Sejak pagi Senja hanya terbaring di tempat tidur, matanya terpejam tapi pikirannya melayang jauh. Keresahan masih bermain di benaknya, membuatnya tidak merasa lapar sama sekali. Namun, ketika sore menjelang, rasa lapar mulai menyiksa perutnya. Tubuhnya terasa lemas dan mulai gemetar akibat belum makan sepanjang hari. Dia pun dengan gontai mengangkat dirinya dari kasur, melangkah keluar dari kamar. Rumahnya begitu sunyi, hanya suara langkah kakinya yang terdengar di lantai keramik. Tiba-tiba, sebuah suara derit pintu terbuka memecah kesunyian, cahaya lampu jalan yang masuk, membuat ruangan terasa temaram. Siluet seseorang yang tampak gagah muncul di ambang pintu. Dia hanya bisa berdiri terpaku, tubuhnya membeku seperti sedang menunggu sesuatu. Detik berikutnya, sebuah klik terdengar, dan ruangan pun terang benderang. Menampilkan siluets sosok gagah yang ternyata adalah suaminya.
Senja terpaku di tempatnya, matanya memandangi Saka yang dengan sengaja melenggang melewatinya tanpa memandangnya. Bibir bawahnya digigit dengan keras, menahan sesuatu yang menggelayut di dadanya. Dia berbalik arah menuju dapur. Tangannya yang dingin meraih handle kulkas, membukanya dengan suara 'kreak' yang memecah kesunyian.
Tak disangka, Saka muncul dari balik pintu. "Aku ada bawa makanan untukmu, ambillah di mobil," katanya sambil melemparkan kunci ke arahnya. Senja dengan refleks yang cepat, menyambut kunci yang terlempar.
Sebelum sempat bicara apapun, pria itu sudah kembali menghilang ke balik pintu kamarnya. Dorongan rasa lapar membuat ia tak ingin berlama-lama. Dia bergegas menuju mobil, menekan handle pintu dan membukanya perlahan.
Pada dasbor mobil itu, terbaring sebuah buket mawar merah yang indah, pita emasnya bertuliskan sebuah nama yang tidak asing lagi baginya. Jantung wanita itu seakan tertusuk duri, dadanya sesak, napasnya memburu. Dengan mata terpejam, ia mencoba menenangkan gelombang emosi yang menghantamnya, mencoba menekan rasa cemburu yang menjalar. “Ya Tuhan, kenapa rasa cemburu ini begitu sakit, padahal dia sudah jelas membenciku?” katanya lirih, seraya matanya kembali menatap buket tersebut.
Dengan napas yang diatur, wanita itu mencoba mengumpulkan keberaniannya, tangannya terulur mengambil sebuah kantong plastik dengan logo sebuah restoran terkenal. “Kenapa dia tidak membawakannya langsung?” gumamnya. “Apa dia sengaja agar aku melihat betapa romantisnya pada kekasih barunya itu?” Pikiran-pikirannya bercampur aduk, perasaan cemburu kembali menyiksa dirinya saat ia melangkah keluar dari mobil. “Mungkin memang dia ingin aku cemburu, dan sialnya dia berhasil.”
Sambil menarik napas panjang, Senja melangkahkan kaki menuju dapur. Saat membuka bungkusan plastik itu, dia mendapati hanya ada satu porsi makanan. Lapar menggigit, dia langsung menyantapnya. Ketika masih asyik mengunyah, tiba-tiba suara derit pintu terdengar. Kepalanya mendadak menoleh, dan dia melihat Saka berdiri dengan rambutnya yang masih setengah basah. "Mas, kamu mau kemana?" tanyanya reflek
"Bukan urusan kamu!" Jawab Saka dengan nada ketus, matanya dingin menatapnya. Terdiam sejenak, Senja melangkah pelan, wajahnya penuh ketakutan dan kekhawatiran yang susah disembunyikan. "Kamu mau ninggalin aku sendiri di sini?" suaranya bergetar, jari-jarinya menggenggam kain bajunya sendiri. "Aku takut, Mas. Kompleksnya masih sepi banget. Kalau ada orang jahat gimana?"
Saka menoleh, menyeringai sinis. "Siapa coba yang mau jahat sama kamu?" katanya sambil melirik sekeliling dengan enteng. Jari telunjuknya menunjuk ke dada Shania. "Di sini nggak ada barang berharga, termasuk kamu," ejeknya kasar, nadanya merendahkan.
Tubuh Senja seketika lemas, hatinya serasa disayat. Kata-kata itu menusuk dalam hingga membuat dada sesak. "Aku... setidak berharga di matanya?" pikirnya sambil menahan air mata yang mulai menetes pelan di pipi. Ia berdiri membeku, tak bergerak sedikitpun saat suaminya berlalu pergi, meninggalkannya dalam sunyi dan luka.
Bruak... Bunyi pintu yang dibanting membuatnya terperanjat, reflek ia menoleh dan melihat pria yang baru saja menyayatkan luka dalam itu pergi dari sana.
Karena tak lagi berselera ia langsung membereskan makan lalu kembali ke kamar. Tubuhnya yang lelah ia hempaskan di atas kasur empuk dan bermaksud untuk kembali beristirahat. Baru saja hendak memejamkan matanya tiba-tiba terdengar dering telepon.
Dengan malas ia meraba-raba nakas mencari benda pipih. Nama Tante Rita terpampang di layar telepon yang menyala itu. Sejenak ia terdiam bimbang untuk mengangkatnya. Namun dia tahu wanita itu tidak akan berhenti sampai dia mengangkatnya.
Dengan tangan gemetar wanita itu mengusap layar handphonenya. Seketika terdengar suara yang tak asing di ujung sana.
"Hey! Bagaimana? Sudah ada uangnya?”
“Belum dong, Tante!” desahnya Senja sambil menarik napas panjang, ia mencoba untuk tegar. “Tante pikir aku ini mesin ATM apa?” dengusnya, kali ini dia berani melayangkan protes. " Katanya masih ada waktu sebulan, Tante!"
" Aku gak mau tahu, pokoknya kamu setor uang sama aku berapa adanya, aku lagi butuh uang nih" ujar wanita itu mendesak.
Senja memegang, ia bangkit dari berbas ringnya. "Tapi tante ini sudah malam! Aku gak punya kendaraan untuk mentransfer tante."
"Aku gak mau tahu! Bayar hutang mu atau aku akan mendatangi rumah mertuamu!" Bentak wanita itu sambungan telepon terputus begitu saja.
Sambil menarik napas panjang, Senja meletakkan benda pipinya di atas nakas. Mencoba untuk mengabaikan ancaman tersebut. Namun, tiba-tiba terdengar notifikasi.
Penasaran ia kembali meraih benda pipih itu dan membuka notifikasi yang ternyata pesan dari tantenya. Matanya membela ketika melihat penampakan rumah sang mertua. Dia yang kaget langsung menurunkan kakinya dari tempat tidur.
"Rupanya tante gak main-main," ujarnya sambil berjalan menghampiri lemari. Kemudian ia buru-buru mengambil jaketnya dan dompet, sebelum pergi ia menghitung uang terlebih dahulu, ia sisihkan tiga juta di bawah lipatan pakaian yang akan digunakan untuk biaya kesehariannya.
Senja memutar knop door lalu menutup pintu kamarnya kembali. Dia menyempatkan diri menuju dapur untuk mengambil kunci rumah dan berjalan keluar.
Pintu rumah kembali dibuka, seketika hawa dingin menyeruak, angin sedikit kencang melambai membelai rambut panjangnya.
Langkahnya terhenti ketika matanya menatap langit gelap tanpa bintang-bintang. Pandangan mengedar ke segala arah, membuat bulu kuduknya berdiri. Dia memang seorang yang penakut.
Suasana di sekitar kompleks itu begitu gelap, rumah rumah kosong yang tak berpenghuni seperti menambah kesan horor, tapi baginya ada yang lebih horor dari semua itu. Yaitu tantenya. Dia tahu siapa Rita, dan wanita itu bisa melakukan apa saja jika tak dituruti.
Langkah kakinya menapak perlahan menuju jalan raya, namun terhenti sejenak memandangi jalanan yang tampak lengang. Sepi dan sunyi. Ada keraguan yang tiba-tiba menyelinap di pikirannya. Namun ia tepis kan seketika. Dia menggigit bibir bagian bawahnya sembari menguatkan tekad untuk melangkah.
"Bismillah!"
Dia mempercepat langkah kakinya, napasnya mulai memburu saat melintasi jalanan sepi di kompleks itu. Lampu jalan yang remang dan bayangan pohon-pohon besar membuat suasana semakin mencekam. Di ujung jalan sebelah jalan komplek memang ada supermarket, dan ia berharap ada ATM atau apa saja yang bisa membuatnya mengirimkan uang.
Saat melewati tikungan, tiba-tiba matanya menangkap gerombolan pemuda yang sedang duduk berkerumun, botol minuman keras tergenggam di tangan mereka. Suara tawa kasar dan aroma alkohol menyengat menusuk hidung.
Jantungnya berdegup kencang, kaki mulai berlari tanpa ragu, berharap segera menjauh dari mereka. Tapi ketakutan itu berubah nyata ketika suara langkah berat di belakangnya mulai mengejar. “Hei, kamu!” teriak salah satu dari mereka, membuatnya semakin panik. Ia mengayunkan tangan dan menengok sekilas, wajah-wajah liar itu mendekat dengan tatapan penuh niat buruk.
Tubuh Senja bergetar, tapi nalurinya memaksanya terus berlari sekuat tenaga, sambil berteriak, berharap ada seseorang yang bisa menyelamatkannya. "Tolong!"
Namun tenaganya kalah, dua orang pemuda berhasil mendahuluinya, membuatnya langkahnya terhenti, Senja semakin ketakutan tubuhnya bergetar saat menatap wajah pemuda yang kini berjalan semakin mendekatinya. "Mau apa kalian?" tanyanya panik, dengan dada naik turun. Kaki tangannya seketika menjadi sedingin es, wajahnya pucat pasi.Dia mundur dengan kaki gemetaran, pandangan tetap waspada. Berkali-kali dia menelan ludahnya ketika para pemuda itu tersenyum menyeringai, memandangnya penuh hasrat.
Karena ketakutan dia coba untuk melarikan diri lagi.Namun, tiba-tiba saja dari arah belakang seseorang memeluknya erat. "Yey! Kita dapatkan dia!" seru pemuda itu.
"Lepaskan!" teriak Senja sambil memberontak.
Namun apa daya, tenaganya tak sebanding dengan tiga pemuda tersebut. Dia diseret dan dibawa ke rumah kosong.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments
Dwisya Aurizra
jangan sampai dirudapaksa Thor, kasian udah mah hidupnya sulit jangan tambah rumit dengan keadaannya
2025-10-08
2
Dwisya Aurizra
biar hati dan jiwa tetap waras, anggap aja suami mu itu makhluk tk kasat mata,,,
jgn maen perasaan, Ok
2025-10-08
0
far~Hidayu❤️😘🇵🇸
author si heroin harus selamat dia masih suci jgn kotori dia dengan pemabuk
2025-10-08
0