Chapter 4. Majikan Dingin

.

Kediaman Aldrich Hugo Bramantara tampak megah dengan arsitektur modern yang memadukan kaca bening dan batu marmer putih. Di halaman depan, deretan mobil mewah terparkir rapi, menandakan status pemilik rumah yang luar biasa.

Di ruang tamu yang luas dan elegan, Manajer Liang sudah duduk menunggu. Pria keturunan Tionghoa itu tampak berwibawa dengan setelan sederhana namun rapi, wajahnya serius seperti biasa. Di tangannya ada sebuah tablet berisi jadwal padat Aldrich untuk beberapa minggu ke depan.

Pintu depan akhirnya diketuk. Tante Anjani masuk, ditemani seorang pemuda berwajah tampan, rambut pendek rapi, berpakaian sederhana tapi bersih. Dialah Allen, atau sebenarnya Alleandra dalam penyamaran.

Sekilas, Liang menatapnya dari ujung kaki hingga kepala. Tidak ada kesan urakan, tidak pula terlalu berlebihan. Justru sederhana namun rapi, gaya yang biasanya menandakan orang itu teratur, rajin, dan teliti.

“Hm, Anjani. Akhirnya kalian datang juga.” gumam Liang sambil mengangguk tipis, lalu bangkit menyambut keduanya dengan ramah.

"Iya nih, sorry baru sempat dateng." Sahut Anjani lalu duduk bersama Allen setelah dipersilahkan.

“Kamu Allen, ya?” tanya Liang meski sudah jelas.

Allen menunduk sopan, duduk dengan tegak, meski dalam hatinya deg-degan luar biasa.

“Iya, Pak. Terima kasih sudah memberi kesempatan.”

"Gak usah terlalu formal ya. Panggil aja Koko. Kamu kayaknya masih under dua lima." Ucap Liang sambil terus memperhatikan gerak-geriknya. Cara Allen duduk, sikap hormatnya, juga tatapan matanya yang tenang meski jelas menyimpan sedikit gugup.

Ada sesuatu yang membuatnya berbeda dari pelamar kebanyakan, auranya terkesan dewasa dan penuh kendali diri.

“Dari penampilan kamu, saya bisa tebak kamu tipe yang telaten dan gak suka kerja setengah-setengah,” kata Liang sambil melipat tangannya di meja. “Itu bagus. Karena jadi asisten Aldrich bukan pekerjaan ringan. Kamu harus siap urus jadwal yang rumit, kadang harus ikut syuting seharian, bahkan bisa saja harus hadapi media.”

Allen mendengarkan dengan sungguh-sungguh, lalu menjawab mantap, “Saya siap, Pak. Ehm, maksudku, koko. Saya sudah terbiasa bekerja rapi dan mengatur banyak hal sekaligus. Saya percaya bisa diandalkan.”

Liang menatapnya lama. Ada kilatan penilaian serius di matanya. Dalam hati, ia mulai menimbang bahwa rekomendasi Anjani mungkin tidak salah.

"Anjani, nanti kamu aku kasih bonus ya. Kamu bawa orang yang aku cari." ucap Liang merasa senang.

"Wah, makasih banyak nih. Jadi seneng deh aku." Kekeh Tante Anjani jadi ketar-ketir.

"Ya udah nanti spill nomor rekeningnya ya." Pinta Liang.

"As soon as possible." Sahut Anjani girang.

“Aldrich masih di luar, tapi urusan ini wewenang saya,” ujar Liang akhirnya. “Kalau kamu bisa buktikan dirimu benar-benar cekatan, saya akan pertahankan kamu di sini. Kita coba dulu seminggu. Kalau cocok, lanjut.”

Allen mengangguk, tapi di dalam dirinya, kegelisahan lain bergema.

"Seminggu saja sudah cukup buat mereka tahu siapa aku sebenarnya? Apa aku bisa jaga penyamaran ini selama itu?"

Namun di depan Liang, ia tetap tersenyum, berusaha tampil meyakinkan.

***

Aldrich melangkah masuk dengan penuh wibawa, seolah udara di ruangan itu ikut menyesuaikan ritmenya. Allen yang sejak tadi duduk dengan tegak, tanpa sadar menahan napas.

"Astaga... Al... Aldrich... " Alleandra tergagap dengan pandangan terkunci dan mulut nyaris menganga.

Aldrich benar-benar sosok yang selama ini hanya bisa ia saksikan dari layar kaca, dan kini nyata di hadapannya. Kulitnya masih kencang, nyaris tanpa keriput, seolah waktu bersekongkol untuk tidak berani menyentuhnya. Rambut hitamnya tersisir rapi dan memukau.

Sorot matanya tajam, dalam, penuh wibawa, seolah mampu membaca isi hati siapa pun yang berani menatap terlalu lama. Senyumnya tipis, tetapi menyimpan magnet yang membuat siapa pun tak bisa memalingkan wajah.

Tubuhnya tegap, atletis, bahunya bidang, posturnya nyaris sempurna, menunjukkan disiplin panjang yang ia rawat di balik layar glamor dunia hiburan. Aura maskulin yang dipancarkannya begitu kuat, hingga Allen merasa dirinya benar-benar kecil di hadapan pria itu.

Dan yang paling mematikan, adalah cara Aldrich berdiri. Tegak, santai, tapi menekan, seperti seorang raja yang tak perlu berteriak untuk menunjukkan siapa penguasa ruangan.

Allen tersadar, ia kini bukan sekadar penggemar dari kejauhan, ia berada di orbit seorang pria yang nyaris sempurna, yang mungkin saja bisa mengguncang kehidupannya lebih dalam dari yang pernah ia bayangkan.

.

Setelah pintu kaca itu terbuka, dan langkah-langkah mantap terdengar memasuki ruangan. Allen yang semula masih mengatur napas, langsung menegakkan tubuhnya. Manajer Liang cepat berdiri, menundukkan kepala.

“ Mas Aldrich, ini kandidat asisten pribadi yang baru. Namanya Allen,” ujar Liang penuh hormat.

Allen menoleh dan matanya langsung terkunci pada sosok pria yang baru saja datang. Aura kharismatik itu begitu pekat, membuat bulu kuduknya meremang.

Aldrich berhenti tepat di depannya, menatapnya tajam dari ujung kepala sampai kaki. Allen merasa seperti sedang dipindai habis-habisan. Tidak ada senyum, tidak ada basa-basi, hanya tatapan hitam pekat yang seakan bisa menembus lapisan hati.

“Kamu…” suara Aldrich dalam, berat, dan tegas, “…kelihatan masih hijau.”

Allen menelan ludah. “Saya… siap belajar, Tuan. Saya cepat beradaptasi.”

Alis Aldrich sedikit terangkat, senyum tipis menghias bibirnya, tapi bukan senyum ramah. Lebih seperti ujian.

“Berani bicara begitu padahal baru pertama kali bertemu. Kamu tahu apa artinya bekerja denganku?”

Allen berusaha menahan getar suaranya. “Artinya… saya harus siap menghadapi tekanan, disiplin, dan menjaga rahasia dengan mati-matian.”

Sejenak hening. Mata Aldrich makin menyipit, sorotnya mengunci Allen seperti predator mengawasi mangsanya. Namun alih-alih menghardik, ia justru berbalik, duduk santai di kursi kulit, lalu melempar satu kalimat singkat.

“Bagus. Kita lihat seberapa kuat kamu bertahan.”

Manajer Liang tersenyum tipis, tahu sang aktor jarang memberi respon sepositif itu pada orang baru. Sementara Allen masih menahan napas, sadar bahwa kehidupannya baru saja memasuki dunia baru yang jauh lebih berbahaya dari yang ia kira.

.

Pagi pertama. Jam baru menunjuk pukul lima, tapi Allen sudah bersiap rapi dengan jas kasual yang disiapkannya semalam. Ia belum terbiasa dengan kediaman mewah Aldrich, ruangan luas, koridor panjang berlapis marmer, dan aroma parfum maskulin yang samar tercium bahkan dari ruang tamu.

Manajer Liang sudah menunggu.

“Mulai hari ini, jadwalmu penuh. Kamu akan ikut dalam setiap kegiatan, dari lokasi syuting, sesi wawancara, hingga acara pribadi. Tugasmu: memastikan Aldrich tidak terganggu hal sepele.”

Allen mengangguk mantap, meski jantungnya berdegup cepat.

Tak lama, suara langkah terdengar dari arah tangga. Aldrich muncul dengan kemeja hitam ketat yang menonjolkan tubuh atletisnya. Rambutnya tersisir rapi, wajahnya segar seakan ia baru keluar dari layar kaca. Aura bintang itu begitu mencolok, membuat siapa pun yang melihat tak bisa mengalihkan pandangan.

Tatapannya sekilas menyorot Allen.

“Masih di sini? Bagus. Ikut aku. Jangan sampai terlambat, aku benci orang gak disiplin.”

Allen buru-buru mengikuti. Dalam hati ia bertanya-tanya, apakah sang aktor memang selalu seintimidatif ini, atau hanya sedang mengujinya.

Hari itu, Allen langsung digempur dengan jadwal:

Menyiapkan berkas naskah film yang harus dibaca Aldrich di perjalanan.

Menjawab panggilan telepon dari sponsor yang tak henti masuk.

Membantu memastikan wardrobe untuk adegan laga sudah lengkap.

Di lokasi syuting, Allen tercengang. Semua kru terlihat hormat, bahkan produser pun tampak berhati-hati saat bicara dengan Aldrich. Sang aktor duduk santai, tapi tatapan matanya tetap tajam mengawasi detail, dari pencahayaan hingga posisi kamera.

Sesekali, Aldrich melempar instruksi pada Allen.

“Tolong cek ulang dialog halaman dua belas. Jangan sampai ada yang terlewat.”

“Ambilkan botol air putih, suhu ruangan terlalu kering.”

“Catat, aku gak suka kru itu mengganggu fokus. Ingatkan Manajer Liang.”

Allen berlari kecil ke sana kemari, berusaha secepat mungkin. Ia tahu, satu kesalahan kecil bisa jadi alasan untuk disingkirkan. Namun, justru itu yang membuat semangatnya terpacu.

Menjelang malam, saat syuting selesai, Aldrich masuk ke mobil mewahnya. Allen ikut duduk di kursi belakang. Jalanan sepi, lampu kota berkelebat di jendela.

Tanpa menoleh, Aldrich berkata pelan tapi tajam,

“Kamu gak buruk untuk pemula. Tapi jangan bangga dulu. Aku akan tahu siapa dirimu sebenarnya. Dan kalau ada satu saja hal yang mencurigakan… kamu selesai.”

Allen terdiam. Kata-kata itu menusuk, membuatnya sadar betapa tipis batas antara kesempatan dan kehancuran. Ia menggenggam erat ponselnya, berjanji pada diri sendiri untuk tidak goyah.

Hari pertamanya mungkin sudah lewat, tapi tantangan yang sesungguhnya baru saja dimulai.

.

YuKa/ 011025

Terpopuler

Comments

AzkiaRuby

AzkiaRuby

Maju terus pantang mundur, Len..
Si akitor kasih 'kehangatan' aja biar agak lumer

2025-10-01

5

Nana2 Aja

Nana2 Aja

akhirnya up juga. aku yakin Allen bisa mengikuti ritme kerja Aldrich. tenang Len, kamu nggak bakal tersingkir. pastinya Aldrich akan terpesona dg kecekatan kamu. mksh kak Yuka. sayang kak Yuka banyak2😍😍😍

2025-10-01

5

D.Nafis Union

D.Nafis Union

kok jadi was was yah, kira² klo ketahuan allen cewek gmn yah? 😱

2025-10-01

4

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!