chapter 3

Malam itu rumah Kayla berdenyut dengan ketegangan yang tak kasat mata. Di ruang tamu, lampu hangat memantul di wajah Bu Wida yang lelah. Ia menggeleng pelan sambil menatap putrinya yang baru duduk di sofa.

"Ya ampun, kamu Kayla berulah lagi," gerutu ibunya, ujung suaranya penuh kekhawatiran sekaligus penat.

Kayla menyikut bahu, nada suaranya datar tapi membela diri. "Dia yang mulai, mah. Kesel juga aku." Matanya masih menyimpan bara kemarahan dari bentrokan kemarin.

Bu Wida menghela napas panjang, bibirnya menegang. "Jadi mamah harus ke BK lagi besok? Cape, mamah tuh, Kay. Kamu bertingkah banget." Suaranya mengeras, tapi lebih karena lelah daripada marah sungguhan.

Kayla mendelik tajam, melipat tangan di dada. "Ya Kayla di hajar masa diam aja sih gimana, mamah ini." Nada protesnya penuh kebanggaan yang konyol - keras kepala yang tak mau dibungkam.

Bu Wida memutar matanya lalu berdiri. "Ya udah, awas kalo kejadian lagi, cape mamah. Akh, udah jangan sekolah, nikah aja - pusing mikirin kamu." Ucapannya ketus ketika ia melangkah masuk kamar, menutup pintu dengan suara yang menahan amarah.

Kayla menahan senyum sinis ketika pintu tertutup. "Yee, tiap kali gini nyuruh nikah mulu. Gak pengen gitu anaknya sukses?" gumamnya, separuh kesal, separuh mengejek nasihat ibunya. Ia kemudian masuk ke kamarnya, menampar pintu perlahan sebelum duduk di kasur, merasakan sakit badan yang masih baru.

                °°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°

Keesokan paginya Kayla menyelinap masuk kelas dengan langkah lamban.

Wajahnya lebam; bekas pukulan menghitam di sekitar matanya, lehernya kaku, lengan dan tubuhnya penuh memar. Ia duduk, menepuk pelan pipinya, menahan rasa sakit.

"Aduh, anjir badan gue sakit banget," keluhnya lirih, suaranya tipis saat ia menutup mata sejenak.

Anya yang duduk di depannya menatap prihatin. "Parah banget kemaren lo kelahi," katanya sambil mencondongkan badan.

Kayla menelungkup di meja, suara napasnya berat. "Lemes banget," bisiknya.

Salsa mengernyit, heran melihat Kayla hadir padahal jelas sakit. "Kenapa lo masuk kalo sakit?" tanyanya.

"Males di rumah. Orang tua gue ngomel-ngomel mulu," Kayla jawab singkat, menutup wajahnya dengan lengan seperti mencari kenyamanan yang tak ada.

Salsa cuma tersenyum sinis, paham betul siapa Kayla: keras kepala, bikin ulah, tapi tak mau dikekang.

                     °°°°°°°°°°°°°°

Saat pelajaran kedua selesai, seorang guru menghampiri meja Kayla. Wajah guru itu tegas namun sopan ketika menyerahkan selembar kertas.

"Kayla, nitip surat buat orang tua Axel. Dia dua hari nggak masuk tanpa keterangan," kata guru itu sambil menaruh surat di hadapan Kayla.

Kayla mengangguk malas, menerima surat itu seperti menerima beban ringan. "Iya, Pak," jawabnya datar.

                   °°°°°°°°°°°°°°°

Sore hari, langkah Kayla berat ketika ia melangkah memasuki rumah besar keluarga Axel. Koridor berkilau, pot tanaman rapi, tapi udara di dalam terasa dijaga.

Bu Ami menyambutnya dengan senyum hangat yang kebingungan melihat wajah Kayla.

"Ekh, Kayla, ada apa?" sapa Bu Ami ramah, suaranya penuh kepedulian.

Kayla menahan napas, menyodorkan surat dengan senyum tipis yang menyembunyikan gugup. "Ini, Bu. Surat dari guru BK. Axel dua hari nggak masuk katanya."

Mata Bu Ami melotot sedikit. "Apa? Tapi Axel pergi kok, diantar papa-nya," jawabnya, kaget dan bingung.

Kayla menekan sudut bibir, pura-pura santai. "Ya nggak masuk, Bu. Bolos." Senyumnya jadi lebih licik, seolah sedang menabur garam di luka yang tak tampak.

Bu Ami tertawa kecil, setengah cemas. "Astaghfirullah, si Axel memang... Makasih ya, Kayla. Mau masuk dulu?" ucapnya, ramah.

"Nggak, Bu. Langsung pulang aja," Kayla buru-buru menjawab, matanya melirik ke arah yang mungkin menampilkan Axel.

Ia takut berpapasan; ia tak mau suasana meledak di lorong mewah itu.

                     °°°°°°°°°°°°°°°

Keesokan harinya Axel kembali ke sekolah. Hari itu, ia tampak seperti badai kecil yang mendekat - murka, dingin, dan penuh dendam.

Ketika Kayla melangkah keluar gerbang setelah pulang sekolah, suara motornya dihentikan oleh sekelompok cowok yang menutup jalan.

"Turun lo," suara Axel memerintah, dingin dan ketus.

Kayla menatap balik, napasnya tenang tapi ada bara di mata. "Mau apa lo?" tanyanya datar.

Axel melangkah maju, memegang erat surat yang dilempar ke arah Kayla. "Lo kasih surat ke ibu gue," suaranya bergetar kesal. "Lo ngapain masukin surat sekolah ke rumah gue?"

Kayla mengangkat bahu, wajahnya menantang. "Lah, gue disuruh guru. Ya gue kasih lah. Ngapain disimpen di rumah gue?" jawabnya, nada penuh ejekan.

Axel mampir di depan Kayla, napasnya mendesak. "Lihat aja, gue bakar rumah lo!" ia mengancam, suaranya tajam.

Kayla tak terintimidasi, malah menyeringai. "Bakar aja. Nggak takut. Gue bakal bakar pabrik bapak lo juga," jawabnya, suaranya dingin seperti pisau. Ia melipat tangan di dada, menahan amarah yang terkontrol.

Axel mencibir, senyum sinis di bibirnya. "Lu parah, anjing jadi cewek," ejeknya, mencoba merendahkan.

Kayla menatapnya lurus, suaranya dingin dan menantang. "Parah gimana? Gue harus takut sama lo? Najis, emang lo tuhan?" Ia menutup kata-katanya dengan tawa kecil yang sinis, lalu melangkah mendekat, wajahnya amat tenang - luka-luka fisik tak memadamkan api di dadanya.

Axel mengancam lagi, matanya menyala. "Kalo bukan cewek gue, gue hajar lo."

Kayla menatap balik, datar. "Hajar aja. Gue nggak takut." Kata-katanya tajam, tapi tenang seperti batu besar.

Temen-temen Axel tertawa, menunjuk wajah Kayla yang lebam.

"Muka lo udah bonyok gitu, dasar tukang cari masalah," ejek David, suara mereka penuh kemenangan sementara Axel duduk di atas amarahnya sendiri.

Kayla hanya tersenyum tenang, seolah menyimpan sesuatu yang lebih berbahaya daripada pukulan. "Emang lo nggak? Kalo bukan karena ayah gue, lo udah masuk penjara berapa kali coba," ucap Kayla, bariton suaranya menempelukan kenyataan yang tak bisa dipatahkan.

Axel terdiam - kata-kata itu menusuk tajam sebab ia tahu, terima kasih pada ayah Kayla-lah ia sering lolos dari jerat hukum.

Kayla menatapnya dingin, dan sebelum suasana bisa pecah, ia melangkah mundur perlahan, meninggalkan Axel yang masih membeku.

"Kenapa diam? Ngga berani ya?" teriaknya saat Kayla menjauh.

Kayla menoleh sekali, senyum meremehkan di bibirnya. "Gue tunggu pembakaran rumah gue soal-nya. Gue udah siapin granat buat ancurin pabrik lo," ucapnya lugas, seolah melemparkan sebuah bom kata yang membuat udara seketika beku.

Axel hanya bisa menendang kerikil, berkata setengah melontar, setengah marah: "Cewek anjing."

Kayla melangkah pergi dengan langkah tegap, darahnya mendidih, tapi wajahnya tetap dingin.

Di dadanya ada tekad-bukan cengeng, bukan penakut-yang siap bayar apa pun demi harga diri.

Terpopuler

Comments

Shin Himawari

Shin Himawari

maksud mama baik Kay, eh tapi di usia Kayla juga aku pikirnya gini. Lu jual gue beli🤣 🤣

2025-10-19

0

☠🦋⃟‌⃟𝔸𝕥𝕙𝕖𝕟𝕒 ⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘ

☠🦋⃟‌⃟𝔸𝕥𝕙𝕖𝕟𝕒 ⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘ

biar gk bolak balik dan capek gmn klo mama ngontrqk aj di kantin sekolah jd klo di panggil guru Bk jln nya gk jauh ma 😂😂😂

2025-10-16

0

@dadan_kusuma89

@dadan_kusuma89

Kalau bukan calon istri, udah gue hajar Lu! Gitu dong, Xel!😁

2025-10-16

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!