Pagi itu kayla masuk sekolah lebih pagi karna jadwal piket ia berjalan malas melewati lorong kelas yang masih sepi.
Saat Kayla mendorong pintu kelas, seember air comberan yang dipasang di atas pintu roboh — jeda sesaat, lalu byuur! Air kotor menguyur tubuhnya.
Bau busuk menyengat, basahan pekat merayap ke baju dan rambutnya.
“Brengsek!” teriak Kayla seketika, suaranya meledak karena jijik dan marah.
Keriuhan langsung pecah. Murid berdatangan, mulut-mulut terbuka, ponsel-ponsel sudah diangkat untuk merekam. Seno melotot di pojok, lalu tertawa sinis. “Lo kenapa, Kay?” ejeknya sambil ngakak.
Kayla menatap tajam, matanya berapi. “Diem lo, bangsat,” balasnya, suaranya penuh ledakan.
Papan tulis di depan dipenuhi coretan: besar-besar, kasar—“Ganggu gue, lo akan gue ganggu lebih parah lagi — XL.” Tulisan itu menempel seperti ancaman yang melekat di udara.
Seno menunjuk sambil geleng-geleng. “Lo bikin masalah mulu sama si Axel. Kay, udah tahu dia paling ditakuti di sekolah ini.” Nada ejekan di suaranya seperti garam di luka.
Kayla berdiri, air menetes dari ujung rambutnya. “Siapa yang bikin ulah, anjing? Gue cuma kasiin surat dari guru,” jawabnya sambil menepuk badan untuk menyingkirkan bau busuk.
Seno mendongak. “Kemarin-kemarin lo tendang motornya sampe jatuh.” Ucapnya seperti mengulang berita yang bikin mulut murid lain berbisik.
Kayla menutup mulutnya rapat, napasnya berat. “Berisik, akh. Kesal gue,” gumamnya lalu mulai sibuk menyeka lantai dengan kain yang dia dapat dari pojok kelas.
Geng-nya datang dan suasana makin heboh. Anya membuka matanya lebar. “Ya ampun, apa ini?” Ia menatap Kayla prihatin.
“Kay, lo bau banget,” ujar Laras, setengah geli, setengah jijik.
“Ganti baju yuk,” tawar Salsa, praktis seperti selalu siap sedia.
Kayla mengangkat bahu. “Gue harus beresin ini dulu, Sa.” Malas tapi tegas, dia tak mau meninggalkan jejak kotor di kelas.
Seno yang masih kesal sambil pergi menimpali, “Beresin lah, dasar cewek bikin masalah mulu.”
Seketika Kayla balik dan menampar Seno. “Anjing lo ya jadi cowok!”
pukulannya membuat Seno terkejut, tangannya memegang pipi yang sakit.
“Lo yang bikin ulah, lo yang mukul, brengsek!” Seno ingin membalas nya.
Anya cepat meraih tangan Kayla. “Kay, udah! Nanti lo dipanggil BK lagi, kita bantuin lo kok.” Suaranya menenangkan, tapi Kayla hanya mengumpat kecil sambil melanjutkan bersih-bersih.
Murid-murid bekerja cepat: meja disusun, lantai disapu, papan tulis dihapus hingga bersih. Bau kotor mulai memudar, tapi sisa malu dan panik masih menempel.
Setelah urusan beres, Kayla sempat mengganti baju—beruntung hari itu ada olahraga. Ia melangkah ke lapangan basket dengan langkah yang masih dingin, tubuhnya lelah tapi matanya nyala.
~~°°°°°°~~
Axel sudah ada di sana, berdiri seperti kobra yang siap menyerang, senyum sinisnya melayang di udara.
Tanpa basa-basi, Kayla melangkah, meraih bola dari tangan David, dan melemparnya — keras — tepat ke dada Axel.
“Lo kenapa, kerasukan?” ejek Axel, suaranya bercampur tawa.
“Ulah lo tadi nggak lucu!” jawab Kayla, suaranya pecah.
Axel dan dua temannya, David dan Niko, cuma nyengir. “Lo mandi nggak sih? Masih bau, anjir,” cemooh Axel sambil cengengesan.
Kayla nggak tahan. Ia maju, meninju Axel sampai dia jatuh terpental.
Dengan amarah yang meledak, Kayla menindih tubuh Axel, menumbuknya berulang-ulang.
Suasana seketika berubah jadi tontonan—siswa berkumpul, sorak-sorai berbaur dengan teriakan.
Axel meraih tangan Kayla, memelintirnya, lalu membalas pukulan. “Lo pikir gue nggak bisa pukul lo?” ia meneriakkan, napasnya panas, marahnya membara.
“Lo keterlaluan! Anjing, gue salah apa?” teriak Kayla sambil berusaha lepas.
Axel mendekat sampai hampir berbisik, nada suaranya licik. “Salah lo, terlalu berani sama gue.” Senyum nakal itu seperti cambuk.
Kayla menginjak kaki Axel dengan tenang. “Lo makan nasi, bukan batu. Ngapain gue takut?” jawabnya, suaranya dingin, keras.
Axel meringis. “Aww sakit, brengsek lo!” suaranya penuh rasa sakit dan malu.
Keributan tak bisa diabaikan. Keduanya dipanggil menuju ruang BK. Di sana, suasana tenang sekolah kontras dengan napas yang masih tersengal.
Pak Asep, guru BK, membuka pembicaraan dengan suara tegas. “Siapa yang mulai duluan?”
Kayla menjelaskan: “Pa, dia tadi naro air comberan di kelas. Baju saya basah dan bau.” Wajahnya masih menegang, suara sedikit bergetar tapi penuh bukti.
Pa asep menatap defensif. “Benar itu,axel?,"
“Dia yang mulai, Pa — tendang motor saya.”
Suara Kayla naik lagi. “Lah, lo yang nyenggol motor gue.”
Ketegangan berubah jadi pertukaran tuduhan. Axel menambahkan dengan panik kecil, “Dia juga ancam mau bakar rumah saya, Pa.” Kata-kata itu membuat Axel sendiri tercengang saat menyadari betapa serius klaimnya.
Pak Asep menatap Axel. “Benar, Axel?” tanyanya.
Axel mengeluarkan senyum kaku. “Saya cuma bercanda, Pa,” katanya, nada memohon.
Pak Asep menimbang semuanya. Hasilnya adalah hukuman: menulis. “Kalian dihukum: Kayla 10 lembar, Axel 100 lembar.”
Axel langsung memohon, napasnya tercekat. “Pak, ini banyak. Jangan gini, Pak.” Suaranya bergetar, badan sedikit gemetar.
Pak Asep menegaskan jam pelayanannya. “Kamu mukul cewek, Axel. Seharusnya kamu lebih dewasa.
Tapi lihat kondisi, Kayla juga kena. Jadi penyelesaian ini adil.”
Kayla menekan rahangnya, matanya masih berkilat. “Tapi dia yang mulai, Pa. Lihat pipi saya yang sakit!” bantah Axel lagi.
Akhirnya keputusan ditengahi: “Ya sudah, 50 lembar masing-masing. Pergi ke perpustakaan dan kerjakan. Jangan ulangi keributan seperti ini.”
Keduanya menunduk, napas masih berat.
Di luar ruang BK, bisik-bisik siswa kembali berputar—ada yang bersimpati, ada yang mengutuk, banyak yang hanya ingin melihat drama berikutnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments
Mutia Kim🍑
Si Axel juga nyari gara-gara mulu dah, tau kesabaran Kay itu tipis kek tisu dibagi 3
2025-10-14
0
mama Al
ahaaay cobra nya berani ama cewek 😄
2025-10-14
1
Mutia Kim🍑
Gimana klo mereka nikah ya, mungkin Kay sama Axel bakalan perang dunia mulu😅
2025-10-14
0