Melati terbangun kala sebuah tangan mungil memukul-mukul wajahnya. Wanita itu tersenyum melihat senyum manis putri kecilnya yang berada diatas pangkuan Revan, suaminya. Senyumnya memudar saat melihat Revan sudah berpakaian rapi, kemeja hitam di lapisi jas dengan warna yang sama. Pria itu tampak duduk di tepian tempat tidur tersenyum ke arahnya.
“Selamat pagi sayang.”
Bukannya menjawab Melati melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 5 pagi. Revan kembali tersenyum, sebelum istrinya mengajukan pertanyaan, pria itu terlebih dahulu menjelaskan.
“Aku harus pagi-pagi sekali ke Bandung sayang.”
“Jam segini?” Dahi Melati tampak mengernyit.
Revan terdiam sesaat, menyembunyikan kegelisahannya. “Iya biar nyampe sana lebih cepet, kan aku nyetir sendiri sayang.”
Melati tak menanggapi alasan suaminya, wanita itu berjalan sambil mengikat rambut panjangnya ke kamar mandi untuk mengambil wudhu.
Tak lama kemudian Melati keluar dengan wajah basah, membentangkan sajadah lalu memasang mukenanya. Meskipun sedikit terlambat, ia tak pernah melewatkan ibadahnya.
Revan masih berdiam di tempatnya memperhatikan istrinya yang sedang inikhusyuk.
“Maafin mas sayang bukan maksudku buat membohongimu, aku tak bisa berbuat apa-apa kecuali menuruti apa mau wanita itu.”
Setelah lima menit Melati menyelesaikan ibadahnya, matanya langsung mencari suaminya. Revan masih asyik bermain dengan Ayana, si bungsu, wajahnya penuh senyum.
“Kenapa nggak langsung berangkat?” tanya Melati, suaranya datar, hampir tanpa rasa. Revan menoleh, raut wajahnya berubah sedikit bingung.
“Nungguin kamu, sekalian jagain Ayana, takut dia jatuh dari tempat tidur.”
Melati mengalihkan pandangan, bibirnya menipis. “Ya udah, kamu pergi aja,” ucapnya dingin, seperti suara itu mengusir seseorang yang tak diinginkan.
Revan terpaku, hatinya seperti tertusuk. Ia mendekat, mencoba menebak apa yang salah. “Kamu kenapa sih, sayang? Dari semalam kayaknya ketus banget sama suamimu ini. Kalau kamu capek ngurus anak-anak, aku bisa carikan baby sitter.” Tawarnya lembut, berharap bisa mengerti perasaannya.
Melati menghela napas panjang, wajahnya tak mau menampakkan lelah. “Nggak usah, aku cuma ngurus Ayana doang kok. Alicia, Arjuna, Nakula, Sadewa juga sudah mandiri. Mereka berempat bisa menyiapkan keperluan sekolah mereka sendiri.”
Suaranya tetap tenang, tapi ada dingin yang sulit disembunyikan. Revan menunduk, merasa ada jarak yang tumbuh di antara mereka pagi itu. Bukan hanya pagi ini, tapi sejak semalam, bahkan Melati menolak ajakan rutin seperti malam-malam sebelumnya.
Masih mendekap tubuh mungil Ayana, Revan berdiri dan memeluk tubuh istrinya, mencium lembut kening wanita itu. Saat Revan akan berpindah ke bibir Melati yang berwarna pink muda, Melati memalingkan wajahnya.
“Kenapa sayang?” tanya Revan, gurat kekecewaan terlihat di sana, padahal Revan berharap Melati membalas ciumannya.
“Aku belum sikat gigi.”
Revan tertawa kecil. “Biasanya juga gitu kok yank. Ya udah kalau kamu nggak Pede, tapi kamu tetep wangi, kayak bayi baru bangun tidur, asem-asem gimana gitu.”
Senyum Melati terlihat sangat dipaksakan, kalau saja struk belanja dan telepon malam-malam dari perempuan bernama Dewi itu tak mengganggu pikirannya, mungkin Melati akan membalas ejekan suaminya.
Revan mencium sekali lagi kening istrinya dan menyerahkan Ayana pada ibunya. “Mas berangkat ya.”
Melati mengangguk, tapi sebelum Revan pergi, ia mendatangi kamar anak-anaknya satu persatu.
Terakhir ia ke kamar putri sulungnya, Alicia.
“Pagi-pagi begini udah mau berangkat Yah?” tanya Alicia seraya menata hijabnya.
“Iya, ayah ada urusan bisnis ke Bandung.”
Alicia berbalik, menatap ayahnya penuh keheranan. “Ke Bandung lagi? Perasaan baru seminggu yang lalu ayah ke sana.”
Revan tersenyum, pertanyaan yang sama yang diajukan istrinya. Mungkin kepekaan naluri perempuan, over thinking.
“Pertanyaanmu kayak bundamu aja.” Sambil mengusap ujung kepala Alicia yang tertutup hijab.
“Tentu saja, Alice kan anak bunda, apalagi Alice anak paling gede udah SMP lho yah.”
Revan tersenyum. “Iya ayah percaya kamu udah gede, tapi jangan pacaran dulu ya?”
Alicia tertawa. “Emangnya ayah, baru kelas 2 SMA udah punya anak.”
Revan tertegun mendengar balasan menohok dari putrinya, Alicia memang terlahir karena kesalahan masa lalu.
“Makanya itu ayah nggak mau itu terjadi sama kamu, ya udah papa pergi ya, bantuin bunda ngurus adik-adik kamu, jangan main hp melulu.”
Alice mengangkat kedua jempolnya. “Oke ayah. Sangunya mana?”
Alicia menengadahkan telapak tangannya.
“Bukannya udah di kasih bunda,” ucap Revan sambil mengeluarkan dompet, menghitung uangnya.
Alicia hampir terlonjak kegirangan, ia berharap mendapat uang saku lebih dari biasanya. Namun ia harus menelan kekecewaan ketika ayahnya menarik yang merah selembar.
“Yahhhh…kok cuma sebiji sih yah!”
“Itu dibagi berlima.” Ujar Revan santai.
Alicia melongo tak percaya. “Aku, Juna, Kula, Dewa sama Ayana?”
Revan mengangguk. “Iya siapa lagi, karena anak-anak Ayah cuma kalian berlima.”
Revan keluar dari kamar putri sulungnya sambil tertawa terbahak-bahak.
“Ayah pelit, dari dulu nyebelinnya nggak ilang-ilang,” cibirnya. “Pantas aja bunda Melati mau terima ayah harus berpikir seribu kali.”
***
Mobil Revan melaju kencang di jalan tol yang panjang dan lurus, aspal hitam membentang tanpa cela di bawah ban mobilnya. Setiap kali sebuah truk besar atau bus menghalangi jalannya, Revan dengan sigap mengendalikan stir, menyalip dengan manuver cepat yang memacu adrenalin. Suara mesin meraung, bersaing dengan deru angin yang menerpa jendela mobil.
Setelah melewati pintu keluar tol, mobil melaju menuju Bandung Utara, udara mulai berubah; aroma tanah basah dan dedaunan segar menyusup masuk lewat jendela yang sedikit terbuka. Jalanan semakin sempit dan bergelombang, menandakan masuk ke kawasan Pangalengan yang dikelilingi perbukitan hijau.
Saat mobil melambat memasuki perkampungan, rumah-rumah sederhana berdiri berjajar dengan atap genteng merah yang mulai pudar dimakan waktu. Halaman-halaman dipenuhi pepohonan rindang yang daunnya berdesir pelan tertiup angin, sementara bunga-bunga berwarna-warni tumbuh liar di antara rerumputan hijau, memberi kesan sejuk dan teduh. Mobil berhenti di depan sebuah rumah bercat putih yang dikelilingi tanaman merambat dan pot-pot bunga yang teratur tersusun di beranda, menambah kesan asri.
Begitu mobil berhenti, seorang wanita cantik keluar dari rumah berteriak sambil merentangkan kedua tangannya.
"Aa Revan akhirnya kamu datang juga."
Perempuan berambut panjang itu memeluk tubuh erat Revan, seolah tak mau terpisahkan. Dari dalam seorang laki-laki paruh baya berlari ke arah mereka.
"Dewi, jaga sikapmu, dia sudah beristri."
Perempuan bernama Dewi itu menoleh cepat, dan menatap lelaki setengah baya itu sinis.
"Abah! Aa Revan ini juga calon suamiku, dia harus bertanggungjawab atas bayi ini."
Pria yang dipanggil Abah itu tersenyum pahit. "Maaf beribu ribu maaf nak Revan, Dewi memang labil sejak peristiwa itu, padahal nak Revan sudah berusaha bertanggung jawab."
"Nggak apa-apa Abah, nanti kalau jiwa Dewi sudah stabil, Dewi bakal menyadarinya, bahwa saya tidak mungkin menikahinya."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
siti maesaroh
ini dewi tu hamil.anak revan apa bukan sih kk,, kok jd pensran ,, atau hnya menolong sj atau gimana
2025-10-02
0
NH..8537
liat kelanjutannya sj..gmn langkah Revan selanjutnya 🤭 good job kak 👍👍👍
2025-10-03
1
siti maesaroh
kamu itu bner" 60d0h van knp km ulang lagi hadehh,
kk konfliknya berat bngt😢
2025-10-02
0