Di dalam mobil, Giandra duduk bersandar. Pandangannya tertuju pada kanvas kecil di pangkuannya, jemari kokohnya menggenggam kuas yang masih berlumur cat.
“Apa yang sedang kamu lukis, Giandra?” Suara lembut wanita cantik bernama Ningrum itu memecah keheningan. Tatapannya terarah pada sapuan warna di atas kanvas yang belum selesai.
“Seorang gadis bodoh yang kutemui sebulan lalu, Burum,” jawab Giandra, seulas senyum sinis menghiasi bibirnya.
“Gadis bodoh? Kenapa menyebutnya seperti itu, Nak?” Ningrum mengernyit.
“Karena dia hampir bunuh diri di jembatan,” jawab Giandra.
Ia tersenyum tipis, lalu memalingkan wajah, dan menatap jalan raya yang berkelebat di balik kaca jendela.
...🌹🌹🌹...
Setengah jam berlalu, mobil berhenti di pekarangan rumah mewah bergaya Eropa. Giandra turun dan masuk ke dalam rumah, sementara Ningrum dan Yasir mengikuti dari belakang.
“Dari mana kalian?” Suara tajam menghentikan langkah mereka. Astri—ibu kandung Giandra—berdiri di depan tangga, sorot matanya menusuk.
“Kami baru pulang dari rumah Sudarsono,” jawab Yasir santai.
“Ada urusan apa?” tanya Astri.
“Aku menemani Giandra melamar putri sulung Sudarsono,” jawab Yasir.
“Apa?” Astri melotot. “Kenapa tidak ajak aku? Aku ini ibu kandung Giandra! Tapi kalian justru mengajak gundik ini!!” Suaranya meninggi, dan telunjuknya terarah ke Ningrum.
“Kalau kau ikut, pasti hanya membuat keributan dan mempermalukan nama baikku,” jawab Yasir dingin, melangkah pergi tanpa menunggu reaksi.
“Kau memang perempuan tak tahu diri! Kau tidak hanya merebut suamiku, tapi kau juga merebut anakku!” teriak Astri.
“Ini salah paham, Kak.” Suara Ningrum bergetar, tetapi ia berusaha tetap tegar. “Aku hanya memenuhi permintaan Kak Yasir dan Giandra saja.”
“Burum benar. Akulah yang memintanya ikut,” sahut Giandra.
Astri terdiam sejenak, napasnya memburu, dan menatap Giandra dengan mata penuh amarah.
“Anak durhaka! Kau lebih memilih ibu tiri ketimbang ibu kandungmu? Anak macam apa kau? Kau merampas seluruh kebahagiaan saya, seharusnya saya tidak melahirkanmu! Gara-gara kau, suami saya menikahi pelacur ini!” hardik Astri meledak.
“Ya, ibu benar.” Giandra menarik napas panjang. “Seharusnya aku memang tidak lahir. Aku pun heran, kenapa lahir dari rahim wanita egois? Wanita yang tak pernah memenuhi kewajibannya sebagai seorang ibu, bahkan dia enggan menyusuiku karena takut tubuhnya rusak. Sedangkan perempuan yang dia sebut pelacur justru berjuang mati-matian mencari pengganti asi untukku.”
“Giandra! Jangan bicara seperti itu pada ibumu,” ujar Ningrum.
Giandra menatap ibunya tajam. “Kalau aku anak durhaka, maka ibu adalah orangtua durhaka karena tak pernah memberi kasih sayang padaku. Seluruh perhatian dan apresiasi ibu hanya untuk kedua kakakku,” tambahnya.
Ia memutar bola matanya malas, lalu berjalan melewati Astri, dan menaiki anak tangga tanpa menoleh sedikit pun.
Astri mematung, rahangnya mengeras. Tatapan penuh kebencian tertancap pada Ningrum.
Plak!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Ningrum.
“Seharusnya dulu aku membunuhmu bersama bayi yang kau kandung,” desis Astri dengan napas terengah-engah.
Ningrum membelalak, tangannya memegangi pipi yang memerah. “Apa maksudmu, Kak?”
Tak ada jawaban, Astri berbalik dan menaiki tangga, meninggalkan Ningrum yang terpaku di lantai bawah.
“Apa kau yang telah membuatku keguguran selama ini?” jerit Ningrum, suaranya pecah bersama air mata.
...🌹🌹🌹...
Di kamarnya, Giandra duduk di tepi ranjang, kuas di tangannya menyelesaikan sapuan terakhir pada kanvas di pangkuannya. Lukisan itu menampakkan seorang gadis yang berdiri di jembatan pada malam hari.
“Aku tak menyangka wanita yang mau dijodohkan denganku ternyata dirimu,” gumam Giandra.
Giandra tersenyum tipis, beranjak dari kasur, dan menggantungkan lukisan itu di dinding kamar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments