Chapter 2

“Dokter!” panggil seorang perawat datang menghampiri kami. Dan seketika dokter Jodi menoleh.

“Iya kenapa sus?” tanyanya, ia langsung berdiri dari duduknya, menatap pada suster yang memanggilnya barusan.

“Ada pasien mengamuk dok, di kamar 033” Jawab suster itu sambil menyerahkan beberapa lembar kertas pada dokter Jodi.

Terlihat dokter Jodi menerimanya dan langsung memeriksanya seraya bergegas pergi begitu saja, dan di ikuti oleh suster di belakangnya.

Huft!!

“Akhirnya.. dokter Jodi pergi juga.” ucapku merasa lega. Jujur saja dari tadi aku berusaha menyembunyikan kegugupanku pada dokter Jodi. Kenapa juga sekarang setiap kali aku bersamanya hatiku seakan berdetak lebih cepat gak karuan. Apa aku harus keluar dari sini? Dan memulai hidup baru? Gumamku pelan.

“Hmm... Baiklah! Mungkin ini saatnya untuku memulai kembali hidupku setelah sepuluh tahun lamanya aku disini. Aku kan udah gak gila..”

Aku bergegas masuk kedalam, berjalan melewati lorong rumah sakit. Bagi sebagian orang mungkin rumah sakit jiwa itu tempat yang menyeramkan, yang di penuhi oleh orang orang gila. Namun bagiku disini aku bisa menjadi apa yang aku inginkan, tanpa perlu takut akan penilaian orang orang.

Langkahku terasa ringan namun pasti, menembus kesunyian yang hanya sesekali dipecah oleh suara langkah kaki perawat dan bisikan pasien yang berbicara dengan teman khayalan mereka. Aku tahu, di luar sana, dunia telah berubah. Teknologi telah maju, masyarakat telah berubah, dan aku... aku telah tertinggal, tertinggal sangat jauh.

Namun, ada sesuatu yang menghangatkan hatiku. Di sini, di antara dinding-dinding yang telah menjadi saksi bisu, aku telah menemukan kekuatan untuk berdiri sendiri. Aku telah belajar untuk mencintai diriku sendiri, dengan segala kekurangan dan kelebihanku.

“Oke, aku akan keluar dari sini.. maaf kan aku ya dok. Aku tidak berpamitan dulu dengan mu. Jujur aku takut, takut perasaan ini terus tumbuh, karena aku menyadari satu hal, aku mencintaimu dokter Jodi.” Gumamku pelan.

Perlahan, aku mulai membereskan barang barangku, memasukan nya kedalam ransel. Sudah sejak satu bulan yang lalu aku sudah diperbolehkan untuk pulang, karena kondisiku yang memang sudah sangat baik. Namun aku selalu menolak dengan alasan aku tidak punya keluarga dan tempat tinggal. Namun hari ini aku memutuskan untuk pergi.. keluar dari sini. Aku tidak ingin bertemu lagi dengan dokter Jodi. Aku tidak ingin merasakan jatuh cinta lagi. Jujur, aku benci perasaan ini. Kenapa aku harus jatuh cinta?

Dengan setiap lipatan pakaian yang kumasukkan ke dalam ransel, kenangan tentang dokter Jodi ikut terlipat. Setiap senyum, setiap kata semangat, dan setiap tatapan yang pernah membuat hatiku berdebar, kini harus kutinggalkan. Aku tahu, perasaan ini tidak boleh tumbuh lebih dalam. Aku tidak boleh terikat pada seseorang yang hanya seharusnya menjadi penolong dalam kesembuhanku.

Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menguatkan hati. Aku harus melangkah maju, meninggalkan masa lalu dan segala keterikatanku di sini. Aku harus menemukan kehidupan baru, sebuah tempat di mana aku bisa memulai segalanya dari nol.

Saat aku melangkah keluar dari kamar itu, aku tidak menoleh lagi. Aku tidak ingin melihat kembali ruangan yang telah menjadi rumahku selama sepuluh tahun. Aku tidak ingin melihat dokter Jodi, yang mungkin sedang sibuk menolong pasien lain, yang mungkin tidak pernah menyadari betapa dalamnya perasaanku padanya.

Saat aku melangkah keluar dari pintu rumah sakit jiwa itu, sungguh rasanya.... Luar biasa!!

Aku menatap ke sekeliling, banyak orang berlalu lalang, mereka sibuk dengan aktivitasnya masing-masing.

"Rumahku... Mmm.. dimana ya? Ko aku jadi bingung!" ucapku sambil celingukan ke kanan dan ke kiri. Tanpa sadar aku terus melangkah pergi tanpa tau arah tujuan, sepanjang jalan orang-orang menatapku heran. "Kenapa orang-orang menatapku seperti itu? Apa aku aneh? Kenapa mereka menertawakan ku?" gumamku heran.

......................

Sementara itu, di rumah sakit jiwa, suasana mendadak ricuh. Beberapa perawat berlari kecil di sepanjang koridor, wajah mereka pucat dan panik. Seseorang baru saja menyadari, salah satu pasien hilang dari kamarnya.

“Dok! Dokter Jodi! Gawat, Dok!” seru seorang perawat sambil berlari tergesa menyusuri koridor. Nafasnya tersengal saat tiba di depan dokter Jodi yang baru saja menutup catatan medis pasiennya.

Dokter Jodi menatap heran, alisnya terangkat. “Gawat kenapa, Sus?” tanyanya dengan nada tenang, meski matanya mulai tajam.

Perawat itu menelan ludah, wajahnya pucat. “Itu, Dok… pasien kesayangan Dokter Jodi… kabur lagi!”

“Hah? Maksud kamu… Miranda?” suara Dokter Jodi meninggi, matanya langsung menatap tajam ke arah perawat.

Perawat itu mengangguk cepat, wajahnya tegang. “Iya, Dok… Miranda. Siapa lagi yang bisa bikin kita segaduh ini, kalau bukan dia?”

Dokter Jodi menghela napas panjang. Ini sudah kali ketiga Miranda kabur dari rumah sakit. Ia memijat pelipisnya, menahan rasa lelah yang mulai menumpuk.

Perawat di depannya ikut geleng-geleng kepala. “Saya heran, Dok. Pasien satu itu aneh banget. Kelihatannya waras, ngomongnya juga nyambung, tapi tiba-tiba… bisa berubah. Kalau dibilang gila, rasanya juga nggak pas. Dia terlalu sadar untuk disebut orang gila.”

“Makanya dia dirawat di sini, Sus,” balas Dokter Jodi sambil menyilangkan tangan di dada, nada suaranya setengah pasrah.

Perawat itu terkekeh pelan. “Iya juga ya, Dok. Tapi tetap aja aneh. Dia udah di sini sepuluh tahun, tapi rasanya… nggak pernah benar-benar sembuh.”

“Terus sekarang gimana, Dok?” tanya sang perawat, suaranya cemas tapi bingung.

Dokter Jodi menghela napas, lalu menjawab datar, “Ya dicari, Sus. Masa mau nunggu dia balik sendiri?

“Oh iya… siap, Dok! Laksanakan!” ucap sang perawat, berusaha menutupi kepanikannya dengan nada bercanda. Ia segera berbalik, melangkah cepat menyusuri lorong rumah sakit yang panjang dan remang.

Suara langkah kakinya bergema di antara dinding dingin berwarna pucat. Lampu neon di langit-langit berkelap-kelip, sesekali memantulkan bayangan yang tampak bergerak sendiri.

Dokter Jodi menatap punggung perawat itu hingga menghilang di tikungan, lalu menatap sekilas ke arah papan nama di pintu kamar pasien. “Miranda. Ruang 17B.”

Ia bergumam pelan, nyaris seperti berbicara pada dirinya sendiri.

“Kamu kabur lagi, Mira… tapi sampai kapan kamu bisa bersembunyi?”

Senyum samar muncul di sudut bibirnya, entah antara kesal atau penasaran. Lalu ia melangkah pergi, meninggalkan koridor yang kini terasa lebih sunyi dari sebelumnya.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

“Kadang, yang dianggap gila hanyalah mereka yang terlalu lama berjuang untuk tetap waras di dunia yang tak pernah memahaminya.”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!