Petak Umpet

Dengan langkah yang berat, Alana menginjakan kakinya ke pintu belakang rumah keluarga Bara. Sambil menyiapkan beberapa bahan masakan yang akan dia eksekusi bersama sang ibu, gadis itu melihat ke beberapa arah memastikan tak ada pria tua itu.

"Lirik-lirik apa? Kamu mau coba curi barang di sini?" Tanya ibunya ketus, yang curiga dengan gerak gerik Alana.

"Aku cuma penasaran sama anak nyonya Yuniar," jawab Alana agar ibunya tak curiga.

"Den Avind tuh ganteng, istrinya juga cantik. Tapi katanya mereka belum punya anak."

Alana tak menggubris ucapan ibunya yang berujung gosip. Dia pun mulai menyiapkan dan mengolah beberapa bahan masakan menjadi makanan sesuai pesanan sang majikan.

"Alana, kamu bisa bantu saya siapkan alat makan. Biarkan saja ibumu di dapur sendiri. Ambil piring di rak coklat sana, jangan lupa bersihkan dari debu dan juga kotoran."

Alana berusaha menolak, namun Yuniar menarik paksa gadis itu menuju ruang makannya. Dirinya pun terpaksa menuruti permintaan sang majikan, dan berharap tak berpapasan dengan suami Yuniar.

"Taruh serbet di atas meja sesuai posisi kursi. Lalu kamu tata piring dan juga sendok garpu di atasnya," perintah Yuniar sembari memberikan petunjuk pada Alana.

Gadis itu bergegas mengerjakan apa yang di perintahkan, dengan hati-hati karena takut barang milik majikannya pecah.

Tiba-tiba terlihat sosok yang berdiri di samping Alana. Gadis itu melihat dari sudut pandang matanya, nampak sepatu kulit dan juga celana semi wool yang biasa di pakai seorang pria. Alana nampak resah, berusaha menutupi sebagian wajah dengan rambut yang tergerai panjang.

"Ma, aku gak lihat papa. Kemana perginya pagi buta begini?"

Suara pria itu terdengar lebih muda, bukan suara khas bapak-bapak yang sudah berusia lima puluh tahunan. Alana sedikit demi sedikit mencuri pandang pada pria di sampingnya.

"Papamu ke bandara, jemput kakaknya yang di Aussie. Makanya sekarang mama buat acara makan kecil-kecilan. Selain menyambut kamu, juga menyambut keluarga papamu."

Mendengar percakapan ibu dan anak, Alana semakin merasa rendah. Ada jarak yang terpaut jauh antara mereka, apalagi dari status sosialnya.

"Oh ya Vind, lip balm yang kamu temukan kemarin coba bawa. Mungkin itu punya Alana," ucap Yuniar yang mengingat kejadian kemarin. Alana pun teringat kejadian semalam, saat dirinya mencari lip balm miliknya yang tak ada dalam tas make up nya.

Aravind segera ke kamar, dan kembali ke ruang makan sambil memberikan benda kecil itu pada ibunya.

"Ini milikmu kan?" Tanya Yuniar sembari menunjukan lip balm yang di temukan putranya.

Alana mengangguk sembari tersenyum, dan segera mengambil itu dari tangan Yuniar.

"Terima kasih nyonya dan juga tuan muda," ucap Alana sambil menoleh pada putra majikannya.

Tanpa sadar Aravind terus menatap gadis remaja di hadapannya, memperhatikan dari ujung kaki dan kepala. Gadis sederhana yang nampak menawan.

"Cantik," bisiknya mengagumi kecantikan Alana.

"Vind, kamu mau menginap di sini berapa lama? Mama harap kamu tinggal di sini saja," pinta Yuniar dengan raut wajah serius.

"Akan aku usahakan, yang paling sulit mungkin meyakinkan Elyn untuk tinggal di sini."

Alana pamit menuju dapur karena pekerjaan di ruang makan sudah selesai. Yuniar mengangguk, mengizinkan gadis itu membantu ibunya yang tengah bergelut memasak beberapa makanan yang cukup banyak.

•••

"Berapa lama kalian liburan di sini? Aku akan menyerahkan pekerjaanku pada Dani dan menemani kalian ke beberapa tempat," ucap Bara yang tengah menyantap makan siang bersama keluarganya.

Nampak Yuniar dengan senyum karirnya, dan juga Aravind dengan ekspresi datarnya.

"Kita di sini hanya satu minggu, lagi pula hanya urusan bisnis. Bukan untuk bersenang-senang."

Bara mengangguk mendengar penjelasan kakaknya, lalu menyantap kembali makan siangnya seolah merasakan sesuatu yang baru dia makan.

"Rasanya sedikit beda, tak seasin biasanya. Apa benar ini Bi Ira yang masak?"

"Anak Bi Ira juga bantu-bantu. Sepertinya itu masakan Alana, putrinya," jawab Yuniar yang juga setuju dengan pendapat suaminya.

Seketika Bara mengingat nama yang di sebut istrinya. Seolah pernah mendengarnya di suatu tempat.

"Ma, pa. Aku mau ke kamar dulu, ada zoom meeting. Dan untuk om, tante, selamat bersenang-senang di Indonesia."

Aravind meninggalkan keluarganya setelah menghabiskan makan siangnya. Alasannya memang masuk akal, namun bukan hal itu yang membuatnya masuk ke dalam kamar.

Sementara di dapur, Alana masih harus menyiapkan buah potong untuk majikannya. Sesuai permintaan Yuniar, gadis itu harus membagikannya 20 menit setelah jam makan siang. Dua puluh menit baginya yang terlalu cepat untuk bisa menghindari pertemuan dengan pria tua keladi yang hampir menghancurkannya.

"Bu, nanti antar buahnya ke meja makan sama ibu ya. Aku yang cuci alat masak juga piringnya," pinta Alana beralasan menghindari pertemuan dengan Bara.

"Ya sudah, kamu cuci ini. Soalnya panci sama wajannya lumayan berat juga. Ibu ke sana dulu ya antar buahnya."

Alana bernafas lega, dirinya bisa menghindari pertemuan dengan pria paruh baya itu. Pria yang sudah memecatnya karena telah dia tolak berkali-kali untuk menjadikannya istri ketiga.

"Apa nyonya tahu kalau Pak Bara punya istri kedua?"

Pertanyaan itu muncul di benaknya, mengingat Yuniar yang baginya cukup baik walau berwajah tegas. Namun, harus memiliki suami yang memiliki tabiat buruk dan tak cukup satu wanita.

Acara makan pun selesai, Bara dan keluarganya kini berkumpul di halaman belakang yang cukup luas. Ira seperti biasa menyajikan beberapa cemilan dan air teh untuk majikannya.

"Bi Ira, katanya anakmu ikut kerja juga di sini. Saya kok belum lihat," ucap Bara yang penasaran dengan putri Ira. Karena di matanya, Ira pun cukup cantik di usianya yang sudah tak muda.

"Ada tuan, dia sedang rapikan meja makan. Kalau begitu, saya permisi."

Bara mempersilakan pembantunya pergi, walau benaknya terpecah antara nama anak sang pembantu yang sama dengan gadis yang dia pecat dua hari lalu. Dan juga memikirkan keluarganya yang sedang berkumpul.

"Di saat penting seperti ini, aku harus mendengar nama gadis itu. Bagaimana kalau dia mengadukan tindakanku pada ibunya. Apa dia akan melaporkan ku pada pihak berwajib? Lagipula mereka miskin, tak bisa menjebloskanku ke jeruji besi semudah itu," gumam pria itu sembari menatap kosong arah taman.

Suara ponsel miliknya berdering, Bara meminta izin pada istrinya untuk mengangkat panggilan masuk. Yuniar mengangguk, walau nampak kecurigaan yang dia taruh pada gerak gerik suaminya.

"Sudah ku bilang buka rekening, kirim nomornya dan akan aku transfer setiap bulan!"

Bara menunjukan amarah setelah mematikan panggilannya. Raut wajah penuh kecemasan serta kebingungan, di tambah nama Alana membuatnya semakin tak karuan.

Naas, gadis itu harus berpapasan dengan Bara yang tengah berdiri depan pintu belakang dapur. Alana tak bisa lagi bersembunyi dari petak umpet yang dia ciptakan sendiri.

Sementara Bara, menunjukan seringainya seolah melihat mangsa di depan yang akan dia terkam.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!