Pak Pendeta itu langsung tersentak kaget waktu aku lihat dia angkat tangan tinggi-tinggi di atas kepalanya, tanda nyerah.
Mudah-mudahan aja dia nggak ngompol. Aku sih nggak tahu pasti dia ngompol atau nggak, tapi jelas banget dia mulai nangis ketakutan. Aku pilih diem aja. Mending aku tunggu semua ini kelar daripada kepalaku melayang dan leherku putus.
"Anakku di mana?! Rayza ke mana?!" bentak si Bos sambil suaranya menggema ke seluruh ruangan.
Oke, jadi namanya Rayza. Baguslah. Bukan cuma aku belum pernah ketemu sama calon suamiku, namanya aja aku baru tahu sekarang. Wajahnya pun aku nggak tahu. Bahkan fotonya aja belum pernah aku lihat. Tapi ya sudahlah, bukan berarti aku peduli juga.
Mau dia seganteng aktor sinetron atau sejelek setan pasar malam, kalau aku tetap harus nikah sama dia, ya sama aja buatku.
Si Bos mulai mutar badan sambil ngacungin pistol ke arah barisan laki-laki berdasi rapi yang dari ujung kepala sampai kaki kayaknya pakai seragam mafia kelas atas.
Pemandangan aneh, jujur aja. Laki-laki dari segala umur gelisah di tempat duduknya, kayak anak sekolah yang ketahuan nyontek. Pada lirik-lirikan satu sama lain, mukanya tegang. Jelas banget, nggak ada yang berani nyampein kabar buruk ke Bos.
“E… saya rasa Rayza lagi otw, Bos. Jadi Bapak nggak usah terlalu khawatir…” ucap salah satu pria yang kelihatannya anak buah kepercayaan si Bos, berusaha banget buat nenangin suasana.
“Nggak usah khawatir?! Rayza telat!” bentak si Bos lagi, wajahnya udah merah padam kayak kepiting rebus.
“Dia lagi di jalan, Bos. Sedikit lagi nyampe,” jawab orang itu cepat-cepat, mulai kelihatan panik.
“Kau tahu dia di mana?! Kau udah nemuin dia?! Jawab aku!!” Si Bos udah hilang kesabaran, langsung narik kerah baju si pria sampai hampir terangkat.
Para cowok bersetelan jas itu mulai panik, saling lempar pandang. Mereka jelas bingung harus gimana ngadepin si Bos yang gampang meledak-ledak itu. Dan aku tahu satu hal pasti: Rayza belum ditemukan.
Jujur aja, aku nggak salahin dia. Kalau aku di posisi dia, aku juga ogah datang. Siapa juga yang mau nikah sama orang yang belum pernah dikenalnya, apalagi cuma denger kabarnya dari mulut ke mulut?
Sama kayak aku yang males banget nikah sama dia, dia juga pasti ogah nikah sama aku.
Makasih, Rayza atau siapalah kamu itu. Makasih karena kamu nggak datang.
Kalau pernikahan ini batal gara-gara dia nggak muncul, ya itu bukan salahku. Aku malah berdoa semoga ini gagal total.
Serius, belum pernah aku doa segini sungguh-sungguh. Aku bukan orang yang religius, percaya Tuhan aja kadang nggak yakin. Tapi kalau memang Tuhan itu ada, tolong banget, biarkan aku balik ke hidupku yang tenang di kampung, jauh dari semua kegilaan ini.
"Tuan Rayza sudah datang!"
Apa?!
"Sempurna! Rayza-ku akhirnya datang!" teriak Bos dengan wajah berseri-seri, senyum lebarnya tak bisa ditahan.
Di sisi lain, aku merasa seperti baru saja dijatuhi hukuman seumur hidup. Kenapa dia harus muncul sekarang? Apa dia berubah pikiran soal pernikahan ini?
Aku segera berbalik secepat mungkin, meski gaun pengantin yang kupakai berat dan mengembang, menghalangi gerakanku.
Pandanganku langsung tertuju ke arah pintu masuk gedung besar tempat acara ini digelar. Pintu Kayu ukiran itu perlahan terbuka sangat lambat seolah kami semua sedang berada dalam adegan sinetron yang dibekukan waktu.
Aku menahan napas. Ini saatnya. Calon suamiku akan masuk lewat pintu itu. Aku bertanya-tanya seperti apa rupa orang yang akan ku jadikan suami. Kalau sampai ayahnya harus mengatur pernikahan ini untuknya, jangan-jangan dia sudah tua, nggak menarik, dan nggak bisa cari pasangan sendiri, walaupun katanya sih dia orang kaya.
"Rayza!" Bos berteriak kegirangan sambil bertepuk tangan saat melihat putranya melangkah masuk ke dalam ruangan.
Aku sendiri tidak yakin apa yang aku harapkan, tapi yang kulihat saat itu sungguh... mengejutkan. Lupakan soal penampilan Rayza aku bahkan tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Dia tidak masuk sendirian. Lebih tepatnya, dia tidak bisa masuk sendirian.
Dua pria bertubuh besar, mengenakan jas hitam dan kaca mata hitam seperti pengawal pribadi, menopangnya dari kiri dan kanan. Tangan Rayza disampirkan di bahu mereka.
Luar biasa. Rayza... tampaknya tidak sadar?
Yang kulihat, dia seperti diseret masuk ke dalam Gedung oleh dua pria tadi. Kepalanya tertunduk, tubuhnya lunglai, dan sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda sadar dengan apa yang sedang terjadi. Semakin dekat mereka berjalan ke arah pelaminan, aku bisa melihat Rayza dengan lebih jelas.
Meskipun wajahnya tertutup karena posisinya membungkuk, aku bisa langsung menyimpulkan satu hal dia tidak tua, dan jelas tidak jelek. Bahkan, Rayza tinggi. Sangat tinggi. Padahal dua pria berpakaian hitam yang menyangganya itu sudah jauh lebih besar dari kebanyakan orang, tapi Rayza yang membungkuk pun tetap terlihat lebih tinggi dari mereka.
Rambutnya pirang terang dan yang paling mencolok dia tidak berpakaian seperti seorang pengantin pria. Itu sudah pasti.
Ketika dua pria itu mengantarnya ke lorong atau lebih tepatnya, menyeretnya. Aku akhirnya mengerti kenapa, dan tampaknya sebagian besar tamu di gedung juga mulai menyadarinya. Bau alkohol yang menyengat begitu kuat sampai-sampai aku yakin semua orang bisa menciumnya.
Hidungku otomatis berkedut karena baunya, dan secara refleks aku mulai mengipasi udara di depan hidungku dengan tangan.
Rayza mabuk berat.
Dari cara berpakaiannya, aku bisa menebak kalau dua pria itu mendandaninya saat dia tidak sadar. Rayza tidak mengenakan kemeja, tapi seseorang sudah memakaikannya celana panjang putih, jas blazer putih, dan sepatu kulit hitam.
Dada bidang dan perut six packnya tampak jelas karena jasnya dibiarkan terbuka dan tidak dikancingkan.
Jadi… ini calon suamiku. Sejujurnya, dia tidak seburuk bayanganku. Dia kelihatan seumuran denganku, tinggi, tegap, dan, yah… cukup tampan. Tapi semua itu tidak membuatku merasa apa-apa. Apa pun yang terjadi, aku tetap tidak mau menikahi pria ini.
Sebenarnya aku ingin bertanya apakah upacara pernikahan bisa tetap dilanjutkan dengan mempelai pria yang jelas-jelas tidak sadar seperti ini, tapi aku takut ayahnya bakal nembak kepalaku secara harfiah pakai pistolnya. Jadi aku memilih diam dan menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Para tamu, yang sebagian besar adalah anggota geng mafia, mulai berbisik-bisik pelan satu sama lain. Aku tidak bisa menangkap persis apa yang mereka katakan, tapi bisa menebaknya. Dari yang kudengar sebelumnya, Rayza punya reputasi yang… agak berbeda dibanding anggota geng lainnya.
"Umm... mempelai prianya masih sadar, nggak?" bisik pendeta tua itu pelan sekali sampai-sampai aku nyaris tak mendengarnya.
Tepat sekali… terima kasih sudah menunjukkan Hal itu, Pak Pendeta!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments