Setelah pintu tertutup, Arga kembali duduk di depan cermin. Wajahnya kembali datar. Ia menatap bekas tangannya yang tadi meremukkan kaleng logam.
"Kalau suatu hari nanti semua ini meledak... semoga aku masih bisa ingat cara tersenyum," bisik Arga pelan.
Tangannya mengepal, namun kali ini bukan karena amarah, tapi karena tekad yang mulai tumbuh dalam diam.
Setelah beberapa detik termenung di tepi kasur, Arga akhirnya bangkit. Ia kenakan pakaian seadanya—celana panjang kusam dan kaus oblong lusuh—lalu melangkah keluar kamar dengan kepala sedikit tertunduk.
“Ingat! Kalau pulang harus bawa uang,” bentak istrinya Bagas dari dalam dapur. Suaranya tajam, seakan memotong udara pagi.
Di dapur, Rindi hanya bisa menatap Arga dengan raut prihatin. Ia ingin berkata sesuatu, tapi lidahnya terasa berat. Ia tahu, Arga tak punya pilihan selain pergi. Tatapannya lemas, tak berdaya, tapi jelas menunjukkan simpati pada sepupunya yang harus keluar rumah dengan tekanan seperti itu.
Arga tak menjawab. Ia hanya mengangguk pelan, lalu tersenyum tipis—senyum yang lebih terasa seperti tameng daripada ketulusan.
Setelah itu, tanpa kata-kata, ia membuka pintu dan melangkah keluar. Kakinya terus berjalan, menelusuri jalanan menuju tempat yang sudah biasa ia datangi setiap hari.
Tak butuh waktu lama. Setelah beberapa menit berjalan, Arga tiba di pasar. Tempat ini sudah seperti rumah kedua baginya—bukan karena kenyamanan, tapi karena satu-satunya tempat di mana ia bisa mencari penghasilan.
Di pasar, Arga sudah dikenal. Ia sering dipanggil oleh para pedagang yang butuh bantuan mengangkat barang.
“Arga! Sini bantuin Ibu, cepat!” panggil seorang pedagang sembako dari kiosnya.
“Siap, Buk,” jawab Arga cepat, dengan langkah sigap dan wajah yang tampak lebih cerah. Setidaknya ada yang memanggil, ada yang butuh tenaganya.
Di mata para pedagang, Arga dikenal ramah dan rajin. Ia jarang menolak pekerjaan, dan tak pernah terlihat mengeluh. Banyak dari mereka lebih memilih menyewa jasa Arga ketimbang kuli lain karena satu alasan: Arga tak pernah menawar harga. Ia selalu terima berapa pun yang diberikan.
Namun, justru karena itu, Arga mulai memancing amarah dari kuli-kuli lain.
“Lihat tuh, semua kerjaan diambil dia. Anak muda tapi enggak tahu cara berbagi,” gerutu seorang pria, menatap Arga dari kejauhan.
Sebenarnya Arga tak berniat mengambil semua pekerjaan. Ia pernah mencoba mengajak yang lain bekerja bersamanya, tapi mereka sering menolak. Mereka keberatan karena upah yang ia terima terlalu kecil, dan mereka tak mau disamakan.
Arga sendiri tak pernah mempermasalahkan soal bayaran. Yang penting, hari ini ia bisa pulang membawa sesuatu.
di sore hari, saat tubuh Arga mulai terasa lelah dan pikirannya hanya ingin segera pulang, langkahnya terhenti di lorong sempit pasar. Di depan, enam pria dewasa sudah berdiri berjajar, menghadangnya. Mereka tampak menunggu, pandangan mereka tajam, penuh amarah yang ditahan.
“Lumayan tuh,” ucap salah satu dari mereka sambil melirik uang di tangan Arga.
Arga menghentikan langkah. Ia berhenti menghitung uang, lalu menatap keenam orang itu dengan tenang.
“Ya, lumayan. Untuk hari ini mungkin cukup buat beli seragam sekolah dan sepiring nasi di rumah,” jawab Arga pelan, tetap tersenyum.
Namun, senyum ramah Arga tak sedikit pun mengubah ekspresi mereka. Tak ada simpati di mata orang-orang itu. Hanya kekesalan.
“Jangan sombong. Kalau kamu ikut aturan kami, kamu bisa dapat lebih dari itu,” hardik salah satu pria, nadanya tinggi, menahan emosi.
Arga memasukkan semua uang ke dalam saku celananya. Pandangannya tenang, tapi jelas ada rasa letih yang tertahan. Ia menatap mereka satu per satu dengan wajah datar, lalu tersenyum kecil.
“Aku enggak mau ribut. Tapi mulai besok, kamu harus berhenti kerja di pasar ini. Kalau masih mau kerja, ikut aturan kami,” bentak pria lainnya, kali ini lebih keras.
Keenam pria itu mulai melangkah mendekat. Tangan mereka terkepal, tubuh mereka tegang. Udara di lorong itu terasa berat. Suasana berubah menjadi ancaman yang nyata.
Arga tetap berdiri di tempat. Suaranya tenang, meski dadanya mulai sesak.
“Kalian terlalu mahal pasang ongkos. Jadi lebih baik kerja seperti saya—meski kecil, tapi rezeki lancar,” katanya, berusaha membuat mereka berpikir.
Tapi kata-kata Arga justru menambah bara. Ego mereka tersulut. Bagi mereka, dinasihati oleh remaja seperti Arga adalah bentuk penghinaan.
Tak satu pun dari mereka berniat mendengar. Yang mereka inginkan hanya satu: membuat Arga berhenti mengambil "lapak" yang selama ini mereka anggap milik mereka.
“Jadi gimana, masih mau menurut atau pergi?” bentak salah satu dari mereka, suaranya penuh ancaman.
Arga hanya tersenyum tipis, menatap mereka semua tanpa ragu. Meski di hadapan enam orang yang tampak marah, tak ada rasa takut di matanya.
Salah satu pria yang lebih besar badannya maju, wajahnya merah karena amarah.
“Kurang ajar! Sini, biar aku kasih pengertian supaya kamu paham,” bentaknya, lalu melayangkan pukulan keras ke wajah Arga.
Pukulan itu membuat Arga terhuyung mundur, tetapi ia berusaha keras untuk tetap berdiri. Ia tidak melawan, hanya diam. Tubuhnya terasa kaku, namun matanya tetap menatap mereka dengan tenang.
“Bangsat!” seru salah satu pria lainnya dengan kemarahan yang tak terbendung, diikuti oleh seruan-seruan kasar dari yang lain. Mereka mulai mendekat, tangan mereka terkepal, siap menghajar Arga habis-habisan.
Dalam sekejap, Arga sudah terjatuh ke lantai. Pukulan demi pukulan datang bertubi-tubi. Arga hanya bisa diam, mencoba melindungi wajahnya agar tak semakin parah. Tubuhnya lelah, rasanya hampir tak mampu bertahan lagi.
Namun, saat keputusasaan mulai menyelimuti dirinya dan pikirannya mulai tergoda untuk membalas, terdengar suara langkah berat dari arah belakang.
Suara sepatu yang menapak keras menggema di lorong pasar, mengguncang ketegangan yang sudah mencapai puncaknya. Semua orang berhenti sejenak, menoleh ke arah sumber suara. Arga yang terkulai di lantai merasa ada harapan baru.
Langkah itu semakin mendekat. Seorang pria muncul dari balik bayangan, mengenakan setelan hitam yang kontras dengan suasana pasar yang biasa. Di tangan kirinya, ada pisau lipat berkilau tajam yang memantulkan cahaya remang.
Suasana mendadak hening. Semua orang terdiam, tak ada yang berani bergerak. Hanya suara detak jantung Arga yang terdengar, mencampur dengan degupan yang semakin cepat.
“Jangan coba-coba melepaskan harimau yang sedang bersembunyi dalam kerangkeng,” ucap pria itu dengan nada dingin.
Langkahnya mantap, suara sepatunya masih menggema di lorong. Saat ia semakin dekat, wajahnya mulai terlihat jelas. Ia berdiri tegak, satu matanya tajam menatap ke depan, sementara mata satunya lagi tampak rusak—bekas luka dalam membentang dari pelipis hingga ke pipi. Bekas pertarungan yang tak butuh penjelasan.
Mereka yang tadi mengeroyok Arga mulai saling pandang. Ada keraguan kecil, tapi salah satu dari mereka maju satu langkah.
“Maksud kamu apa? Jangan kira kami takut cuma karena tampangmu seram,” katanya dengan nada menantang.
Di lantai, Arga malah tertawa kecil. Ia merebahkan tubuhnya dengan santai. Satu kakinya diangkat, kedua tangannya dilipat di belakang kepala, seolah-olah ia sedang tiduran di tepi pantai, bukan di tengah lorong pasar setelah dipukuli.
“Aku bisa urus mereka sendiri. Kalau boleh jujur, satu lawan enam pun sebenarnya bisa selesai dalam hitungan detik,” ucap Arga santai, dengan senyum menyebar di wajah memar.
Pria itu tak membalas. Ia hanya mengangkat pisau lipat yang tadi ia genggam, lalu mengarahkannya ke kerumunan pria yang masih berdiri di sekitar Arga. Pisau itu berkilau dingin di bawah cahaya lampu lorong.
“Sini. Kalau kalian butuh lawan, aku siap,” katanya tegas. Ia melangkah maju, tubuhnya tegap, dan setiap langkahnya menunjukkan bahwa ia bukan orang sembarangan.
Udara di lorong itu kembali terasa berat. Ketegangan melonjak, kali ini bukan karena jumlah orang, tapi karena kehadiran satu orang yang tampak jauh lebih berbahaya daripada yang lain.
“Bangsat! Jangan harap bisa keluar dari sini dengan selamat!” teriak salah satu pria dengan suara lantang, merasa paling kuat di antara mereka.
Pria berjubah hitam itu tidak membalas. Ia hanya terus melangkah mendekat, tenang namun penuh tekanan. Saat lawannya menerjang maju dengan kecepatan penuh, tangan terkepal siap memukul, pria itu bereaksi cepat.
Dalam satu gerakan sigap, ia menunduk menghindari pukulan, lalu langsung menyodokkan pisau ke arah perut pria tersebut. Suara tusukan terdengar jelas—cepat, dalam, dan tanpa ragu. Lawannya terhenti di tempat, tubuhnya gemetar.
“Hanya segini?” ucap pria itu datar, sebelum menarik kembali pisaunya dengan satu sentakan.
Korban ambruk seketika, tubuhnya jatuh ke lantai dengan darah mulai mengalir dari perut. Sisa pria-pria lainnya terdiam beberapa detik, syok melihat apa yang baru saja terjadi. Wajah mereka pucat.
Tanpa aba-aba, mereka langsung panik dan berbalik. Dalam hitungan detik, semuanya kabur, berlari tanpa menoleh sedikit pun. Langkah mereka terdengar berderap, kacau, berdesakan keluar dari lorong pasar yang sempit.
“Mau ke mana kalian? Aku belum puas,” ucap pria itu pelan, tapi jelas. Darah menetes dari ujung pisaunya, menetes ke lantai satu per satu, seolah menjadi penutup dari peringatan yang tak perlu diulang.
Karena tak ada lagi yang tersisa untuk dilawan, pria itu perlahan menurunkan pisaunya.
Langkahnya kini mengarah pada Arga yang masih berbaring santai di lantai, seolah baru saja menyaksikan pertunjukan yang biasa.
Ia berhenti tepat di depan Arga. Matanya yang hanya satu terlihat dingin dan penuh tekanan, sementara luka lama di wajahnya semakin menambah kesan mengintimidasi.
“Apakah kamu tidak apa-apa?” tanyanya singkat, suaranya dalam dan datar. Tegas, tapi bukan tanpa perhatian.
Arga menarik napas panjang sebelum bangkit. Ia berdiri perlahan, merenggangkan tubuhnya yang masih penuh memar, lalu menatap pria itu.
Senyumnya sempat muncul sesaat. Namun seketika berubah menjadi sorot tajam yang tak biasa. Bibirnya menyunggingkan tawa—tapi bukan tawa biasa. Tawa itu terdengar pelan, kasar, dan perlahan berubah menjadi tawa dingin yang menggetarkan lorong yang kini sepi.
Wajah Arga tak lagi terlihat seperti remaja biasa. Di balik memar dan luka, ada sesuatu yang berbeda. Tatapannya kini menyeramkan. Seolah tadi hanyalah permulaan dari sesuatu yang lebih gelap yang selama ini ia sembunyikan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments
Celia Luis Huamani
Wah, seru banget nih ceritanya, THOR! Lanjutkan semangatmu!
2025-10-10
2