BAB 2

Setelah dirasa mulai menjauh, Satria menepikan motornya di bahu jalan. Ia melepaskan helm lalu menoleh ke belakang. Sontak, wajahnya begitu dekat dengan Amira. Mata mereka saling menangkap beberapa saat.

"Ma-Makasih." Ucap Amira menundukkan kepalanya sambil merapatkan jaket kulit yang sedari tadi membaluti tubuhnya.

"Rumah kamu dimana?" Tanya Satria lembut. "Biar aku bisa mengantarkan kamu ke—"

"Jangan!" Potong Amira menggelengkan kepalanya. "A-Aku ..."

Amira bergeming. Kalimatnya menggantung di udara. Tangannya meremas erat ujung jaket kulit yang membalut tubuhnya, seakan hanya itu yang bisa ia jadikan pegangan untuk tetap kuat. Sedangkan, Satria menelan saliva. Ia menatap Amira meneteskan air matanya. Dadanya ikut sesak melihat Amira terisak. Nampak rapuh namun tetap berusaha menahan beban yang terlalu berat untuk usianya.

"Keluargamu pasti mengkhawatirkan dirimu." Sambung Satria.

Keluarga. Kata itu seperti tamparan mematikan bagi Amira. Air matanya yang sedari tadi hanya bulir kini deras membasahi wajah. Keluarga siapa yang peduli padanya? Ia tak memiliki siapapun semenjak Ibu dan Ayahnya tiada. Sedangkan, ia hanyalah anak satu-satunya dari mereka. Tidak ada pelukan tempat ia bersandar, tidak ada benar-benar rumah yang bisa ia sebut pulang.

"Maaf, apa ucapanku menyakitimu?" Desak Satria dengan penuh kehati-hatian.

"Aku tidak ingin pulang." Geleng Amira. "A-Aku takut. Aku takut mereka mengejarku lagi."

Satria mengernyitkan alisnya. "Mengejar?"

"A-Almarhum Ayahku punya hutang yang cukup besar untuk perusahaannya. Hingga saat itu Ibuku menggugat cerai Ayah. Mereka berpisah." Jelas Amira dengan terisak, suaranya parau terbawa tangis. "Saat itu aku hanya bersama Ayah. Aku tidak pernah tahu masalah apa yang membuat Ayah semakin berlarut memikirkan perusahaannya hingga dia ..."

Kalimatnya terputus lagi. Sesak dadanya terasa semakin menyesal kuat. Dunia malam ini benar-benar terasa runtuh di depan mata. Lampu-lampu jalan yang berderet di sepanjang aspal hanya tampak seperti kilatan samar, tak mampu memberi penerangan dalam gulita hatinya. Suara kendaraan yang melintas bagai gema jauh, asing, dan tak menyentuh kesunyian yang menggerogotinya. Di balik punggung Satria, Amira terisak semakin dalam, merasakan seakan-akan hidupnya tinggal serpihan yang diombang-ambingkan angin malam.

"Dia tega meninggalkan aku di panti asuhan dan pergi. Hingga ..." Suara Amira pecah di sela tangisnya. "Hingga aku mendapat kabar kalau Ayah meninggal karena kecelakaan pesawat yang ia tumpangi untuk tiba ke Kalimantan. Entah untuk menemui siapa."

Satria membekam bibirnya, mendengar pengakuan itu. Ada sesuatu yang menghantam dadanya, berat dan menusuk, seakan luka Amira ikut menetes ke dalam dirinya. Pandangannya lurus ke depan, namun hatinya bergetar hebat. Amira, wanita yang cantik. Matanya bahkan menyimpan banyak ketulusan. Namun ia ternyata begitu rapuh dan hancur.

"Aku lari dari panti itu." Sambung Amira. "Aku tidak pernah tahu bagaimana bisa Ayah melakukan itu padaku. Aku bahkan tidak pernah tahu kalau Ayah memiliki hutang yang cukup besar hingga harus melibatkan aku."

Jakun Satria nampak bergoyang naik turun.

"Tak ada pilihan lain. Aku melakukan ini demi melunasi hutang Ayahku."

"Berapa?" Suara Satria tiba-tiba memecah kesedihan yang dirasakan wanita dihadapannya. "Berapa hutang Ayahmu?"

Amira mengangkat wajah. Ia tersadar bahwa sedari tadi mata itu menangkapnya—mata teduh yang menyimpan ketulusan, bukan sekadar rasa iba. Ada sesuatu dalam sorot mata lelaki itu yang membuat Amira ingin percaya, meski hatinya sudah berkali-kali dikhianati oleh keadaan. Hangat, menenangkan, seolah berkata bahwa ia tidak lagi perlu berjuang sendirian. "Ma-Mas ..."

"Satria." Lengkap Satria dengan sedikit gurat senyuman. "Aku Satria Dharmawangsa. Kamu?"

Amira tertelan dan tertunduk lagi. "A-Amira."

"Jadi, Amira. Kalau boleh tahu ... berapa hutang Ayahmu?"

"Li-lima puluh juta sisa hutang Ayahku. Setelah aku tahu rumah dan seluruh aset berharga milik Ayahku di sita." Jelas Amira. "Ma-Maaf. Tidak seharusnya, aku ..."

"Aku bisa bantu kamu." Potong Satria dengan tegas. Membuat mata itu kembali menangkap wajahnya lagi. "Lima puluh juta." Angguknya. "Aku bisa membayarnya."

Amira terkejut. Matanya membesar, air mata yang belum sempat kering kini kembali tumpah. Ia memandang Satria, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. "A-Apa maksud kamu?"

"Aku gak akan pernah membiarkan tubuh kamu sebagai penggantinya. Kamu terlalu berharga, Amira." Ungkap Satria.

Amira terdiam, matanya berkaca. Napasnya tersendat, tertahankan oleh kalimat itu. "Kamu tidak perlu melakukannya."

"Aku akan melakukannya, Amira." Ucap Satria dengan tatapan sungguh-sungguh. "Aku yang akan membayari hutang Ayahmu. Jadi, mulai saat ini, akan aku pastikan orang-orang itu gak lagi ngejar kamu."

"Ke-Kenapa kamu melakukan ini?"

Satria tak menjawab. Ia hanya tersenyum sembari mengenakan helmnya lagi. "Dimana rumah kamu?" Ulang Satria lagi.

Amira menunduk, jemarinya saling meremas. “Di … Jalan Anggrek nomor lima belas.” Jawabnya pelan, nyaris seperti bisikan.

"Baiklah. Akan aku pastikan mereka tak mengejarmu lagi." Satria menyalakan mesin motornya. Setelah memastikan wanita itu duduk dengan benar, ia memutar gas perlahan, membawa mereka menjauh dari keramaian malam.

****

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!