai berubah jingga. Kelopak flamboyan jatuh satu per satu, menutupi tanah basah.

Dokter Jodi berdiri kaku, tidak tahu apakah harus menegur, atau sekadar ikut diam. Tapi di matanya, entah mengapa, ada sesuatu yang bergetar, sebuah perasaan asing yang tak bisa ia jelaskan.

Ia masih berdiri di belakang Miranda, memandangi punggung rapuh itu yang dibalut kain biru pucat. Angin sore berembus pelan, membawa aroma lembab dari tanah yang baru saja diguyur hujan.

Dan entah sejak kapan, setiap kali melihat gadis itu, dadanya selalu terasa sesak.

Ia tahu, perasaan itu tidak seharusnya tumbuh.

Seorang dokter tidak boleh melibatkan hati. Apalagi kepada pasiennya sendiri.

Namun tiap kali ia melihat Miranda duduk sendirian di bawah pohon flamboyan, tersenyum pada bangku kosong, ada sesuatu di dalam dirinya yang bergetar halus, seperti nada yang tersentuh tanpa sengaja, tapi terus bergetar lama.

Ia tidak tahu kapan tepatnya mulai peduli lebih dari seharusnya.

Mungkin saat Miranda pertama kali menatapnya dengan mata kosong, lalu perlahan tersenyum seperti menemukan seseorang yang dikenalnya.

Atau mungkin saat ia sadar, bahwa di balik segala halusinasi dan delusi itu… Miranda memiliki sisi yang begitu lembut, rapuh, dan nyata.

Setiap kali memeriksa denyut nadinya, Jodi selalu bisa merasakan sesuatu yang lain, bukan hanya detak jantung pasien, tapi juga detak jantungnya sendiri yang ikut berubah ritmenya.

“Kenapa kamu harus jadi pasienku, Miranda…” bisiknya nyaris tanpa suara.

Di kejauhan, suara daun basah yang jatuh terdengar pelan.

Miranda masih di sana, menatap bangku kosong dengan senyum tenang, seolah sedang berbicara pada seseorang yang tak terlihat.

Dan Jodi tahu… ia seharusnya menjauh.

Tapi langkahnya justru maju selangkah lebih dekat.

Ia menatap gadis itu lama, lalu berbisik lirih pada dirinya sendiri,

“Entah siapa yang lebih butuh disembuhkan sekarang… kamu, atau aku.”

Miranda menunduk, jarinya bermain-main dengan kelopak flamboyan yang mulai layu di pangkuannya. Hujan sudah berhenti, tapi udara masih menyisakan dingin yang lembab.

Lalu tiba-tiba, entah karena firasat atau kebiasaan yang sudah tertanam jauh di dalam pikirannya, Miranda menengok perlahan ke belakang.

Dan di sana, berdiri sosok yang membuat senyumnya muncul begitu saja.

“Mas dokter…” bisiknya lembut, bibirnya melengkung dalam senyum yang penuh keyakinan.

Mata itu, yang tadinya kosong, kini berpendar hangat.

“Kenapa berdiri disitu?.”

Dokter Jodi tertegun.

Udara di sekitarnya seolah berhenti sejenak.

Ia tidak segera menjawab. Hanya menatap Miranda dalam diam, tatapan yang seharusnya profesional, namun kini terasa terlalu pribadi.

Ada sesuatu di dalam dada Jodi yang bergetar pelan, seperti senar gitar yang disentuh tanpa sengaja.

Langkahnya terhenti di ambang batas antara realitas dan perasaan yang seharusnya tidak tumbuh.

“Saya hanya…” suaranya serak. Ia menelan ludah, berusaha menahan nada yang bergetar. “Saya hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja.”

Miranda tersenyum. Tatapannya lembut, tapi menyayat.

“Mas selalu seperti itu,” ujarnya, lirih namun penuh keyakinan. “Selalu khawatir, bahkan saat Mira cuma duduk di sini.”

Jodi menunduk pelan, seolah tak sanggup menatap mata itu lebih lama.

Ia tahu Miranda salah. Tapi bagian dirinya yang lain, yang rapuh dan kesepian, ingin percaya pada kebohongan lembut itu.

Bahwa iya, mungkin dalam semesta yang lain, ia memang suaminya..

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

“Kadang, cinta datang bukan untuk dimiliki, tapi untuk mengingatkan bahwa hati manusia tetap bisa bergetar, bahkan di tempat yang seharusnya sunyi.”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!