Aku kerjain apa aja yang bisa bantu nenek, biar kami bisa terus hidup dan warungnya nggak tutup.
Artinya, setiap waktu luang yang Ku punya, Di pakai buat kerja. Jarang banget main sama temen-temen karena harus jaga warung. Dan juga belajar keras supaya bisa dapet beasiswa kuliah. Soalnya, jelas banget kami nggak bakal sanggup bayar kuliah kalau nggak begitu.
Hidup memang berat, tapi ya begitulah. Sederhana, tapi penuh makna.
Nenek selalu ada buat Aku. Nggak pernah sekalipun Aku denger dia ngeluh, meskipun badannya makin lemah. Jadi, Aku juga ngerasa nggak punya alasan buat ngeluh. Dan di akhir masa SMA, Aku dapet beasiswa penuh buat kuliah seni dan desain di universitas negeri deket sini.
Itu berarti aku harus pindah dan tinggal di asrama kampus. Tapi aku tetap berusaha pulang sesekali, menempuh perjalanan singkat untuk menjenguk nenek dan membantu di toko kecil kami.
Waktu masuk tahun pertama kuliah, aku bertemu pacarku yang pertama dan satu-satunya sampai sekarang. Hidupku terasa berjalan lancar… sampai pria-pria itu datang.
**
Hari itu, sepulang belanja, aku baru saja sampai di depan toko ketika perasaan aneh langsung menyergap. Lingkungan sekitar terasa sepi, terlalu sepi. Seolah-olah semua orang di kampung ini menghilang. Tak ada yang lewat di jalan, tak ada motor atau mobil yang melintas. Bahkan suara angin pun nyaris tak terdengar.
Sunyi yang menyeramkan.
Jantungku mulai berdegup kencang saat mataku menangkap sebuah limosin hitam besar terparkir tepat di depan rumah.
Aku belum pernah melihat limosin sungguhan sebelumnya hanya di sinetron atau film-film barat. Di kampung kecil dan sederhana seperti ini, di mana punya motor saja sudah dianggap cukup, siapa yang akan datang naik limosin hitam mengilap seperti itu?
Yang paling membingungkan... kenapa mobil semewah itu ada di depan rumahku?
Begitu rasa kaget sedikit reda, aku langsung meletakkan kantong belanja di tanah dan berlari menuju toko secepat yang aku bisa. Pemandangan yang kulihat membuatku berhenti mendadak.
Kaca jendela toko pecah, papan nama tergantung miring dengan satu sisi nyaris copot, pot-pot bunga terbalik dan tanahnya berceceran di mana-mana.
Apa yang terjadi saat aku pergi?
Seketika pikiranku hanya tertuju pada satu hal nenek! Di mana beliau? Apakah beliau selamat?
"Nenek!!" teriakku, panik.
Aku menendang pintu toko yang terbuka sedikit dan menerobos masuk. Bagian dalam toko sama berantakannya dengan luar. Barang-barang berhamburan, rak-rak tumbang, dan pecahan kaca di mana-mana. Dan di tengah semua itu, berlutut di lantai yang penuh debu dan serpihan, adalah nenekku Yang Malang.
"Nenek!" teriakku sambil berlari ke arahnya, lalu berlutut untuk menopang tubuhnya yang lemah.
"Maya…" bisik nenekku pelan di antara isak tangisnya.
Melihat beliau menangis, tubuhnya bergetar karena terkejut dan ketakutan hatiku rasanya hancur berkeping-keping. Apa salah kami sampai harus mengalami kejadian sekejam ini?
"Kamu akhirnya kembali."
Suara seorang pria, dalam dan tanpa ekspresi, membuatku tersadar untuk pertama kalinya bahwa aku dan nenek bukan satu-satunya orang di ruangan ini. Perlahan-lahan, aku mendongak ke arah suara itu. Tak jauh dari tempat kami duduk di lantai, berdiri tiga pria tinggi dan kekar.
Semuanya berpakaian serba hitam.
Aku tak bisa mengenali wajah mereka, karena ketiganya mengenakan kacamata hitam yang menutupi mata mereka. Jas hitam yang rapi, celana bahan, dan sepatu kulit yang mengilap tetap bersih meski mereka telah membuat kekacauan di rumah ini.
Orang-orang ini... seperti keluar dari film tentang mafia.
Jadi, ini… mafia?
"Pak, kami mohon maaf kalau ada yang menyinggung atau menyalahi aturan, tapi... saya yakin ini semua cuma salah paham..." kataku pelan, suaraku bergetar saat perlahan aku berdiri.
"Apakah kamu kenal Bima dan Mariana?" tanya salah satu pria itu dengan nada tegas.
"Ya... mereka orang tuaku..." jawabku lirih. Apa hubungan orang tuaku dengan mafia? Mereka sudah meninggal hampir enam tahun lalu...
"Kalau begitu, ini bukan salah paham. Akhirnya kami menemukanmu," lanjut pria itu datar.
"Apa maksudmu?" tanyaku bingung.
"Lihat ini," ucap pria itu sambil mengulurkan beberapa lembar kertas ke arahku.
Dengan ragu, aku menerimanya. Tanganku gemetar hebat. Apa ini?
Sebelum aku sempat membaca isinya, pria itu kembali bicara, seolah menjawab pertanyaan yang belum sempat keluar dari mulutku.
"Itu surat perjanjian utang. Orang tuamu pernah meminjam uang dari bos kami tujuh miliar rupiah."
"...Apa?!" seruku kaget.
Tujuh miliar rupiah?!
Itu nggak masuk akal. Orang tuaku nggak pernah bilang mereka ngutang sama mafia apalagi sampai tujuh miliar rupiah. Buat apa mereka butuh uang sebanyak itu? Kami hidup biasa-biasa aja. Nggak pernah kelihatan kayak orang yang punya atau butuh uang sebanyak itu.
Aku menoleh ke belakang, menatap nenek yang sedang menangis tersedu-sedu. Wajahnya terlihat sangat kaget. Aku yakin ini pertama kalinya beliau dengar soal ini. Aku mulai khawatir. Wajah nenek pucat, dan tangisannya makin keras. Kelihatannya bisa pingsan kapan aja. Suasana makin kacau.
“Sesuai yang tertulis di kontrak. Orang tuamu meminjam tujuh miliar dari bos kami, dan kami di sini buat nagih. Gampang kan?” kata pria itu, nadanya datar banget.
Gampang, apanya.
Aku menatap kontrak yang ku genggam erat. Tanganku gemetar. Di sana jelas tertulis angka tujuh miliar. Tanda tangan Bapak dan Ibu juga ada. Mereka beneran ngutang sebanyak ini? Buat apa?
“Tapi... orang tuaku udah meninggal bertahun-tahun yang lalu...” bisikku, masih nggak percaya.
Aku sendiri nggak bisa bayar utang sepeser pun. Untuk makan sehari-hari aja kami ngos-ngosan. Nggak ada tabungan. Jangankan tujuh miliar, seratus ribu aja kadang nyari susah.
“Betul. Makanya kami cari-cari kamu, anak semata wayang mereka. Karena orang tuamu udah nggak ada, sekarang kamu yang harus bayar ke bos,” katanya sambil mengangguk pelan.
“Tapi… aku beneran nggak punya uang…” suaraku gemetar, bingung banget.
“Itu bukan urusanku. Tapi bos mau uangnya balik. Jadi, kamu ikut kami,” katanya.
Sebelum aku sempat bergerak, tangannya yang besar dan kasar tiba-tiba menjulur cepat dan mencengkeram pergelangan tanganku. Cengkeramannya kuat, meski nggak menyakitkan. Tapi sekeras apa pun aku berontak, dia nggak mau lepasin.
“Lepasin! Kamu mau ngapain?!” teriakku sambil terus berusaha melepas diri, meski percuma.
"Udahlah, jangan ngelawan terus. Kamu bikin semuanya makin susah, buat aku juga," kata pria itu sambil dengan mudah menahan perlawanan dariku. "Bosku nyuruh bawa kamu kalau kamu nggak punya duit buat bayar."
"Tidak! Aku nggak mau!" teriakku keras.
"Ya udah, aku cuma jalankan tugas. Aku juga nggak senang nyakitin cewek atau orang tua. Tapi saran ku, mending kamu berhenti ngelawan dan ikut baik-baik," katanya dengan nada dingin dan tegas.
"Maya!" Kudengar suara nenek memanggil namaku berulang-ulang, serak dan cemas, saat dia lihat aku berkelahi dengan pria itu.
Tapi nggak lama kemudian, suara nenek terhenti. Aku langsung menoleh dan kulihat dia ambruk, pingsan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments