Masih di perjalanan pulang....
Viola menggigit bibirnya, menahan ketakutan. Ia mencoba memacu motor lebih kencang, melewati gang demi gang, namun bayangan motor hitam itu tetap mengikuti. Setiap kali mereka berhenti di lampu merah, motor itu juga berhenti. Setiap mereka belok, motor itu pun ikut belok.
"Vio, ini udah nggak wajar! Kayaknya dia sengaja ngikutin kita!" seru Rara dengan suara gemetar.
Viola hampir menangis. "Aku takut, Ra… aku nggak mau pulang dulu. Kalau orang itu tahu rumahku, gimana?"
Rara berpikir cepat. 'Kita jangan langsung ke rumahmu. Ayo kita muter dulu, atau kita ke tempat rame. Ada warung 24 jam dekat sini, kita berhenti di situ aja!"
Viola mengangguk, lalu mengarahkan motor ke sebuah warung makan yang masih ramai. Mereka segera berhenti, berpura-pura memesan minuman. Dari kejauhan, motor hitam itu masih terlihat, parkir tak jauh dari sana. Sosok pengendaranya memakai jaket hitam dan helm full face, membuat wajahnya tak terlihat.
Rara menggenggam tangan Viola erat-erat.
"Vio, ini gila. Kita bener-bener diteror orang. Kalau terus begini, kita harus lapor polisi, kita nggak tahu kan siapa tahu pria itu seorang psikopat dan bisa mati mubazir kita..!"yang selalu berbicara seenaknya
Viola menunduk, matanya berkaca-kaca.
"Tapi aku takut, Ra… aku takut kalau ini ada hubungannya sama pria itu… pria yang pernah ada di rumahku."
Rara menghela napas panjang. Ia sadar betul, sosok misterius itu mungkin bukan sekadar orang asing iseng. Seolah ada rahasia besar yang belum terungkap, dan Viola kini berada di tengah-tengahnya.
Sementara dari kejauhan, pengendara misterius itu hanya diam, menatap ke arah mereka. Ia tidak bergerak maju, seolah memang hanya ingin memastikan sesuatu. Namun tatapan yang tak terlihat dari balik helmnya membuat bulu kuduk Viola berdiri.
"Vio, tunggu di sini. Jangan kemana-mana,"bisik Rara suaranya tegas meski matanya jelas menyimpan rasa takut.
"Ra, jangan! Bahaya!"Viola panik, meraih lengan sahabatnya.
Tapi Rara menepiskan dengan senyum tipis. "Tenang. Dia nggak mungkin berani macem-macem di tempat rame gini. Aku cuma mau tahu apa maunya."
Dengan langkah hati-hati, Rara berjalan mendekati motor hitam yang sejak tadi parkir tak jauh dari warung. Orang-orang di sekitar menoleh penasaran, sebagian hanya menganggap itu hal biasa, padahal jantung Rara berdegup kencang.
Pengendara misterius itu duduk di atas motornya, helm full face masih menutupi wajah. Saat Rara berdiri beberapa meter di depannya, ia menarik napas dalam-dalam.
"Halo!" seru Rara dengan nada setengah menantang. "Saya mau tanya, kenapa dari tadi ngikutin kami..? Apa maumu, hah?"
Pria itu hanya diam. Tangannya bertumpu di setang motor, tubuhnya tak bergerak. Sunyi sesaat, hanya terdengar suara kendaraan lalu lalang.
Rara memberanikan diri melangkah lebih dekat. "Kalau kamu cuma mau nakut-nakutin, berhenti sekarang juga! Kami bukan anak kecil yang bisa kamu teror semau mu!
Viola dari jauh menatap dengan dada berdebar, keringat dingin membasahi telapak tangannya.
Ia siap berteriak minta tolong jika terjadi apa-apa.
Namun tanpa sepatah kata pun, pria itu tiba-tiba menyalakan motornya. Suara knalpot meraung, membuat Rara terkejut mundur selangkah.
"Hey! Jawab dulu, apa maumu?!" teriak Rara.
Tapi pria itu justru memutar gas kencang, melaju meninggalkan tempat itu. Dalam sekejap, ia hilang ditelan gelapnya jalanan malam.
Rara berdiri terpaku, dadanya naik turun menahan rasa takut sekaligus lega. Ia kembali ke meja warung, wajahnya pucat.
"Ra… gimana?" tanya Viola dengan suara bergetar.
Rara menelan ludah, lalu duduk di samping sahabatnya.
"Dia nggak ngomong apa-apa, Vio. Cuma diam… terus pergi. Tapi aku yakin, dia bukan orang sembarangan. Cara dia ngikutin kita… kayak punya tujuan."
Viola menunduk, jari-jarinya meremas gelas plastik yang ia pegang. Perasaan takut bercampur penasaran terus menghantuinya.
"Siapa dia sebenarnya? Dan… apa hubungannya sama aku?" bisiknya lirih.
Malam itu udara terasa semakin dingin di sepanjang jalan kecil menuju perumahan padat penduduk.Viola terlihat tergesa mengendarai motor metiknya sementara Rara, sahabat sekaligus rekan satu kontrakan meski beda kamar dengan nya, Rara terus menoleh ke belakang dengan wajah cemas.
"Vio… aku rasa dari tadi ada yang ngikutin kita lagi," bisiknya lirih.
"Apa mungkin pria yang tadi ya..?"ucap Rara lagi.
Viola terus menatap ke arah jalan yang remang diterangi lampu jalan yang berkedip.
Saat mereka tiba di depan kontrakan Viola langsung memasukkan motornya ke garasi, namun saat dia menoleh ke arah jalanan yang gelap tampak di ujung jalan bayangan seorang pria tampak bersembunyi di balik tiang listrik. Tanpa pikir panjang, Rara dan Viola segera melanjutkan langkah mereka menuju pintu kamar kontrakan mereka masing-masing.
Viola yang merasa penasaran mengintip dari celah jendela, memastikan apakah orang itu masih berada di sana atau sudah pergi...Namun saat pandangan yang menyapu tempat itu kembali bayangan itu lenyap begitu saja. seolah ditelan kegelapan malam. Viola menelan ludah, menatap ke sekeliling, tapi yang terdengar hanya suara napas nya sendiri.
"Kayaknya cuma perasaanku aja,…"ujar Viola, meski suaranya sendiri terdengar gugup. Ia menggenggam erat ujung pakaiannya dan berusaha menenangkan diri.
Tanpa ia sadari, di balik tembok tua tak jauh dari sana, pria berpakaian serba hitam sedang berbicara melalui earpiece kecil yang menempel di telinganya.
Target aman. Sampai di kediamannya dengan selamat.!Tadi hampir ketahuan, tapi saya sudah mengalihkan perhatian mereka."
"Bagus, dan tetap pantau."suara berat di seberang menjawab, "
Pria itu menatap ke arah gang kecil tempat wanita itu berada di rumah sederhana yang jauh dari kata mewah tatapannya dingin, penuh kehati-hatian. Ia tahu, tugasnya bukan hanya mengawasi, tapi juga memastikan tidak ada yang tahu siapa sebenarnya pria yang memerintahkannya untuk melakukan semua itu...
Sementara itu, di dalam kamar mewah , di atas tempat tidur king size yang empuk,Jovan yang masih tampak pucat duduk di tepi ranjang Luka di lengannya yang diobati oleh Viola sudah sembuh, meskipun belum sepenuhnya
Ia memandangi dan tanpa sadar ia menyentuh bekas luka yang kini telah mengering, saat mengingat gadis itu dan mengingat tatapannya , pikiran nya seketika menjadi campur aduk antara kagum dan bersalah.
Dalam benaknya seolah masih melekat adegan pertama saat pertemuan mereka...
"Kenapa kamu menolongku,? tanya Jovan lirih saat itu.
Dari bibirnya tersenyum samar,lalu dengan suara lembut ia menjawab...
"Karena kalau aku di posisi kamu, aku juga berharap ada seseorang yang mau menolong," jawabnya pelan.
Ucapan sederhana itu membuat dada Jovan terasa hangat untuk pertama kalinya setelah malam yang penuh ketakutan itu. Ia sadar di tengah kegelapan hidupnya yang penuh ancaman, mungkin Viola adalah satu-satunya cahaya yang tersisa.
"Viola..."tanpa sadar sebuah nama meluncur mulus dari bibirnya...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 36 Episodes
Comments