Setibanya di depan pintu bertuliskan "KEPALA SEKOLAH", ia berhenti sejenak. Menata napas. Menarik kerah bajunya agar terlihat sedikit lebih rapi, meski usahanya nyaris sia-sia.
Dengan ketukan ringan, ia membuka pintu dan masuk.
Di dalam ruangan yang tenang dan beraroma kayu tua, duduk seorang pria paruh baya dengan kacamata bundar di balik meja besar berlapis kaca. Tatapannya langsung tertuju pada Arga.
“silakan duduk,” ucap kepala sekolah itu datar, namun penuh makna.
Arga mengangguk pelan, lalu melangkah masuk tanpa berkata apa-apa. Meski tubuhnya lelah, pikirannya justru mulai bekerja lebih tajam dari sebelumnya. Ada banyak hal yang harus ia jelaskan. Dan mungkin... ini bukan pertama atau terakhir kalinya ia menghadapi hari seperti ini.
Kepala sekolah memandangi Arga dari atas hingga ke ujung sepatu. Tatapannya tajam namun tenang, seolah sedang membaca setiap luka, setiap noda, dan setiap cerita yang tersembunyi di balik seragam kotor itu.
“Apakah kamu mendapatkan gangguan dari siswa lain?” tanyanya dengan suara datar namun cukup tegas.
Arga tidak menjawab panjang. Ia hanya tersenyum tipis dan mengangguk pelan—cukup untuk memberi konfirmasi, tapi tidak membuka pintu untuk pertanyaan lanjutan.
Kepala sekolah menarik napas panjang.
Tatapannya mengendur, seakan sudah terlalu sering melihat hal serupa terjadi di sekolah itu.
Wajahnya mencerminkan kelelahan, bukan hanya sebagai seorang pemimpin sekolah, tapi juga sebagai saksi bisu dari ketidakadilan yang terlalu sering diabaikan.
Tanpa membahas lebih jauh kejadian barusan, ia membungkuk sedikit, membuka map berwarna biru tua, dan mulai membaca berkas-berkas perpindahan Arga. Nama, asal sekolah, nilai, dan alasan pindah—semua diperiksa dengan cepat namun cermat.
Setelah semua dokumen dibahas dan penempatan kelas ditentukan, kepala sekolah menutup map itu dan menatap Arga sekali lagi.
“Hari ini... lebih baik kamu pulang dulu. Bersihkan dirimu, istirahat. Besok pagi langsung menuju kelasmu yang baru,” ucapnya dengan nada lembut, seolah memberi izin yang lebih dari sekadar formalitas—seolah mengerti bahwa hari ini terlalu berat untuk dimulai dengan belajar.
“Iya, Pak,” jawab Arga singkat, suaranya datar tapi penuh rasa hormat.
Ia berdiri perlahan, menyentuh sedikit bagian perutnya yang masih terasa nyeri, lalu melangkah keluar dari ruangan itu dengan tenang.
Lorong sekolah terasa sunyi. Matahari siang mulai masuk lewat jendela panjang, membentuk bayangan tubuh Arga yang perlahan menjauh. Tak ada kata-kata, tak ada suara—hanya langkah kaki yang menyimpan beban dan cerita.
Sesampainya di depan gerbang sekolah, Arga berdiri tegak memandangi jalanan yang perlahan mulai ramai oleh kendaraan. Matanya kosong menatap ke depan, sementara tangan kanannya terangkat pelan, melambai singkat ketika sebuah angkutan umum tampak mendekat.
Mobil tua itu berhenti dengan bunyi rem yang berderit, dan Arga naik tanpa berkata banyak. Ia duduk di pojok bangku panjang, menyandarkan kepala ke kaca jendela yang buram.
Sepanjang perjalanan, Arga hanya diam. Wajahnya datar, tanpa senyum, tanpa kerut marah, seolah semua ekspresi telah dicuci habis oleh hari yang begitu panjang dan dingin. Pandangannya menembus kaca jendela, menatap samar pepohonan dan toko-toko kecil yang berlalu dalam keheningan batin.
Sesampainya di depan rumah, ia mengetuk sisi atap mobil dan berkata pelan, “Makasih, Pak.”
Ia turun dan melangkah menuju sebuah rumah sederhana di ujung jalan komplek. Rumah itu tidak besar, tapi terlihat hangat—ada tanaman gantung di teras, dan suara televisi samar dari dalam rumah.
Langkah Arga pelan tapi mantap. Bajunya masih kotor, bercak debu dan sedikit sobek di bagian pundak. Wajahnya memar di sisi kanan, bekas pukulan masih baru dan menyakitkan. Tapi ia tak mengeluh. Hanya diam.
Pintu rumah terbuka dari dalam. Seorang pria dewasa keluar sambil merapikan jaketnya.
“Ma, aku pergi dulu ya!” serunya sambil berjalan ke luar.
Itu Bagas—paman Arga. Tubuhnya tinggi, wajahnya bersih, dan sorot matanya tegas namun hangat.
Begitu ia menoleh ke arah gerbang, langkahnya langsung terhenti. Ia melihat keponakannya berdiri dengan pakaian kotor dan wajah penuh luka.
Langkah Bagas tertahan, pandangannya menyapu Arga dari kepala hingga kaki.
“Arga?” tanyanya pelan, nada suaranya berubah.
Arga hanya menatapnya sekilas, kemudian menunduk tanpa berkata apa pun.
"Ada apa ini? Kenapa pakaianmu bisa seperti itu?" suara Bagas terdengar tajam, menahan amarah yang hampir meledak.
Arga menunduk, tak sanggup menatap mata pamannya. Senyum kecil yang tadi sempat terukir pun lenyap seketika, seolah tersapu angin.
"Dasar... anak dan ayah sama saja," geram Bagas sembari melangkah mendekat.
Tanpa banyak basa-basi, tangan kanannya terangkat tinggi, lalu dengan keras mendarat di pipi Arga.
"Plak!"
Suara tamparan itu menggema di depan rumah. Kepala Arga terpaksa menoleh akibat kerasnya hantaman. Ia refleks memegang pipinya, namun hanya senyum tipis yang muncul di sudut bibirnya.
"Masuk! Ganti baju, dan ingat—cari uang. Jangan jadi beban!" ucap Bagas dingin tanpa menoleh lagi. Ia berjalan pergi sambil menyenggol bahu Arga.
Arga tetap berdiri sejenak, menarik napas dalam, lalu melangkah perlahan masuk ke rumah. Tidak ada kemarahan, tidak ada tangisan. Hanya langkah tenang dari seseorang yang sudah terlalu sering menerima luka tanpa perlawanan.
Namun ujian belum selesai.
Begitu melewati pintu ruang tamu, seorang perempuan berdiri dengan kedua tangan menyilang di dada. Tatapannya tajam, menyapu tubuh Arga dari kepala hingga kaki.
"Baru kemarin dikasih baju, sekarang sudah robek dan kotor begitu! Dari mana aku cari uang lagi, hah?" bentaknya lantang. Dialah istri Bagas, bibi Arga.
Arga tetap diam. Ia hanya berjalan pelan melewati ruang tamu menuju kamarnya, tanpa mengucap sepatah kata pun. Wajahnya datar, seperti sudah kebal terhadap hinaan maupun makian.
"Dan hari ini kamu gak usah makan! Awas aja kalau ketahuan nyentuh dapur!" bentak sang bibi lagi, suaranya melengking menusuk telinga.
Tapi Arga tak mengeluh. Ia terus melangkah. Hanya suara derit lantai yang menemani perjalanannya menuju kamar kecil di ujung rumah.
Setelah pintu kamar tertutup, Arga mulai melangkah pelan mendekati kasur usangnya. Ia duduk di tepi kasur yang berbunyi lirih, menatap sekeliling ruangan kecil yang selama ini menjadi tempat ia berlindung. Namun menyebutnya “tempat tidur” pun rasanya terlalu mewah—karena kamar itu lebih mirip gudang tua. Di sudut-sudut ruangan, bertumpuk kardus bekas, koper rusak, dan barang-barang tak terpakai yang berdebu.
“Hah… capek juga,” gumamnya pelan sambil menarik napas panjang, lalu perlahan berdiri lagi.
Dengan gerakan lambat, Arga mulai melepaskan seragamnya yang kusut dan penuh noda. Sepatunya yang robek di bagian depan juga ikut dilepas dan ditaruh di samping pintu. Ketika seragamnya benar-benar terlepas, terlihat jelas kondisi tubuhnya yang jauh dari normal. Dari bahu, dada, hingga perut, hampir seluruh bagian tubuhnya dipenuhi bekas luka—ada yang seperti bekas jahitan lama, ada juga yang masih tampak baru. Hanya bagian lengan hingga telapak tangan saja yang tampak utuh tanpa cacat.
Ia berdiri di depan cermin kecil yang menggantung miring di dinding, menatap bayangannya sendiri dengan senyum yang entah menyiratkan kepasrahan atau justru tekad. Tangannya kemudian meraih sebuah kaleng cat kosong yang diletakkan di atas tumpukan dus.
“Lumayan... cuma segini hari ini,” bisiknya, masih menatap tubuhnya sendiri di cermin.
Ia mengangkat kaleng itu hingga sejajar dengan dada, menatapnya lama seperti berbicara dengan benda mati tersebut.
“Semoga aku tetap kuat nahan semua ini... soalnya kalau nggak...” ucapnya lirih, suaranya mulai berubah dingin dan berat.
Kalimatnya menggantung, dan seketika tangannya meremas kaleng logam itu begitu kuat. Suara ringsek terdengar tajam saat logam yang cukup tebal itu hancur dalam genggamannya, berubah menjadi lempengan tak berbentuk. Suatu hal yang jelas tak bisa dilakukan oleh orang biasa tanpa kekuatan yang luar biasa.
Tangannya gemetar ringan setelah itu, tapi senyumnya kembali mengembang—tipis, penuh rahasia dan kepedihan yang ditelan sendiri.
Di saat Arga masih fokus menatap kaleng tersebut, pintu kamarnya tiba-tiba terbuka perlahan. Suara langkah kaki terdengar masuk perlahan, mengendap.
"Ar, kamu nggak apa-apa kan hari ini?" tanya seorang gadis remaja yang berdiri di ambang pintu.
Itu Rindi, sepupunya yang seumuran dengannya. Rambutnya diikat ke belakang dan wajahnya tampak masih sedikit pucat—baru saja pulih dari demam, itulah sebabnya ia tak masuk sekolah hari ini, meski sebenarnya ia satu sekolah dan satu kelas dengan Arga.
Arga menoleh, menyembunyikan sedikit ekspresi lelahnya dengan senyum tipis. Ia menurunkan kaleng lalu menaruhnya pelan di atas meja usang di samping cermin.
"Nggak, Ndi. Cuma dapat 'upacara penyambutan' aja di sekolah," jawabnya santai.
Rindi mengangguk kecil. "Iya, di sekolah memang begitu… murid baru sering digituin. Aku juga dulu gitu."
Rindi mendekat perlahan, memperhatikan wajah Arga yang lebam serta bekas luka baru di pipi kanannya. Meski Arga mencoba tersenyum, Rindi bisa melihat jelas ada sesuatu yang dia sembunyikan.
“Wajahmu…” bisik Rindi lirih sambil duduk di sisi kasur usang itu. Tangannya hendak menyentuh pipi Arga namun ia urungkan, seperti takut malah membuat Arga merasa semakin terluka.
“Udah biasa, Ndi. Malah aku lebih takut kamu nanti sakit lagi kalau terus mikirin aku,” jawab Arga, merendah sambil tertawa kecil.
Senyumnya seperti perisai yang menutupi semua luka dalam dirinya.
Rindi menarik napas dalam, menunduk, lalu menggenggam erat ujung baju. "Kalau mereka di rumah terus kayak gini… aku takut kamu lama-lama—"
“Aku enggak apa-apa.” Potong Arga cepat, namun lembut. Ia berdiri, mengenakan kaos lusuhnya lalu berjalan mendekat ke arah Rindi. “Selama kamu sehat dan bisa senyum kayak sekarang, aku kuat. Beneran.”
Rindi mendongak, mata mereka bertemu dalam keheningan yang sarat makna. Tak ada kalimat panjang, hanya tatapan yang saling menyampaikan kepedulian yang dalam.
Namun suasana sunyi itu tiba-tiba terpecah oleh suara bentakan dari luar kamar.
“RINDI! Cepat bantu Ibu masak, jangan ngumpet di kamar terus!”
Rindi tersentak, buru-buru berdiri.
“Aku pergi dulu ya, Ar. Kalau butuh apa-apa… ketuk aja kamarku.” Ucap Rindi setengah berbisik sebelum berlari keluar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments