"Apa itu penting?" sahut si bos dengan suara menggelegar, berdiri tegak di depan anaknya sendiri.
"Baiklah... janji nikah..." gumam si pendeta dengan ragu, matanya yang biru pucat tampak gelisah, celingak-celinguk ke segala arah.
Katakan, Pendeta! Katakan bahwa kami nggak bisa menikah kalau pengantin prianya nggak sadar dan nggak bisa ucapin janji nikahnya. Maksudku, apa dia tahu apa yang sedang terjadi? Emangnya penting kalau dia nggak tahu apa yang dia lakukan?.
"Oh... begitu," kata si bos sambil mengangguk pelan, seolah mengerti.
Aku tertegun melihat reaksi bos mafia yang tiba-tiba penuh pengertian. Ia terus mengangguk-angguk seperti sedang mencerna sesuatu.
"Dia harus ucapin janji nikah... ya... ya..." gumamnya sendiri, seolah lagi ngobrol sama pikirannya sendiri.
Rayza masih terkulai kayak mayat. Aku yakin kalau dua orang itu nggak menopangnya, dia pasti sudah ambruk jatuh ke lantai.
Bugh!
Suara keras menggema di seluruh ruangan gereja yang lantainya dari marmer itu. Aku terkesiap, begitu juga semua orang yang hadir, menyaksikan apa yang baru saja terjadi.
Tanpa aba-aba, si bos mendadak menghantam pelipis anaknya sendiri pakai gagang pistol. Kencang.
Apa itu barusan... ngebunuh dia?! Gila... dia berdarah...
Mataku membelalak. Mulutku terbuka lebar karena syok. Darah mengalir dari pelipis Rayza, menuruni sisi wajahnya.
"Bangun, Nak!" teriak si bos sekencang-kencangnya.
Suaranya begitu keras sampai aku harus menutup telingaku dengan kedua tangan. Orang ini bener-bener sinting. Dia baru saja mukul anaknya sendiri buat nyadarinnya?! Aku yakin semua orang di sini juga udah kehilangan akal!
"...hmmm..."
Yang bikin nggak masuk akal, Rayza mulai bergerak dan keluarin suara-suara aneh kayak orang cadel. Aku bengong melihat dia tiba-tiba ngangkat kepalanya yang tadinya nunduk, sekarang jadi tegak. Apa dia baru bangun? Dia beneran bangun... gitu aja?
"Rayza! Bangun, Nak!" teriak bos itu keras-keras, persis di samping telinga Rayza.
Rayza langsung buka matanya dan lihat-lihat ke sekeliling dengan wajah ngantuk.
Aku bisa bayangin dia pasti bingung, kenapa dia ada di gereja dan dikelilingi banyak orang. Tiba-tiba matanya ngelirik ke arahku, dan tanpa sengaja pandangan kami saling bertemu. Aku sempat kaget juga, karena ini pertama kalinya kami saling tatap.
Aku ngelihatin sepasang mata biru yang indah banget pas kami saling pandang. Aku tertegun; dia kelihatan bingung. Beberapa detik kemudian, Rayza miringin kepalanya kayak lagi mikir, mencoba ngerti apa yang lagi terjadi.
Perlahan-lahan, Rayza ngeluarin diri dari pegangan dua orang pria yang tadi menyangga tubuhnya. Dia masih kelihatan sempoyongan, kayak orang mabuk, tapi dia maksa berdiri pakai kakinya sendiri.
"Jangan sentuh gue…" gumam Rayza pelan, dengan alis pirangnya yang saling berkerut karena kesal.
Dua pria itu langsung nurut, melepas Rayza. Bosnya buru-buru datang ke samping Rayza buat ngecek keadaan anaknya. Rayza ngangkat tangannya dan nyentuh pelipisnya yang ternyata masih berdarah. Aku heran, kenapa belum ada yang ngasih dia pertolongan medis? Dia lihat darah di tangannya, jelas-jelas bingung setelah nyadar ada luka di kepalanya.
"Apa kepalaku kebentur?" tanya Rayza langsung kepada ayahnya.
"Enggak. Ayah ngetok kepala kamu pakai gagang pistol biar kamu bangun! Kamu harus nikah sekarang juga. Ini bukan waktunya buat mabuk-mabukan!" bentak ayahnya sambil berteriak lantang ke arah putranya.
Bicara pelan dan tenang jelas bukan keahlian si bos besar.
"Ya... sialan..." umpat Rayza sambil menyeka darah yang menetes di pelipisnya. Jas putihnya langsung bernoda merah.
"Lanjutkan upacaranya! Kita nggak punya waktu seharian!" bentak si bos ke arah penghulu yang tampak gemetar ketakutan.
Ini enggak boleh terjadi. Lanjutkan upacara? Aku benar-benar harus menikah sama pria itu? Keringat dingin langsung membasahi punggungku, dan panik mulai mengambil alih. Kalau aku menikah dengannya, hidupku benar-benar tamat.
Aku bakal terjebak sama mafia gila ini seumur hidupku.
Enggak... Ini pasti cuma mimpi buruk.
Si bos yang udah kehilangan kesabaran menarik lengan putranya kasar dan menyeretnya ke depan. Aku melihat Rayza sempat terhuyung karena tarikan ayahnya, tapi lalu dia tiba-tiba berhenti di tengah langkahnya, seperti baru saja kepikiran sesuatu.
"...Siapa dia?" tanya Rayza sambil menunjuk ke arahku.
Akulah perempuan yang seharusnya kamu nikahi. Tapi kayaknya kamu bahkan nggak sadar siapa aku, atau apa yang sedang terjadi, karena kamu mabuk berat, teriakku dalam hati.
"Itu calon istrimu, Rayza!" teriak si bos, nadanya makin kehilangan kesabaran.
"...Dia bukan calon istriku," jawab Rayza, tegas.
Wow. Nggak nyangka. Kayaknya nggak ada pengantin perempuan yang berdiri di altar dan berharap bakal ditolak, tapi jujur... aku seneng banget denger itu. Tolong, batalkan pernikahan konyol ini, biar aku bisa pulang sama nenekku. Tolonglah!
"Apa yang kamu omongin?! Kita udah bahas ini! Kalau Bapak bilang dia istrimu, berarti dia ISTRIMU!" bentak si bos, mukanya nyaris nempel ke wajah Rayza.
Aku meringis melihat ketegangan di depanku. Anggota geng lain dan para tamu masih terpaku di tempat duduk mereka, suasana benar-benar hening. Aku cuma ingin pulang. Gedung ini dingin, dan dari sudut mataku aku lihat nenekku tampak makin pucat dari menit ke menit. Dia kelihatan benar-benar nggak enak badan.
"Namamu siapa?" tanya Rayza padaku, suaranya pelan tapi jelas, meskipun masih dalam kondisi setengah kacau.
Aku kaget dia benar-benar bicara langsung padaku. Tatapan matanya tajam menancap di wajahku, dan aku nyaris nggak bisa bicara. Rayza masih menatapku, matanya menyipit, menunggu jawabanku.
“…Maya. Namaku Maya Sanjaya.” akhirnya aku berhasil mengatakannya, meskipun suaraku terdengar gemetar dan kering.
“Amelia. Aku nggak akan nikah sama siapa pun selain Amelia. Dia bukan calon istriku,” ujar Rayza dengan tegas sambil menunjuk ke arahku. Dia menepis tangan ayahnya dan berbalik hendak pergi.
“Apa yang kamu bilang?! Amelia… Arghhh! Cepat tangkap dia!” bentak sang bos sambil menunjuk ke punggung putranya.
Orang-orang itu langsung berdiri dari tempat duduk dan menahan tangan serta kaki Rayza sampai dia terpaksa berlutut di hadapan ayahnya.
Sekarang apa? Ternyata Rayza sudah punya seseorang yang dia cintai dan ingin dia nikahi. Aku juga punya seseorang yang sangat kucintai, meskipun dia nggak pernah mau menikahi orang seperti aku…
Yang terjadi setelah itu adalah kekacauan total. Para anggota geng berusaha keras menahan Rayza, sementara bosnya terus-menerus membentaknya. Beberapa saat kemudian, Rayza kembali pingsan, dan tidak ada satu pun yang bisa membuatnya sadar.
Akhirnya, aku sangat lega karena upacara pernikahan itu tidak jadi dilanjutkan. Bukan berarti aku langsung terbebas dari jeratan mafia, tapi setidaknya aku bisa menunda pernikahan itu untuk satu hari lagi. Para pria berpakaian hitam mengawal ku dan nenek kembali ke kamar rumah sakit setelah aku berganti dari gaun pengantin.
Hari itu, aku tidak pernah melihat Rayza lagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments