Hujan mulai berhenti, tepat pukul enam sore. Langit yang mendung kini di susul gelap, menyambut malam tanpa senja. Satria bersiap untuk pulang. Secangkir espresso yang ia pesan sejak tadi sudah habis tak bersisa.
Sebelum memasukkan kamera ke dalam tasnya, ia tersenyum melihat seringkali wajah wanita yang memang asing namun berhasil terpatri di dalam hatinya. Siapa nama wanita itu? Darimana asalnya? Mengapa wajah cantiknya tertutup oleh kesedihan yang seakan enggan pergi?
Namun, sesaat sebelum ia hendak pergi dari kafe tersebut, pandangannya tanpa sengaja kembali tertuju pada sosok Amira yang tengah keluar dari salah satu ruangan sambil mengenakan mantel hitam. Langkahnya seolah tergesa-gesa. Seperti ada sesuatu yang menunggunya, namun entah siapa dan kemana. Di balik tatapannya yang redup, seolah menyimpan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah berani di ucapkan.
"Kamu berhasil membuat aku penasaran." Gumam Satria segera mengenakan bagpack-nya lalu melangkah keluar kafe, mengikuti jejak Amira tanpa sepengetahuan wanita itu.
Amira melangkah sangat cepat. Sesekali, ia melirik jam di lengannya. Waktu masih terlalu sore namun dadanya terasa sesak. Seakan ada sesuatu yang harus ia kejar.
Dinginnya angin sore menyeruak, menerpa tubuh serta merta menusuk pori-pori kulit dari balik serat mantel hitam yang dikenakannya, sehingga menghadirkan rasa suwung yang tak berkesudahan.
Amira terus berjalan, menelusuri trotoar. Menyebrang jalan raya lalu berbelok menuju ke sebuah jalan kecil yang sepi. Ada becekan sisa hujan di sepanjang jalan kecil itu. Amira melangkah hati-hati, sesekali menunduk menghindari cipratan air yang memantulkan cahaya lampu jalan redup.
Ia tak yakin dengan keputusan ini. Namun setelah jalan itu mengarahkannya pada jalan raya yang membentang luas, langkahnya terhenti sejenak. Kendaraan berseliweran, lampu-lampu kendaraan berkelebat seperti kilatan cahaya. Saat ia menoleh, tampak jajaran bangunan megah sekaligus hotel berdiri angkuh, seolah menatapnya dengan dingin.
Amira menghela napas. Menyesapi udara sore dan bau tanah bekas hujan. Setelah itu, ia mengangguk dan mulai meneruskan langkahnya di sisi jalan meski hatinya tak yakin. Lampu-lampu mulai menyala, bayangannya terpantul di kaca-kaca raksasa, hingga akhirnya langkah itu menuntunnya mendekat ke hotel yang menjulang megah di hadapannya.
Hutang ayahmu cukup banyak. Apa kamu sanggup membayarnya?
Pernyataan itu kembali menggelayuti pikirannya. Tanpa bisa membayar hutang almarhum sang Ayah pun, Amira pasti akan jatuh ke lubang yang sama seperti yang akan ia hadapi sekarang. Bedanya, ia akan terbebas dari jeratan itu selamanya dan melanjutkan kehidupannya meski memang, semua itu tidak baik-baik saja baginya.
"Jika ini harga yang harus aku bayar, akan aku lakukan demi Ayah." Amira mengusap kasar kelopak matanya yang menghangat. Ia mengangguk diri dan mulai melangkah masuk ke dalam hotel.
Sebuah bangunan yang belum pernah ia jejaki lagi sejak terakhir kali bersama keluarganya dulu, saat ia masih kecil, berlibur dan menginap di sebuah hotel dengan sukacita. Kini, kenangan itu justru terasa pahit. Amira melangkah seorang diri, tanpa siapa pun di sisinya. Udara sejuk dari rongga AC yang bercampur dengan aroma parfum bukan lagi sambutan hangat, melainkan menghadirkan ketegangan dan cemas yang kian memuncak, seiring langkahnya terus berjalan menelusuri sebuah kamar hotel yang sudah ia ketahui sebelumnya.
Begitu keluar dari pintu lift, Amira kembali melangkah menyusuri lorong yang dipenuhi karpet tebal berwarna merah marun. Terdapat lampu-lampu kristal di langit-langit berkilau, namun semua itu terasa dingin dan asing baginya.
Tiga ratus dua puluh delapan. Dada Amira semakin sesak saat ia sudah ada di depan pintu kamar bernomor itu. Dengan gemetar, ia meraih ponsel dari sling bag nya lalu mulai mencari nomor yang harus ia hubungi. Namun, sebelum jarinya menyentuh tombol panggilan di atas layar ...
Krek!
Amira menelan saliva. Jantungnya kian berdegup kencang. Kakinya bergerak selangkah lebih mundur. Dari balik poni rambut yang menutupi sebagian wajahnya, matanya berusaha mengintip nomor kamar itu sekali lagi, memastikan ia tak salah tempat.
Pintu itu akhirnya terbuka, celah tipis cahaya dari dalam kamar menyemburat ke lorong. Seorang pria akhirnya muncul dari balik pintu, usianya sangat jauh darinya. Rambutnya yang mulai memutih tersisir rapi, wajahnya dihiasi keriput namun sorot matanya cukup dalam, seolah mampu menembus kegelisahan Amira yang berdiri kaku di ambang lorong. Namun senyumnya yang hangat dan antusias menyambut Amira, menciptakan kontras dengan kecemasan yang sedari tadi mencengkeram dadanya. Ia tak tahu harus membalas dengan senyum atau tetap terdiam kaku.
"Masuklah." Ucap pria itu sembari meraih jemari Amira. Sentuhannya dingin dan tegas, seolah tak memberi ruang untuk menolak.
Cahaya dari dalam kamar menyergap, menyelimuti tubuh Amira yang mendadak kaku. Kamar itu luas dengan karpet tebal membentang, dindingnya dihiasi lukisan abstrak, dan lampu gantung kristal memancarkan cahaya kekuningan yang temaram. Meski mewah, suasana di dalamnya terasa dingin dan menekan, membuat Amira semakin sulit bernapas lega. Apalagi, ketika pria itu akhirnya mengajak dirinya untuk duduk di tepi ranjang.
"Kita mulai darimana, sayang?" Kata pria itu sembari meraih dagu Amira tanpa permisi. "Apa harus saya jelaskan lagi semuanya dari awal, supaya kamu benar-benar yakin harus melakukannya?"
Amira tertegun. Detik berikutnya, ia menggeleng. Semua sudah jelas. Tak ada pilihan lain untuk menyelesaikan semuanya. Ia tak ingin dihantui oleh hutang-hutang Ayahnya yang cukup besar. Meskipun semuanya tidak bisa terbayar, nyawa Amira sama halnya seperti ia gadaikan sendiri demi kebebasan dari jeratan itu.
Ia tahu, tak ada uang sebesar itu yang bisa ia dapatkan dalam waktu singkat. Dan di hadapannya, pilihan yang paling pahit justru sudah disodorkan sejak awal—jika Amira tak sanggup membayar, maka ia harus menyerahkan dirinya dengan cara lain, yakni menikah dengan sang pemilik hutang. Amira tak mau. Ia tak ingin.
Pernikahan seharusnya menjadi ikatan yang suci, penuh kebahagiaan yang di dalamnya terdapat rasa kasih dan cinta yang bahkan sanggup memberikan apapun termasuk dirinya kepada orang yang ia cintai.
Tapi baginya, harga diri itu kini hanyalah jalan untuk menebus dosa atas perbuatan sang Ayah, sekaligus mengikatkan dirinya pada seseorang yang asing bahkan tak pernah ia kenal sebelumnya. Amira kemudian menahan napas ketika pria itu mendekat.
Gerakan pria itu pelan, namun cukup untuk membuat jantung Amira berdegup tak beraturan. Tangannya terulur, meraih wajah Amira dengan jemari yang dingin namun kuat, lalu semakin turun menyentuh lehernya—seolah hendak mengikatnya, mengunci setiap kemungkinan untuk melarikan diri.
Tatapan pria itu dalam, menelusup hingga ke ruang hati yang berusaha Amira lindungi. Ia menggigil, bukan karena dingin udara dari pendingin ruangan, melainkan karena sadar bahwa jarak di antara mereka kini hampir lenyap, dan kebebasannya tergadai dalam genggaman yang tak bisa ia lepaskan.
Pria itu kemudian tersenyum. Senyum puas yang membuat Amira semakin takut. Tangan pria itu terulur, perlahan menyingkap mantel yang sedari tadi membalut tubuhnya. Dalam sekejap, rasa hangat dari mantel itu lenyap, menyisakan Amira dalam kerapuhan.
Pria itu sejenak tersenyum lagi. Menatap Amira yang hanya berbalut gaun tipis dan terbuat dari kain satin halus dengan tali tipis di bahu. Bagi orang lain, mungkin terlihat anggun. Namun bagi Amira, gaun itu justru terasa terlalu terbuka yang membuat dirinya merasa semakin kecil dan tak berdaya.
"Gaun yang aku belikan untukmu memang sangat cantik untukmu. Kamu milikku malam ini, sayang." Ucap pria itu mulai mendorong tubuh Amira perlahan jatuh ke tepi ranjang.
Saat itu juga, Amira tak bisa menahan air matanya. Pipinya basah, pandangannya buram, dan tubuhnya bergetar hebat. Ia merasa seluruh ruang kamar itu berkonspirasi untuk menelannya hidup-hidup.
Pria itu berdiri di hadapannya, dengan tatapan puas yang menusuk, dan gerakan yang membuat Amira kian terpojok. Kemudian, setiap helai pakaiannya mulai terlepas. Sedangkan, dalam hati kecilnya, Amira berteriak—ingin lari, ingin menolak. Namun pria itu sekarang mulai merengkuhnya. Menjeratnya dalam diam.
Mula-mula, pria itu menyesapi aroma tubuhnya dari atas tanpa ingin ada satupun yang terlewatkan. Kulit mulus dan halus Amira terasa lembut dan hangat, namun bagi Amira sendiri itu sangatlah menjijikkan.
"Kamu milikku sekarang, sayang!" Bisik pria itu, terdengar lembut di telinga Amira.
"Enggak!" Isak Amira.
Brug!
Suara pintu terbanting terbuka menghantam keheningan kamar hotel itu. Amira terlonjak, air matanya masih mengalir, sementara pria di hadapannya menoleh dengan wajah terkejut.
Di ambang pintu berdiri seseorang—dada terengah, sorot matanya tajam menusuk. Ketegangan mendadak berubah arah, seolah udara di dalam kamar membeku dalam sekejap.
Amira membelalakkan mata, antara tak percaya dan berharap. Bibirnya bergetar, nyaris menyebut nama sosok yang kini berdiri di sana. Wajah yang pernah ia temui belum lama ini. Di kafe tempat ia bekerja. Senyumnya yang hangat kini terbalut oleh amarah yang memuncak.
Satria bergerak mendekat. Rahangnya mengeras menahan emosi. Dengan satu gerakan penuh amarah, ia mendorong tubuh pria itu dari Amira dan membuat pria tersebut terhuyung dan kehilangan keseimbangan. Saat itu juga, Satria segera menarik lengan Amira keluar kamar. Gerakannya cepat, seakan waktu tak memberi mereka kesempatan untuk berpikir. Amira yang masih terisak hanya bisa mengikuti langkahnya, tubuhnya limbung di antara rasa takut dan lega.
Mantel yang tadi menyelimuti dirinya tertinggal di atas ranjang, seakan menjadi saksi bisu kekacauan yang nyaris menelannya. Hanya sling bag kecil yang tetap menempel di bahunya, bergoyang mengikuti langkah tergesa mereka.
Genggaman Satria tak sedikit pun terlepas—erat, tegas, seakan bersumpah takkan membiarkan Amira kembali jatuh ke dalam tangan orang yang barusan mereka tinggalkan.
Beberapa pasang mata melirik mereka. Para tamu hotel yang kebetulan melintas di lorong maupun keluar dari kamar masing-masing sempat berhenti, menatap dengan sorot penuh tanda tanya. Ada yang berbisik pelan, ada pula yang sekadar mengerling, seolah sedang menonton sebuah drama yang tiba-tiba langsung membawa mereka ke puncak masalah.
Saat itu juga, Amira menunduk, bukan hanya berusaha menyembunyikan wajahnya yang penuh air mata, tapi juga karena ia benar-benar merasa malu dengan pakaian yang melekat di tubuhnya. Gaun tipis itu terasa semakin menusuk harga dirinya, membuat setiap tatapan orang-orang di sekitarnya seolah menelanjangi kelemahannya.
Tubuhnya bergetar, langkahnya semakin kecil, sementara Satria tetap menggenggam erat lengannya. Tak sekali pun ia melepaskan genggaman itu, seakan berusaha melindungi Amira dari sorot mata dunia luar.
Hingga akhirnya, Satria berhasil membawa Amira keluar dari gedung hotel itu. Malam menyambut mereka dengan udara dingin yang menusuk kulit. Tanpa banyak bicara, Satria segera melepaskan jaket kulitnya dan menyampirkannya ke tubuh Amira, menutupi gaun tipis yang sedari tadi membuatnya merasa terhina.
“Pakai ini. Cepat naik,” Ucap Satria dengan suara tegas, tapi masih ada nada lembut yang berusaha menenangkan.
Amira menunduk, tangannya gemetar saat meraih jaket itu, lalu tanpa pikir panjang ia segera naik ke motor. Jantungnya masih berdegup keras, napasnya tersengal, namun ada sedikit rasa aman yang mulai tumbuh—rasa aman yang datang dari sosok yang kini bersiap melindunginya.
Satria menyalakan motor, deru mesinnya pecah di tengah sunyi malam. Tanpa menoleh ke belakang, ia segera memacu kendaraan itu, meninggalkan hotel dan segala luka yang hampir menelan Amira bulat-bulat.
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments