Tua Bangka Keladi

Sambil membersihkan kamar anak majikan ibunya, Alana memikirkan hal lain yang membuatnya harus segera mendapat pekerjaan baru.

Pria tua yang bahkan rambutnya hampir memutih, terpampang jelas di foto keluarga kaya di kampungnya ini. Bos besar pabrik tekstil dan juga garmen, tempat dia bekerja kemarin.

"Pak Bara, jadi dia suami Bu Yuniar. Selama ini majikan ibu, bos di tempat kerjaku," ucapnya dengan suara gemetar. Kejadian di tempat kerja yang bahkan tak bisa dia lupakan, hal yang membuatnya harus berakhir dengan pemecatan karena menolak menjadi selingkuhan dari bosnya.

"Tua bangka tak tahu diri, aku yang sepantasnya jadi anaknya malah di minta jadi istri ketiganya. Walau miskin, aku tak mau melakukan hal itu hanya karena uang," gerutunya yang masih kesal, mengingat betapa memaksanya pria tua itu ingin menikahinya.

Alana dengan cekatan membersihkan kamar yang bahkan lebih luas dari rumah kontrakannya. Sambil meregangkan ototnya, gadis itu keluar membawa mop dan juga vacum cleaner dan meletakkannya di gudang.

"Cepat juga kerjamu, bagaimana kalau kamu cuci piring juga. Ibumu yang sudah tua sedikit lambat dan belum selesai melakukan pekerjaannya."

Alana hanya bisa mengangguk, walau dia selalu kesal pada ibunya tapi dirinya tak ingin melakukan hal yang membuat malu sang ibu.

Gadis itu berjalan ke dapur mengikuti sang majikan. Melihat cucian piring di wastafel, Alana yakin jika alat makan tersebut berharga mahal. Dengan hati-hati dia mencucinya satu persatu. Mencoba menghindari kesalahan fatal yang mungkin bisa berakibat buruk pada pekerjaan ibunya.

"Umur kamu berapa?" Tanya Yuniar sambil menatap Alana dari atas ke bawah.

"19 tahun, nyonya."

"Masih sangat muda, biasanya gadis seumuran kamu gengsi bekerja sebagai pembantu. Ya, mungkin kamu tak punya kesempatan selain di sini kan. Aku suka cara kerjamu, cepat dan juga teliti," puji Yuniar dengan suaranya yang penuh wibawa.

Alana hanya mengangguk, tak mengimbangi aura yang dimiliki wanita yang usianya hampir menginjak kepala lima. Wajahnya yang cantik dan tegas masih terlihat meski kerutan di bawah mata dan juga garis senyum nya jelas nampak.

"Setelah ini, kumpulkan pakaian kotor di kamar mandi kami. Ada wadah khusus di sana, sebentar lagi tukang laundry akan ambil ke sini."

Alana hanya mengangguk kembali, tanpa mengatakan sepatah katapun. Pikirannya masih tertuju pada Bara, pria tua yang hampir melakukan tindakan tak senonoh padanya.

Beban yang dia pendam dan tanggung, tak pernah di sampaikan pada sang ibu. Dengan beberapa kejadian yang dia alami, dia tak mungkin mendapat dukungan moril dari ibunya.

Gadis itu menyelesaikan semua pekerjaannya, Yuniar yang terus memperhatikan memintanya untuk bekerja tetap di rumahnya.

"Tapi nyonya, saya..."

"Aku akan beri kamu upah minimum, jam kerjamu sekitar 7 jam. Juga ada upah lemburan jika kamu pulang melebihi jam kerjamu," tawar Yuniar yang membuat Alana memikirkan kembali rencananya.

Selama ini upah di pabrik tidak sebesar yang di tawarkan oleh Yuniar. Apalagi dia sebagai karyawan magang, yang tentunya hanya mendapat upah sebagai harian lepas.

"Tak apa, jam kerjanya pun lebih singkat dan juga aku belum tentu bertemu dengan pria tua keladi itu," gumam Alana dalam hatinya. Dengan meyakinkan diri, dia pun mengangguk, menyetujui tawaran dari Yuniar.

•••

"Kau tak datang dengan istrimu?" Tanya pria paruh baya yang sedang menyantap makan malam di atas meja yang mewah. Bara, suami dari Yuniar terlihat menatap putra semata wayangnya yang nampak muram karena tak datang bersama sang istri.

"Dia sibuk dengan pekerjaannya, apalagi ada photoshoot untuk brand make up miliknya di US. Aku tak mungkin mengganggunya hanya untuk menginap di sini."

Bara mengangguk memahami kondisi rumah tangga sang putra. Pernikahan yang sudah di jalani selama 3 tahun belum dikaruniakan seorang anak yang sudah di nantikan Bara sebagai cucu pewaris perusahaan miliknya.

"Kapan kau akan punya anak jika menuruti kemauan istrimu. Tanpa sadar kau akan menumbuhkan sikap egois, dan juga melewatkan hal penting dalam hidup. Anakmu kelak yang akan mewarisi usaha ku dan juga perusahaanmu," ujar Arya memanasi putranya.

Yuniar hanya bisa diam diantara obrolan dua pria yang memiliki aura dominan. Namun dia juga menyetujui ucapan suaminya walau terkesan memaksa.

"Papamu benar Vind, sebagai seorang wanita yang sudah menikah harusnya mengutamakan keluarga dan suami. Apalagi hadirnya seorang anak akan memberikan kebahagiaan yang berlipat ganda bagi keluarga kecil kalian."

Aravind hanya bisa tersenyum mendengar ucapan sang ibu, dia ingat betul dengan permintaan sang istri untuk tak memiliki anak dalam rumah tangga mereka. Apalagi Jecelyn, istrinya yang sedang mengepakkan sayap di dunia kecantikan yang kini sedang naik daun tak ingin dia ganggu dengan keegoisannya.

Aravind masuk ke dalam kamarnya, melihat setiap inchi sudut ruangan yang sudah tertata rapi dan juga wangi. Pria itu tersenyum, dia senang karena ibunya masih mengingat pewangi ruangan favoritnya.

Krekk!

Kakinya tak sengaja menginjak sebuah benda kecil berbentuk tabung. Pria itu membaca tulisan pada benda kecil itu.

"Lip balm? Punya siapa? Apa punya mama? Tak mungkin dia punya barang murahan seperti ini."

Pria itu keluar dari kamarnya, menemui sang ibu. Dia ingin bertanya perihal benda kecil yang ada di kamarnya. Aravind yakin jika itu bukan milik ibunya apalagi sang istri.

"Itu, sepertinya milik pembantu baru kita. Kau tahu jika Ira memiliki putri yang sudah remaja, dia akhirnya bekerja di sini mengikuti ibunya."

Aravind hanya mengangguk, sementara Bara langsung menyahut mendengar gadis remaja yang disebut istrinya.

"Benarkah itu, apa dia yang akan menggantikan Marni di sini?" Tanya Bara yang mendapat anggukan dari istrinya.

"Mama juga gak paham kenapa Marni mendadak pulang kampung. Dia beberapa hari sebelumnya mengeluh selalu sakit kepala dan sakit perut. Semoga saja dia sehat dan bisa mendapat pekerjaan layak di sana."

Bara hanya bisa menggelengkan kepala, sementara Aravind menatap tajam sang ayah seolah tahu sifat dari pria tua itu.

Pagi sekali, Ira dan Alana harus pergi ke rumah sang majikan. Hari ini mereka harus menyiapkan sarapan yang biasanya selalu Yuniar siapkan sendiri. Belum lagi, kedua ibu dan anak itu harus pergi ke pasar membeli beberapa bahan masakan yang nantinya harus di sajikan untuk putra semata wayang Bara dan Yuniar.

"Masak besar hari ini, biasanya kita bisa bawa sisa makanannya. Lumayan kan buat isi perut," ucap ibunya dengan senyum lebar karena melihat Alana yang murung sejak subuh.

"Malasnya, nanti bagaimana kalau ketemu sama Pak Bara. Aku masih takut," gumam Alana sambil menunjukan senyum pada sang ibu agar tak curiga. Walau tangannya gemetar, mengingat kejadian buruk yang tak pernah dia bisa lupakan seumur hidupnya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!