Cuaca yang dingin menemani para pekerja. Setelah beberapa jam mencangkul, punggung Zhao Liyun sudah terasa seperti mau patah. Tangannya lecet, kakinya gemetar, dan perutnya yang kosong semakin menjerit.
Di dunia modern, ia terbiasa sarapan roti lembut dengan susu hangat. Tapi di sini? Bahkan bubur jagung encer pun tak mendapat jatahnya.
Kalau begini terus, aku bisa mati bukan karena naskah, tapi karena kelaparan sungguhan, pikirnya sambil mengusap keringat.
Sekelilingnya penuh dengan suara orang bekerja. Ada yang mencangkul, ada yang mengikat rumput, ada juga yang mengangkut air dari sumur desa. Semua pekerjaan dilakukan bersama-sama, dengan sistem kerja kolektif.
Itulah kehidupan di Desa Qinghe tahun 1970-an. Tidak ada hak milik pribadi yang jelas, semua hasil tani masuk ke gudang kolektif, lalu dibagikan berdasarkan kupon pangan.
Kupon itu bisa ditukar dengan beras, minyak, kain, bahkan garam. Tanpa kupon, orang tak bisa membeli apapun.
Zhao Liyun menunduk, meremas cangkulnya. Ia sudah membaca novel, jadi tahu betapa sulitnya hidup di era ini. Tapi membaca dan mengalaminya langsung sangat berbeda.
Ini benar-benar keras. Aku harus cepat menyesuaikan diri, kalau tidak, aku tidak akan bertahan.
Menjelang siang, kepala kelompok meniup peluit dari bambu. Semua orang berhenti bekerja, mengelap keringat, lalu berjalan menuju tepi sawah.
Ada meja panjang darurat dengan ember besar berisi bubur jagung dan beberapa potong lobak asin. Itulah makan siang kolektif.
Orang-orang mengantre dengan mangkuk masing-masing. Suasana penuh obrolan riang, tapi telinga Liyun lebih banyak menangkap bisikan.
“Lihat si Zhao Liyun itu, lemah sekali. Cuma mencangkul sebentar sudah kelelahan.”
“Tidak heran, dia memang tidak berguna.”
“Hmph, hanya tahu iri sama Xiaomei.”
Liyun menunduk. Kata-kata itu menusuk, tapi ia menahannya. Kalau aku marah, mereka hanya akan semakin yakin aku seperti di naskah. Lebih baik aku diam dulu.
Mereka tidak tahu, setiap kali Zhao Liyun bekerja harus menahan kelaparan karena tidak diberikan makanan yang kayak oleh ibu tirinya.
Saat gilirannya mengambil makan, ia sengaja mengambil sedikit bubur. Perutnya lapar, tapi ia tahu kalau terlalu banyak, Madam Zhao bisa memarahinya nanti.
Ia duduk di tepi, mencoba makan perlahan. Bubur jagung itu hambar, keras, bahkan ada biji yang masih kasar. Lobak asinnya terlalu asin. Tapi bagi orang desa, ini sudah cukup untuk mengganjal perut.
Ia memandang sekeliling. Semua orang makan sambil tertawa, meski menu sederhana. Mereka sudah terbiasa.
Zhao Liyun menggigit bibir. Kalau aku bisa menggunakan sedikit pengetahuan modernku, mungkin makanan bisa lebih enak. Tapi… aku harus hati-hati. Tidak boleh terlalu mencolok.
“Yun, sini duduk bareng aku.”
Sebuah suara lembut membuatnya menoleh. Lin Xiaomei melambaikan tangan dengan senyum cerah.
Semua orang yang duduk di dekatnya menoleh, sebagian tersenyum penuh arti.
Liyun kaku. Dalam novel, Xiaomei memang selalu ramah, bahkan pada orang yang membencinya. Itulah yang membuat semua orang jatuh hati padanya.
Ia melangkah mendekat dengan hati-hati, lalu duduk. Xiaomei menyodorkan potongan lobak dari mangkuknya. “Aku tahu kau suka sayur asin, ambil saja.”
Zhao Liyun tertegun. Ingatan tubuh asli berdesir—Xiaomei memang sering memberi makanan. Tapi bukannya membuatnya berterima kasih, justru menambah rasa sakit hati. Karena setiap kali itu terjadi, orang lain akan berkata, ‘Lihat, bahkan Xiaomei baik hati pada sepupunya yang pemalas.’
Jebakan halus naskah, pikir Liyun sambil memaksakan senyum. “Terima kasih, Xiaomei.”
Xiaomei tersenyum makin manis, matanya berbinar. Semua orang yang melihat adegan itu mulai berbisik.
“Xiaomei benar-benar baik.”
“Tidak heran semua orang suka dia.”
Zhao Liyun menunduk, meneguk bubur jagung hambar itu sambil menahan perasaan rumit.
Setelah makan siang, pekerjaan berlanjut. Kali ini giliran mengangkut air dari sungai kecil ke ladang. Ember kayu besar harus diisi penuh, lalu dipikul dengan tongkat bambu di bahu.
Tubuh Liyun gemetar hanya melihatnya. Di dunia modern, ia bahkan jarang mengangkat galon air mineral. Bagaimana bisa ia membawa ember sebesar itu?
Namun ia tidak punya pilihan. Semua orang melakukannya. Kalau ia menolak, reputasinya makin hancur.
Ia mengangkat ember dengan susah payah, berjalan tertatih-tatih di jalan becek. Bahunya sakit, air tumpah ke baju.
Saat hampir jatuh, tiba-tiba sebuah tangan kuat meraih tongkat bambunya.
“Pegang baik-baik. Kalau jatuh, bisa patah kaki.”
Zhao Liyun menoleh. Seorang pemuda berdiri di sampingnya, wajahnya tegas, kulitnya gelap karena terbakar matahari. Matanya tajam tapi tidak jahat.
Itu Wu Shengli, pemuda desa yang kelak punya sedikit peran di novel—hanya sekadar figuran yang tidak banyak tulisan seperti tokoh utama pria, Chen Weiguo.
“Te… terima kasih,” kata Liyun gugup.
Shengli mengangguk singkat, lalu ikut menyeimbangkan ember. “Kau tidak terbiasa, kan? Jalannya pelan saja.”
Hati Liyun hangat. Meski hanya bantuan kecil, tapi di dunia yang keras ini, perhatian sekecil itu terasa besar.
Beberapa orang memperhatikan, lalu berbisik.
“Wu Shengli bantu si pemalas itu?”
“Hah, jangan-jangan dia kasihan?”
Liyun pura-pura tidak mendengar, tapi dalam hati ia mencatat satu hal penting: Shengli berbeda.
Sore hari, pekerjaan selesai. Semua orang pulang dengan tubuh lelah.
Zhao Liyun berjalan di jalan setapak, udara sore mulai dingin. Ia menatap sawah luas yang keemasan diterpa sinar matahari, lalu desa dengan rumah bata sederhana berderet. Asap kayu mengepul dari dapur, anak-anak berlarian tertawa.
Meski hidup keras, suasana desa punya ketenangan yang tak pernah ia rasakan di kota modern.
Namun hatinya tetap waspada. Kehidupan di sini memang terlihat damai, tapi bagi peran pendukung sepertiku, setiap hari adalah ujian. Kalau aku ceroboh sedikit saja, aku bisa terjebak dalam naskah dan mati sia-sia.
Ia mengepalkan tangan. Tidak. Aku akan bertahan. Aku akan hidup lebih baik daripada versi asliku. Mulai sekarang, aku harus belajar cara hidup di desa ini.
Dan dengan tekad itu, langkahnya semakin mantap menuju rumah reyot yang menunggunya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments