Kinanti ragu-ragu selama beberapa detik, lalu menghela napas panjang yang terdengar berat untuk anak seusianya. Ia membuka pintu belakang mobil dan duduk, tas sekolahnya diletakkan di sampingnya. Begitu berada di dalam mobil, aroma vanila yang manis dan memuakkan itu terasa lebih kuat, seolah memenuhi seluruh kabin.
Anindita menoleh ke belakang, menatap Kinanti melalui kaca spion. Raut wajah gadis itu kini tidak lagi takut, melainkan terlihat lelah dan sedih.
"Kita bicara di sini saja," kata Anindita, suaranya kembali datar dan dingin. "Rayhan tidak boleh tahu tentang ini. Jadi, ceritakan padaku. Jujur. Dari awal."
Kinanti menggenggam jemarinya. Ia tampak mencari kata-kata yang tepat. "Om Bima yang duluan, Tante. Dia sering mengawasi saya di dekat gerbang. Waktu itu... saya sedang menangis di halte karena Ibu saya tidak menjemput dan saya tidak punya uang untuk naik angkot."
Anindita hanya mendengarkan. Ia menahan napas.
"Om Bima datang. Dia bilang dia Papa Rayhan. Dia bilang kasihan melihat saya. Dia kasih saya uang, banyak. Terus dia nawarin tumpangan pulang. Rumah kami dekat, Tante. Sama-sama di perumahan situ, tapi beda blok."
Bohong. Bima tidak pernah tahu Kinanti tinggal di sana. Bima pasti sudah melacaknya.
"Lalu?" desak Anindita.
"Lalu dia sering nanya-nanya tentang saya. Tentang sekolah, tentang teman-teman, tentang di rumah. Dia selalu memuji saya. Bilang kalau saya beda dari anak-anak lain. Bilang kalau saya dewasa dan cantik," Kinanti melanjutkan, kata-kata 'memuji', 'dewasa', dan 'cantik' diucapkannya dengan intonasi yang terasa dihafal.
"Dia selalu bilang, Tante... dia bilang dia kesepian di rumah. Bilang kalau Tante sibuk sekali, nggak punya waktu buat dia. Dia bilang, saya satu-satunya yang bisa bikin dia tenang," Kinanti menunduk.
Hati Anindita terasa diremas. Kata-kata Bima kepada Kinanti persis seperti kata-kata Bima kepadanya semalam: bosan dan butuh pujaan. Bima tidak hanya selingkuh, ia juga menjadikan kebohongan sebagai dasar hubungannya.
"Kapan ini dimulai?" tanya Anindita, suaranya bergetar.
"Sekitar dua bulan lalu. Awalnya cuma chatting. Terus Om Bima sering beliin saya makanan, ajak ke mall buat beli sepatu—"
"Sepatu merah?" potong Anindita.
Kinanti mengangguk pelan. "Iya. Dia janji beliin sepatu merah kalau nilai IPA saya bagus."
"Dia memberi hadiah berdasarkan nilai sekolahmu?" Anindita mencibir. "Seperti ayahmu sendiri?"
"Iya, dia bilang gitu. Om Bima baik, Tante. Dia nggak pernah marah. Dia nggak pernah teriak-teriak kayak Papa di rumah. Papa saya... dia sering mukul Ibu. Jadi Om Bima itu rasanya kayak..." Kinanti tampak mencari kata. "Pelarian."
Anindita menutup matanya. Pelarian. Bima menjadikan seorang anak remaja yang bermasalah sebagai pelariannya dari kebosanan rumah tangga. Ini lebih buruk daripada yang ia bayangkan. Bima tidak mencari cinta, dia mencari validasi dan kekaguman dari seseorang yang terlalu muda untuk tahu apa yang dia minta.
"Lalu bagaimana dengan sirih?" tanya Anindita, membuka mata dan menatap Kinanti tajam. "Kenapa kamu bau sirih?"
Pertanyaan itu mengejutkan Kinanti. Gadis itu terdiam sejenak, wajahnya kembali merona.
"Itu... bukan sirih, Tante," bisik Kinanti. "Itu... tembakau lintingan. Saya lagi coba berhenti, tapi kalau lagi stres suka ngerokok. Om Bima tahu. Dia malah pernah coba ngerokok bareng saya waktu kami di kebun belakang rumahnya—"
"Cukup!" Anindita memotong, menaikkan volume suaranya. Dadanya terasa sesak. Bima merokok bersama seorang siswi SMP! Di kebun belakang rumah mereka! Bima, yang selalu membenci rokok dan melarang Rayhan bahkan dekat-dekat dengan asapnya.
"Dengar, Nak," Anindita mencoba menstabilkan suaranya. "Aku tidak tahu apa masalahmu dengan orang tuamu. Tapi kamu harus tahu, Bima itu bukan pahlawan. Dia itu laki-laki jahat. Dia merusak rumah tangga orang. Dia memanfaatkan kepolosan dan kerapuhan kamu."
Anindita mengeluarkan foto yang ia temukan semalam dari tasnya. Foto yang sudah agak kusut. Ia menyerahkannya pada Kinanti.
"Aku akan menceraikan Bima," kata Anindita. "Aku tidak mau dia ada lagi di hidupku. Tapi kamu, Kinanti, kamu harus menghentikan ini. Kamu harus hapus semua komunikasi dengan Bima. Kamu harus fokus pada sekolahmu."
Kinanti melihat foto itu, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. "Saya... saya minta maaf, Tante. Saya nggak tahu bakal jadi begini. Saya kira dia benar-benar baik sama saya."
"Dia tidak baik," Anindita mengulangi dengan nada tegas. "Dia hanya laki-laki yang punya masalah besar dan menyeret anak kecil sepertimu ke dalam lumpurnya. Mulai sekarang, kamu blokir dia. Jangan pernah jawab panggilannya. Jangan pernah temui dia. Aku sudah janji tidak akan melaporkanmu. Tapi kalau kamu masih berhubungan dengan dia, aku akan buat dia dipenjara. Dan kamu, akan ikut terseret."
Anindita menghidupkan mesin mobil. Kinanti mengangguk, isakannya tertahan. Ia tampak menyesal, bukan hanya karena tertangkap, tapi karena menyadari Bima bukanlah sosok "ayah pengganti" yang ia impikan.
"Satu hal lagi," kata Anindita, sebelum Kinanti turun. "Rayhan, anakku, teman sekolahmu, dia tidak tahu. Jangan sampai dia tahu. Jangan pernah menyebut ini di depannya."
"Iya, Tante. Saya janji," ujar Kinanti, mengusap air matanya.
Kinanti turun dari mobil. Ia berdiri di halte, menatap mobil Anindita yang perlahan bergerak menjauh. Anindita melihatnya dari spion, gadis itu berdiri sendiri, memegang foto yang kusut itu.
Anindita tidak lagi marah pada Kinanti. Kemarahannya kini tertuju sepenuhnya pada Bima. Pengakuan Kinanti telah mengubahnya. Pengkhianatan ini bukan hanya tentang cinta, tapi tentang moral dan kejahatan yang hampir tak termaafkan.
Ia pulang ke rumahnya yang sepi. Di atas meja, lipstik merah itu masih tergeletak di samping sertifikat rumah. Anindita mengambil lipstik itu, lalu membuangnya ke tempat sampah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments
Isranjono Jono
ya tuhan ngeri aku bacanya pelajaran untuk para orang tua yang punya anak gadis
2025-10-06
0