“Jadi… apa yang sebenarnya terjadi dengan kasus Miranda ini, Dok?” tanya sang perawat pelan. Nada suaranya terdengar ragu, seolah takut membangunkan kenangan yang seharusnya dibiarkan tidur.
Ia menatap ke arah dokter Jodi yang berdiri di depan jendela ruangannya, menatap hujan yang turun perlahan di luar sana.
Dokter Jodi tidak langsung menjawab. Hening sesaat, hanya suara detik jam dinding yang terdengar.
Akhirnya ia menarik napas pelan, lalu berkata,
“Kasus Miranda… bukan sekadar gangguan kejiwaan biasa.”
Perawat itu menatapnya bingung. “Maksud Dokter?”
Dokter Jodi menatap berkas di tangannya, lalu perlahan meletakkannya di meja. “Miranda mengalami schizoaffective disorder, sejenis gangguan yang membuat batas antara kenyataan dan khayalan di kepalanya nyaris hilang. Ia bisa tampak normal, bicara dengan tenang, bahkan tersenyum… tapi di kepalanya, dunia yang ia lihat tidak sama dengan dunia kita.”
“Jadi… semua yang ia alami selama ini, orang-orang yang katanya ingin menyakitinya, atau pria yang ia sebut ‘suami’ itu…”
Dokter Jodi mengangguk pelan. “Kemungkinan besar hanya proyeksi dari pikirannya. Dalam pikirannya, ia menciptakan sosok yang memberinya rasa aman. Karena di masa lalunya, Miranda kehilangan semua itu.”
Ia berhenti sejenak, suaranya menurun menjadi hampir berbisik.
“Sejak kecil, Miranda mengalami kekerasan. Dunia terlalu keras untuknya, jadi pikirannya menciptakan versi lain, tempat di mana ia masih bisa merasa dicintai. Tapi seiring waktu, batas itu hilang… dan ia terjebak di antara dua dunia.”
Perawat itu menelan ludah, matanya berkaca-kaca.
“Sepuluh tahun… dan dia masih di sana?”
Dokter Jodi menatap kosong ke luar jendela, menatap Miranda yang sedang terduduk dibangku taman rumah sakit.
“Ya,” katanya lirih. “Miranda tidak gila. Dia hanya… terlalu lama hidup di dalam pikirannya sendiri.”
Perawat itu menunduk, menatap berkas catatan di tangannya yang penuh coretan pemeriksaan lama.
“Jadi… artinya dia masih belum bisa membedakan antara realitas dan halusinasi, Dok?”
Dokter Jodi mengangguk perlahan. “Benar. Dalam kasus Miranda, batas antara persepsi dan kenyataan sudah kabur. Ia mengalami delusional episode yang berulang, di mana pikirannya menciptakan figur dan situasi yang terasa benar baginya, meskipun tidak pernah terjadi di dunia nyata.”
Ia berhenti sejenak, matanya tetap tertuju pada sosok Miranda di taman, gadis itu duduk diam di bawah pohon flamboyan, memandangi udara kosong dengan ekspresi damai.
“Yang membuat kasusnya rumit,” lanjutnya, “adalah karena ia bisa berfungsi secara sosial dalam waktu-waktu tertentu. Miranda bisa berbicara, menulis,melukis, bahkan tertawa… tapi di sela-sela itu, pikirannya masih terikat pada ilusi masa lalunya.”
Perawat itu menarik napas panjang. “Ilusi tentang pria yang ia sebut ‘suami’ itu?”
“Ya,” jawab dokter Jodi singkat. “Kami menyebutnya protective hallucination, halusinasi yang diciptakan oleh otak sebagai bentuk pertahanan diri. Ia butuh figur yang membuatnya merasa aman, dan pikirannya menghadirkan sosok itu setiap kali trauma masa lalunya muncul.”
Perawat itu terdiam lama, lalu berkata lirih,
“Jadi… sebetulnya yang Miranda lawan selama ini bukan orang lain, tapi dirinya sendiri.”
Dokter Jodi menghela napas, menatap langit mendung di luar jendela.
“Tepat sekali. Dalam banyak kasus, luka batin yang tidak disembuhkan akan mencari caranya sendiri untuk bertahan, kadang dalam bentuk kenangan, kadang dalam bentuk halusinasi. Miranda tidak kehilangan akal… ia hanya kehilangan batas antara rasa sakit dan kenyataan.”
Ia berbalik, menatap perawat itu dengan tatapan yang tenang namun dalam.
“Yang bisa kita lakukan sekarang hanya menjaga agar pikirannya tetap stabil, memberi ruang baginya untuk merasa aman. Karena pada dasarnya, orang seperti Miranda tidak ingin melarikan diri dari dunia, ia hanya ingin pulang ke bagian dirinya yang dulu pernah tenang.”
Taman rumah sakit sore itu terasa sunyi.
Angin lembut menggerakkan ranting flamboyan yang mulai meranggas, menebarkan kelopak merah di tanah. Di bangku kayu dekat kolam kecil, Miranda duduk seorang diri. Seragam pasien berwarna pucat itu kontras dengan kulitnya yang kini semakin pucat dan lemah.
Di pangkuannya, ada secarik kertas yang sudah kusut. Ia menatapnya lama, lalu tersenyum kecil, senyum yang entah ditujukan pada siapa.
“Sudah sore, ya, mas,” gumamnya pelan.
“Kopimu pasti sudah dingin.”
Suara itu lirih tapi hangat, seolah sedang berbicara pada seseorang yang benar-benar duduk di hadapannya. Padahal, bangku di seberangnya kosong.
Dari kejauhan, dokter Jodi memperhatikan dalam diam, sementara perawat di sampingnya hanya bisa menunduk dengan mata basah.
“Setiap sore, dia duduk di tempat yang sama,” ucap dokter Jodi perlahan, hampir seperti sedang menjelaskan sesuatu pada dirinya sendiri.
“Dia menyapa sosok yang tidak pernah datang. Dalam pikirannya, ‘suaminya’ itu masih hidup, masih menatapnya penuh cinta.”
Perawat menatap Miranda yang kini tertawa kecil pada udara kosong. “Dia terlihat bahagia, Dok.”
“Ya,” jawab dokter Jodi pelan. “Itu bagian paling ironis dari gangguan psikotik seperti miliknya. Ia menciptakan dunia yang menenangkannya, karena dunia nyata terlalu kejam untuk ditinggali.”
Sementara itu, Miranda mengangkat wajahnya ke arah langit yang mulai memerah.
“Hmm..hari ini aku baik-baik saja,” bisiknya dengan nada lembut. “aku bertemu dengan seseorang yang mirip denganmu.”
Lalu ia menutup matanya, membiarkan angin sore menyapu wajahnya.
Hening sesaat.
Di balik jendela, dokter Jodi menghela napas dalam. “Kadang,” ujarnya lirih, “penyembuhan bukan tentang mengembalikan seseorang ke dunia nyata, tapi memastikan dunia yang ia ciptakan tidak lagi menyakitinya.”
Perawat itu menatap dokter Jodi, lalu kembali memandang ke arah taman, di mana Miranda masih duduk berbicara sendiri dengan udara sore.
“Saya selalu penasaran, Dok…” katanya pelan. “Keluarganya… kenapa mereka tidak pernah datang menjenguk? Sepuluh tahun bukan waktu yang sebentar.”
Dokter Jodi terdiam cukup lama sebelum menjawab. Tatapannya tak beralih dari jendela. “Pertanyaan yang sama juga saya pikirkan bertahun-tahun, Sinta,” ujarnya lirih. “Tapi setiap kali kami mencoba mencari catatan identitas lengkapnya, selalu ada yang hilang.”
“Hil—hilang, Dok?”
“Ya. Tidak ada data orang tua, tidak ada alamat, bahkan catatan kependudukan terakhirnya tidak ditemukan di sistem. Hanya nama. Miranda.”
Perawat itu mematung. “Jadi… dia benar-benar sendirian di dunia ini?”
Dokter Jodi menggeleng pelan. “Tidak sepenuhnya. Di dalam pikirannya, dia tidak pernah sendiri. Dunia yang ia bangun sudah memberinya tempat pulang, meskipun bukan di sini.”
Sinta menelan ludah, berusaha memahami maknanya.
“Tapi bagaimana mungkin, Dok… kalau semua data bisa hilang begitu saja?”
“Dalam kasus kejiwaan ekstrem,” jawab dokter Jodi sambil menarik napas panjang, “pikiran manusia punya kemampuan luar biasa untuk melindungi dirinya. Kadang, trauma begitu besar sampai ia menutup semua pintu kenangan yang bisa melukainya. Miranda bukan hanya melupakan keluarganya, dia menghapus seluruh kehidupan lamanya.”
Ia berhenti sejenak, menatap Miranda yang kini berdiri di bawah pohon flamboyan, memunguti kelopak bunga satu per satu dan menyusunnya di pangkuannya, seolah sedang membuat persembahan untuk seseorang yang tak terlihat.
“Lihat itu,” ujar dokter Jodi pelan. “Setiap sore dia melakukan hal yang sama. Katanya, suaminya suka bunga warna merah. Padahal… kita tak pernah tahu apakah sosok itu benar-benar ada.”
Sinta menghela napas panjang, hatinya terasa sesak. “Kalau begitu… mungkin bagi Miranda, dunia yang dia ciptakan bukan sekadar pelarian, tapi satu-satunya tempat di mana dia masih bisa merasa dicintai.”
Dokter Jodi menatapnya dengan mata sendu.
“Ya,” katanya pelan. “Dan ironinya, mungkin itulah satu-satunya bagian dari dirinya yang benar-benar waras.”
Hening sejenak.
Di luar, senja menurunkan cahaya lembutnya ke atas taman. Miranda masih duduk di sana, memegang kelopak bunga flamboyan, menatapnya seolah sedang berbicara pada seseorang yang hanya bisa ia lihat.
Lalu dengan suara hampir seperti doa, ia berbisik,
“Mas… jangan lama-lama ya. Aku masih menunggu kamu.”
******
Sementara di tempat lain, di sebuah kafe di sudut kota, Damar duduk terpaku di dekat jendela.
Di depannya, secangkir kopi hitam mengepulkan aroma samar, uapnya menipis, menandakan kopi itu sudah lama dibiarkan dingin.
Tatapannya kosong, menembus kaca jendela yang buram oleh embun sore.
Ia menghela napas panjang, menggenggam cangkirnya tanpa benar-benar bermaksud meminumnya.
Bayangan wajah Miranda melintas di benaknya, tatapan mata pucat yang kala itu ia lihat di depan rumah, suara serak gadis itu saat menyebut namanya sendiri, dan senyum tipis terakhir sebelum mobil rumah sakit membawanya pergi.
Sejak hari itu, ada sesuatu yang ganjil di dalam dirinya, sebuah perasaan yang tak bisa ia beri nama.
Antara iba, kehilangan, dan rasa bersalah yang samar.
“Astaga, Dam… kenapa jadi kepikiran gadis itu lagi,” gumamnya pelan, mengusap wajah dengan kedua telapak tangan.
Ia meneguk sisa kopi yang sudah dingin, pahitnya menempel di lidah, sama seperti rasa sesak yang belum mau hilang.
Mungkin seharusnya ia tak perlu mencampuri urusan orang asing, apalagi gadis aneh yang tiba-tiba muncul di depan rumahnya hari itu. Tapi ada sesuatu pada Miranda yang membuatnya tak bisa begitu saja melupakan,tatapan kosongnya, cara ia memegang sendok seolah sedang takut menjatuhkannya, atau suara lirihnya yang bergetar setiap kali mencoba bicara.
Damar menatap keluar jendela lagi. Langit sudah berwarna kelabu.
Sebuah ambulans melintas di jalan, sirinenya melengking sebentar sebelum suara itu perlahan menjauh.
Entah kenapa, dada Damar ikut menegang mendengarnya.
Ia mencondongkan tubuh, menatap bayangannya sendiri di kaca.
“Dia masih di sana, kan?” bisiknya, lebih kepada dirinya sendiri. “Dia .. baik-baik saja kan?”
Dan untuk alasan yang bahkan tak ia pahami, dada itu berdebar lebih cepat saat kalimat itu terucap.
Damar menarik napas panjang, menatap sisa kopi di hadapannya yang kini benar-benar dingin. Ia menatap kosong beberapa detik sebelum akhirnya berdiri, meraih jaketnya yang tergantung di kursi.
“Ini konyol…” gumamnya pelan, tapi langkahnya justru bergerak menuju pintu keluar.
Di luar, langit tampak kelabu, seolah menahan hujan. Udara sore itu dingin dan beraroma tanah basah. Ia berjalan cepat menuju motor nya, menyalakan mesin dengan tangan yang sedikit gemetar. Entah kenapa, ada dorongan kuat di dalam dirinya, sebuah rasa tak tenang yang menuntunnya untuk pergi ke tempat itu.
Rumah Sakit Jiwa Harapan Insani.
Nama itu muncul begitu saja di pikirannya, seperti bisikan yang tak diundang.
Perjalanan menuju sana terasa panjang, meski jalanan lengang. Setiap kali ia berhenti di lampu merah, bayangan wajah Miranda muncul lagi di kepalanya, senyum samar itu, tatapan kosong yang entah memanggil atau mengusir.
Saat akhirnya sampai, gerimis mulai turun. Damar mematikan mesin motor dan menatap bangunan besar di depannya. Cat dindingnya pudar, tapi taman di halamannya tampak rapi.
Dan di tengah taman itu… ia melihat seseorang duduk sendirian di bangku panjang, mengenakan baju pasien warna biru pucat. Rambutnya terurai, wajahnya menunduk.
Hatinya berdebar.
“Miranda…”
Ia menelan ludah, lalu melangkah pelan ke arah pagar pembatas. Petugas di pos jaga menatapnya curiga.
“Maaf, mas… mau ke mana?”
Damar menatap petugas itu, lalu berkata pelan, “Saya cuma ingin bertemu seseorang. Namanya Miranda.”
Petugas itu menatapnya lama, seolah tak percaya menilai niatnya.
“Miranda?” ulangnya. “Anda keluarganya?” dalam hati petugas itu membatin, "baru kali ini ada seseorang yang mau bertemu dengan neng Mira."
Damar terdiam. Hujan mulai turun deras.
Setetes air jatuh dari rambutnya ke pipi, tapi bukan itu yang membuat dadanya terasa berat.
“Bukan,” jawabnya pelan. “Saya cuma… pernah menolongnya.”
Petugas itu menatapnya lagi, sebelum akhirnya menunduk, menulis sesuatu di buku tamu.
“Kalau begitu, tunggu sebentar. Saya panggilkan dokter yang menangani dia.”
Damar mengangguk, lalu menatap kembali ke arah taman.
Miranda masih di sana. Diam. Tak bergerak. Tapi di antara tirai hujan, Damar yakin, perempuan itu tahu ia datang.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
“Tidak ada yang benar-benar gila, hanya ada yang tak lagi mampu kembali dari pikirannya sendiri.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments