Pertemuan Kedua
"Zac, ayo naik!" teriak mas Jo
Remaja yang masih memakai seragam SMA dan menutupi wajahnya dengan masker dan topi itu menyipitkan matanya mencoba menerobos pandangan ke dalam kaca mobil. Seketika jantungnya berdetak lebih kuat dari biasanya setelah melihat sosok gemoy di kursi penumpang bagian belakang.
"Zac! Ayo cepat, mas Jo harus kembali ke kantor."
Zac berjalan santai memutari kap mobil, ia membuka pintu di kursi penumpang bagian depan samping mas Jo. Di kursi belakang Senja tidak sendiri, ada Deswita yang juga masih memakai seragam putih biru. Dengan sopan kepalanya menunduk pelan ke arah Senja dan Deswita, karena tahu Senja adalah anak majikan mas Jo.
"Selamat sore... "
"Sore... Apa kamu sudah sembuh? Tangan kamu yang patah bagaimana?" tanya Senja penuh perhatian.
"Nja... Umur Zac ini lebih tua dari kamu, seharusnya kamu memanggilnya kaka, mas atau abang. Seperti kamu memanggil Sam dan Shaka," tegur mas Jo.
"Memangnya umur kamu berapa?" tanya Senja lagi
"Itu tidak penting, kita bersikap seperti biasa saja," jawab Zac acuh tak acuh. Namun suara detak di dadanya sangat sulit ia jinakkan.
"Ck! Emang penting banget ya harus manggil dia kakak?! Dia bukan level kamu Nja!" bantah Deswita.
Zac melirik gadis remaja yang duduk di sebelah Senja dari kaca spion tengah. Senyum asimetris tersungging dari bibirnya.
"Deswita, Tidak sopan kamu!" tegur mas Jo
"Lagian kenapa juga mas Jo pake jemput dia segala dan naik mobil kita, anak pembantu aja dibikin spesial!" gerutu Deswita.
"Memangnya kamu siapa, Wit?!" serang mas Jo. Deswita berdecak kesal sambil memalingkan wajahnya ke arah jendela.
"Sudah... Sudah... Nggak apa-apa kok Wita, ka Zac kan ponakan mas Jo. Wajar dong mas Jo tanggung jawab antar jemput dia, iya kan mas Jo?" tegur Senja.
Zac hanya diam. Menikmati obrolan yang tidak perlu ia tanggapi berlebihan. Namun ada perasaan hangat saat dirinya dibela Senja. Perhatian Senja di pertemuan pertama, Zac anggap hanya basa basi. Tapi penilaian Zac berubah saat pertemuan kedua kalinya, gadis itu sangat lembut dan penuh perhatian padanya. Selain keluarganya, hanya mbok Darmi dan mas Jo saja yang berani pasang badan untuknya. Semua pertemanan yang ia temui hanya pertemanan palsu penuh kemunafikan, apalagi jika temannya tahu siapa orangtua Zac.
"Motor Zac masih di bengkel karena kecelakaan. Kalau motornya sudah selesai di service, dia tidak pernah mau dijemput mas Jo. Dia cukup tahu diri tidak seperti kamu Wita!" sindir Jo meliriknya dengan sinis.
Bugh!
Deswita menendang kursi yang diduduki mas Jo dengan kencang. "Udah jangan kebanyakan bacot! Jalan!" bentak Wita dengan nada tinggi.
"Oh ... Wita, come on!" Senja membulatkan matanya karena sikap kasar Deswita.
Pesaing
Mobil segera meluncur ke arah jalan Senopati dimana kediaman Sebastian berada. Sampai di halaman rumah mewah yang lebih cocok disebut istana itu, mas Jo langsung diminta mengantar para pangeran keluarga Sebastian ke Senayan. Mas Jo menghela napas kasar. Ia tidak tega membiarkan Zac pulang sendirian karena tangannya baru saja lepas gip kemarin.
"Zac—?" tanya Jo ragu-ragu sambil menoleh ke arah Zac.
"Aku ngerti kok, aku bisa naik ojek online atau taksi, sebetulnya tadi aku ingin ikut om Bimo ke Senayan untuk mengikuti seleksi, tapi karena aku sudah janji dengan mas Jo di tempat biasa, aku urungkan ikut om Bimo."
"Lho kamu juga akan ke sana? Kalau gitu sekalian saja bareng mas Jo," sarannya.
"Memangnya nggak apa-apa dengan para pangeran keluarga pak Bastian?" bisiknya.
"Nggak apa-apa, mereka pasti ngerti kok apalagi kita searah."
Senja yang tadi sudah berlari masuk ke dalam rumah, kini kembali lagi menghampiri Zac dan mas Jo sambil membawa kotak makanan.
"Mas Jo! Aku titip kue untuk mbok Darmi, ini kue buatan aku semalam lho," ucapnya dengan nada ceria. Tangannya yang montok menyerahkan kotak ke arah Zac. "Kakak juga makan ya," ucapnya lembut pada Zac.
"Baik Senja," jawab Zac sambil tersenyum simpul.
Kedua pangeran keluarga Sebastian keluar dari pintu kokoh rumah mewah itu dengan pakaian Soccer club mereka. Di belakang Sam dan Shaka, Gavin mengekori dengan memakai baju kiper. Mereka melewati Zac begitu saja tanpa membalas sapaan Zac dan anggukan kepala sopan darinya.
"Aku duduk di belakang?" tanya Gavin, suaranya meninggi dan terdengar penolakan yang jelas saat mas Jo membukakan pintu Jeep bagian paling belakang.
"Kamu mau duduk di atas kap mobil? Silahkan naik, tidak usah protes!" tegas mas Jo
Gavin mendengus kesal, tangannya yang berada di dalam saku ia kepalkan dengan ketat.
Zac masuk setelah mas Jo masuk ke dalam mobil dan duduk di balik kemudi. Kakek neneknya mendidik Zac untuk bersikap sopan santun pada orang yang lebih tua. Mobil berjalan dengan kecepatan sedang, tanpa obrolan dan candaan seperti para remaja seusianya. Semua yang duduk di kursi belakang sibuk dengan gadgetnya masing-masing. Bagi Zac itu, membosankan.
Ia menatap keluar jendela mobil, gedung bertingkat dan pepohonan seakan berlari mundur. Dari pantulan kaca jendela, Zac melihat wajahnya sendiri, meski tertutup masker... senyum malu-malu itu masih terlihat di garis matanya. Ia menunduk masih mengulas senyum, menatap box kue berwarna marun dengan pita putih pemberian Senja. Ibu jarinya mengelus permukaan box yang terbuat dari kertas itu dengan lembut.
Mas Jo memperhatikan tingkah Zac yang tidak biasa, remaja itu biasanya bersikap dingin dan cuek pada perempuan, jarang sekali tersenyum. Tapi beberapa hari ini, ia seringkali mematut diri di kaca, senyum-senyum sendiri dan memperhatikan wajahnya yang rusak akibat luka bakar.
"Zac, kamu sudah makan?" tanya mas Jo menoleh ke arah Zac
"Sudah om Jo, tadi om Bimo traktir aku di kantin."
"Kamu bisa bawa kue itu untuk cemilan kamu, om Jo dengar acara seleksi sampai malam hari."
"Tidak perlu, om Jo bawa pulang saja dulu tapi bilang sama mbok, kuenya jangan dihabisin."
"Siap Tuan muda!" jawab Jo terkekeh.
"Eheemm... !" Sam berdehem keras. Sejak tadi ia memperhatikan interaksi asisten papanya dengan pemuda seusianya yang belum ia kenal.
"Dia ... Siapa?" tanya Sam, menunjuk Zac.
"Namanya Zac, keponakan mas Jo. Zac, kamu pasti sudah tahu mereka adalah anak pak Sebastian. Sebelah kanan bernama Samudera, sebelah kiri bernama Shaka."
Zac memiringkan tubuhnya sedikit dan menoleh ke arah belakang, "hallo, salam kenal," sapanya seraya mengulurkan tangan kanannya.
Samudera manggut-manggut tanpa menyambut uluran tangan Zac, Shaka lebih tidak perduli lagi. Matanya terus menatap layar gadget dengan wajah serius. Shaka? Jangan tanya. Ia tidak pernah peduli dengan orang lain, kecuali orang itu bisa bermanfaat baginya dan bisa menjadi sekutu untuk menghancurkan keluarga Sebastian.
Hanya butuh waktu beberapa puluh menit, mobil sudah terparkir di halaman lapangan C Senayan. Mereka turun tanpa membawa peralatan apapun yang ada dalam bagasi. Mas Jo menggelengkan kepalanya melihat ketiga remaja itu. Dengan bantuan Zac, mas Jo membawa semua tas dan peralatan sepak bola milik Sam, Shaka dan Gavin.
Mereka sampai di ruang ganti. Zac juga masuk ke dalam ruang ganti untuk menemui teman satu teamnya di Soccer club Angkasa Pradana. Sambil mengganti baju, ia berbasa-basi sedikit dengan rekan satu club. Dari kejauhan tiga pasang mata menatapnya dengan tajam dan penuh pertanyaan. Sam mendekat, tangannya ia letakkan di kedua pinggangnya. Wajah tampannya berkerut dalam.
"Kamu mau ikut seleksi juga? Dari club mana?" tanya Sam dengan tatapan meremehkan.
"Iya aku ikut, tidak ada salahnya mencoba, kan. Aku... Hanya pemain bola kampung yang diberi kesempatan," jawab Zac santai. Ia ingin tahu reaksi para pemuda kaya yang kini sudah berdiri menghadangnya.
"Aku tidak menyangka lawan seleksiku bocah kampung," ucap Shaka sambil memperhatikan sepatu bola yang dipakai Zac.
"Apa itu Ori?!" tanya Shaka menunjuk sepatu bola bermerk yang dipakai Zac, wajahnya seakan menahan tawa ingin menghina.
Zac menaikan kedua bahunya dengan dramatis.."Aku tidak tahu, aku tidak punya pilihan selain memakainya karena ini sebuah hadiah," jawab Zac santai.
"Zac, aku suka gayamu. Mari kita berlomba dengan sportif. Salam kenal... " ujar Samudera sambil mengulurkan tangannya. Zac pun menyambutnya.
"Ka Sam! Dia pesaing kita!" Shaka mendengus kesal melihat sikap Sam yang mulai mencair dengan Zac.
"Aku suka persaingan, kita tidak bisa meremehkan kemampuan anak-anak yang kakinya terbiasa dengan tanah becek dan rumput gatal di lapangan bola liar. Seringkali para bintang lapangan berasal dari sana." Sam menepuk pipi Shaka dua kali dengan lembut lalu mereka keluar dari ruang ganti meninggalkan Zac yang masih melipat baju seragamnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
🌹Widianingsih,💐♥️
Shaka sombong banget ya. ...dia nggak tau aja kalo Zac juga anak orang kaya.😬
2025-10-19
2
@💤ιиɑ͜͡✦⍣⃝కꫝ🎸🇵🇸
gavin & WITA. menumpang tapi gak tau diri
2025-10-13
1
Dee
Astaga Deswita, mulutmu itu loh tiap ngomong kayak nembak pake peluru cabe
2025-10-25
1