Bima tidak bergerak. Ia berdiri kaku di tempatnya, menatap nanar pada lipstik merah murah yang kini teronggok di lantai keramik. Keheningan yang menyelimuti ruang tengah itu lebih mematikan daripada teriakan atau pertengkaran mana pun. Keheningan yang membawa racun, perlahan membunuh sisa-sisa hati Anindita yang masih berdetak untuknya.
"Aku... aku bisa jelaskan, Ndita," kata Bima akhirnya, suaranya serak dan nyaris tak terdengar. Ia melangkah maju, ingin meraih tangan Anindita, namun wanita itu sigap mundur, seolah sentuhan Bima kini adalah api yang membakar.
"Jelaskan?" Anindita mengulang kata itu, nadanya penuh ironi. Ia menyeka air mata yang tersisa dengan punggung tangan, tatapannya kini berubah menjadi dingin dan tajam. "Apa yang perlu dijelaskan, Bima? Bahwa kamu berselingkuh? Itu jelas. Bahwa kamu berselingkuh dengan murid SMP? Itu juga jelas.
Bahwa kamu membandingkan istrimu yang sudah memberimu seorang anak dengan seorang anak yang baru mengenal masa pubertas? Itu sudah lebih dari jelas."
"Dia bukan—"
"Jangan berani-berani kamu bilang dia 'bukan' selingkuhanmu," potong Anindita cepat, emosinya mulai merangkak naik, tak tertahankan.
"Aku tahu, Bima! Aku lihat chat kamu! Aku dengar kamu menyebut namanya dalam tidurmu! Aku tahu bau sirih dan vanila itu bukan bau dari kantor! Kamu pikir aku bodoh?
Setelah delapan belas tahun, kamu pikir aku tidak tahu bau pengkhianatan di tubuhmu?"
Anindita menunjuk ke arahnya, jarinya gemetar. "Siapa dia, Bima? Kinanti? Kinanti yang usianya hanya dua tahun lebih tua dari Rayhan? Apa yang kamu pikirkan? Kamu sudah gila? Kamu mau memenjarakan dirimu sendiri?"
Pertanyaan terakhir Anindita tampaknya menusuk Bima. Wajahnya yang tegang kini semakin kusut. Ia menghela napas panjang, seperti baru saja kalah dalam perang yang sudah ia tahu akan ia hadapi.
"Dia bukan... seperti yang kamu bayangkan," bisik Bima, mencoba mencari pembenaran. "Dia... dia hanya kesepian, Ndita. Keluarganya berantakan. Aku hanya ingin membantunya. Aku seperti—"
"Seperti ayah yang mencarikan sepatu merah untuk putrinya?" seloroh Anindita, tertawa hampa. "Om Bima yang baik hati. Om Bima yang bijaksana. Tapi maaf, Bima, dia bukan anakmu! Dia kekasih gelapmu! Dia adalah remaja yang kamu rayu dengan uang jajan dan janji-janji palsu, padahal kamu punya anak di rumah yang menunggu kamu untuk menjadi ayah yang benar!"
Sebutir air mata jatuh dari mata Bima. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan, bahunya terguncang. "Aku minta maaf, Ndita. Aku khilaf. Aku nggak tahu kenapa ini bisa terjadi. Aku... aku hanya merasa bosan. Rumah terasa sepi. Kamu selalu sibuk dengan urusanmu. Aku hanya butuh seseorang yang memuja aku lagi."
Kata 'bosan' dan 'memuja' itu terasa seperti pukulan telak bagi Anindita. Bosan? Setelah semua yang mereka lalui? Setelah ia mengorbankan karier desain interiornya untuk fokus pada rumah dan Rayhan?
"Bosan?" ulang Anindita, suaranya kini melirih, kehabisan tenaga. "Jadi, kamu merusak hidup kita, merusak masa depan seorang anak perempuan, hanya karena kamu bosan? Dan kamu mencari 'pujaan' dari anak kecil yang bahkan belum bisa membedakan cinta dan perhatian seorang om-om?"
Ia berjalan ke dekat lemari hias, membuka laci kecil, dan mengambil selembar kertas tebal. Itu adalah sertifikat rumah mereka. Ia meletakkannya di meja, tepat di depan Bima.
"Malam ini kamu pergi dari rumah ini, Bima," ujar Anindita dengan nada final, tak terbantahkan. "Aku akan urus semuanya. Aku akan urus perceraian. Aku tidak mau lagi melihat wajahmu di bawah atap ini saat Rayhan kembali dari kemah lusa nanti."
Bima segera mengangkat kepalanya, matanya membesar karena terkejut. "Ndita! Tunggu! Jangan gegabah! Ini rumah kita! Kita bisa bicarakan baik-baik! Aku akan putuskan dia! Aku bersumpah! Aku akan ganti nomor ponselku, aku akan unfriend dia dari semua media sosial! Tolong, demi Rayhan..."
"Demi Rayhan?" Anindita tertawa. Sebuah tawa yang penuh kesakitan dan penghinaan. "Jangan pernah gunakan nama anakku, Bima. Demi Rayhan, seharusnya kamu tidak pernah menyentuh anak perempuan lain yang seumuran dengannya! Demi Rayhan, seharusnya kamu menjagaku, bukan menghancurkanku!
Anindita mengambil kunci mobil Bima yang tergeletak di meja, lalu melemparkannya ke arah suaminya. "Pergi! Sekarang! Aku butuh waktu untuk bernapas tanpa bau kebohongan kamu!"
Bima menunduk, mengambil kunci itu dengan tangan gemetar. Ia tahu, dari sorot mata Anindita, ini bukan ancaman kosong. Ini adalah keputusan yang telah dimatangkan selama seminggu penuh dalam keheningan yang menyiksa.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Bima mengambil tas kerjanya dan berjalan menuju pintu. Saat tangannya meraih kenop, ia berhenti sejenak.
"Aku akan kembali besok pagi, Ndita," katanya, suaranya nyaris seperti gumaman. "Aku janji akan selesaikan ini.
"Jangan kembali," Anindita menyambut dengan dingin. "Aku akan kirim barang-barangmu ke apartemen kantormu. Aku tidak mau melihatmu, tidak mau mencium bau sirih lagi di rumah ini."
Pintu tertutup. Suara mesin mobil Bima meraung sebentar, lalu perlahan menjauh, menghilang ditelan malam.
Anindita ambruk di sofa. Keheningan kembali merayap, namun kali ini terasa berbeda. Bukan lagi keheningan yang membawa racun, melainkan keheningan yang menyisakan puing-puing.
Ia meraih bantal, memeluknya erat-erat, dan akhirnya membiarkan dirinya tenggelam dalam tangisan yang telah ia tahan begitu lama. Tangisan seorang wanita yang baru saja kehilangan separuh jiwanya—bukan karena kematian, melainkan karena pengkhianatan yang paling menjijikkan.
Di tengah isaknya, pikiran Anindita melayang. Ia harus kuat. Demi Rayhan. Tapi bagaimana ia harus menghadapi Kinanti? Bagaimana ia harus menghadapi fakta bahwa putra semata wayangnya bersekolah di tempat yang sama dengan selingkuhan suaminya? Ini bukan hanya tentang perceraian, ini adalah tentang memulihkan kehormatan yang telah diinjak-injak oleh seorang pria dewasa dan seorang remaja labil.
Malam itu, di antara air mata dan puing-puing janji, Anindita membuat keputusan: ia tidak akan hanya bercerai. Ia akan mencari Kinanti.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments