Bab 2 Lin Xiaomei

Suara ayam jantan membangunkan Zhao Liyun lebih cepat dari biasanya. Ia terlonjak, sempat berharap semalam hanyalah mimpi aneh. Namun begitu membuka mata, yang ia lihat tetap atap reyot dengan cahaya pagi menembus celah-celah genteng. Bau asap kayu terbawa angin masuk dari luar.

Ia menatap tangan kurus yang gemetar saat menarik selimut. Tidak ada ponsel, tidak ada AC, tidak ada kasur empuk. Yang ada hanya dipan keras, tikar jerami, dan baju lusuh yang menempel di tubuh.

Jadi ini nyata… gumamnya lirih.

Liyun menelan ludah, masih berharap ada keajaiban membawanya pulang. Namun ketika berdiri dan melangkah ke cermin retak di meja kayu, kenyataan menamparnya lagi. Wajah asing itu—wajah gadis muda dengan kulit kecokelatan, mata besar yang tampak redup, bibir kering pecah-pecah—menatap balik.

Ia menghela napas berat. Perlahan, ingatan asing kembali menyerbu kepalanya seperti arus deras. Kali ini lebih jelas, lebih runtut.

Nama tubuh ini sama: Zhao Liyun. Bedanya, ia hanyalah sepupu miskin dari Lin Xiaomei, tokoh utama dalam novel.

Ingatan tubuh asli berputar:

Ibunya meninggal saat ia muda karena sakit.

Ayahnya menikah lagi, tapi kemudian juga meninggal, meninggalkan Liyun kecil di bawah asuhan ibu tiri.

Ibu tiri itu, Madam Zhao, tak pernah menyayanginya. Jatah makannya selalu diambil, tenaganya diperas untuk pekerjaan kasar.

Ia sering dibandingkan dengan Lin Xiaomei, sepupunya yang cantik, lembut, rajin, dan disukai semua orang.

Setiap kenangan menorehkan perih di dada. Bahkan meski ia bukan Zhao Liyun asli, emosi tubuh ini menular. Rasanya pahit sekali diingat.

Lalu datang satu potongan memori yang membuat tubuhnya membeku.

Musim dingin. Sungai membeku. Kecelakaan saat kerja bakti… tubuh terjatuh… rasa dingin menusuk sampai tak bisa bernapas…

Liyun menutup mulutnya, tubuhnya bergetar. Itu adalah ingatan terakhir dari Zhao Liyun versi asli—kematian tragis yang bahkan tak layak disebutkan panjang-panjang dalam novel.

Jadi benar… kalau aku mengikuti naskah, aku akan mati sebentar lagi.

Tangannya mengepal kuat. Ia menatap wajahnya sendiri di cermin retak, kali ini bukan dengan rasa takut, melainkan tekad.

“Tidak. Aku tidak akan mati hanya karena penulis menuliskan begitu. Aku yang sekarang bukan lagi Zhao Liyun dalam novel tapi Zhao Liyun dari masa depan..”

Suara keras di luar pintu tiba-tiba memotong pikirannya.

“Zhao Liyun! Cepat keluar! Dasar pemalas, sudah terang begini masih tidur?!”

Itu suara Madam Zhao—ibu tiri tubuh ini. Telinga Liyun langsung panas. Ia merasakan sakit hati tubuh asli setiap kali dipanggil dengan nada merendahkan.

“Sebentar lagi keluar!” jawabnya cepat.

Ia buru-buru merapikan pakaian lusuh yang menempel. Kain katun pudar dengan tambalan di sana-sini. Sepatu kainnya bolong di ujung, dingin menusuk dari celah itu.

Saat keluar dari kamar sempit, udara pagi langsung menyerbu wajah. Rumah bata merah reyot itu tampak lebih jelas. Dapur kecil dengan tungku kayu, beberapa panci hitam legam menggantung. Aroma bubur jagung tipis tercium samar.

Di meja kayu, Madam Zhao duduk dengan wajah masam. Tubuhnya gempal, rambut disanggul asal-asalan. Begitu melihat Liyun, ia langsung mendengus.

“Sudah jam berapa ini? Anak perempuan lain sudah ke ladang, kau malah tidur seenaknya!”

Liyun menahan diri agar tidak melawan. Ia tahu kalau mengikuti ingatan tubuh ini, biasanya Liyun akan menunduk, meminta maaf, lalu tetap disuruh kerja paling berat.

Tidak. Aku tidak bisa terus seperti itu. Tapi… sekarang bukan waktunya membangkang. Aku harus pelan-pelan.

Ia hanya berkata pelan, “Aku akan segera ke ladang.”

Madam Zhao mencibir. Ia mendorong mangkuk bubur ke arah anak kandungnya, tapi mangkuk Liyun dibiarkan kosong.

Perut Liyun keroncongan. Ia terbiasa makan roti dan susu di dunia modern. Bubur jagung encer pun terasa mewah sekarang.

Ia melirik bubur itu sebentar. Madam Zhao menangkap tatapannya.

“Kau mau makan? Tidak ada untukmu. Kalau lapar, kerja yang rajin. Jangan harap dapat bagian sama dengan anakku.”

Suara itu menusuk. Ingatan tubuh asli menyeruak: setiap kali sarapan, ia selalu dapat bagian paling sedikit, atau bahkan tidak dapat sama sekali. Tubuhnya tumbuh kurus dan lemah karena kekurangan gizi.

Liyun menunduk, menahan amarah. Sabar. Aku harus sabar. Kalau aku ribut sekarang, cuma akan jadi bahan tertawaan. Aku harus cari cara bertahan hidup dulu.

Dengan perut kosong, ia keluar rumah. Udara pagi Desa Qinghe menyambutnya: dingin, bercampur bau tanah basah dan asap kayu. Di kejauhan, suara orang-orang sudah terdengar dari ladang kolektif.

Ia berjalan di jalan setapak tanah yang becek, memperhatikan sekeliling. Rumah-rumah bata sederhana berjajar, anak-anak berlari dengan pakaian tambalan. Orang dewasa membawa cangkul, keranjang, atau ember.

Suasana berbeda jauh dari kota modern. Tidak ada kendaraan, tidak ada listrik kecuali lampu minyak. Semua orang sibuk bekerja keras untuk sekadar makan.

Jadi inilah Desa Qinghe… dunia yang hanya kubaca di novel, sekarang kulihat dengan mata kepala sendiri.

Langkahnya kikuk, ia berusaha menyesuaikan diri. Ia tahu sedikit tentang kehidupan desa tahun 1970-an, tapi tetap saja berbeda saat benar-benar mengalaminya.

Setiap kali berpapasan dengan tetangga, mereka menatapnya sekilas, sebagian dengan sinis. Ia bisa merasakan reputasi buruk tubuh asli: pemalas, iri, pembuat masalah.

Hatinya sesak. Bahkan tanpa melakukan apa-apa, aku sudah dicap buruk. Kalau aku tidak hati-hati, aku bisa benar-benar berakhir seperti di naskah.

Di ladang kolektif, orang-orang sudah membungkuk mencangkul. Suara tanah dihantam keras, teriakan kepala kelompok memimpin kerja terdengar nyaring.

Zhao Liyun berdiri canggung di tepi.

Aku benar-benar harus hati-hati. Setiap gerakanku diawasi. Aku tidak bisa menunjukkan sikap berbeda terlalu mencolok, nanti mereka curiga. Bahwa dia bukan Zhao Liyun yang biasanya.

Ia menarik napas panjang, lalu ikut mengambil cangkul.

Tubuhnya yang kurus lemah segera protes. Setiap ayunan terasa berat. Tangannya cepat lecet. Keringat bercucuran meski udara masih dingin.

Orang-orang menoleh, beberapa tertawa kecil melihatnya kikuk. Ada yang berbisik-bisik.

“Lihat itu, Zhao Liyun lagi pura-pura kerja.”

“Benar-benar tidak berguna.”

Kupingnya panas. Namun ia menggertakkan gigi, memaksa diri tetap bekerja. Lebih baik aku dipandang lemah daripada dipandang aneh. Aku harus tetap terlihat seperti Zhao Liyun versi mereka… tapi diam-diam mulai berubah.

Di sela kerja berat, matanya menangkap sosok di kejauhan.

Seorang gadis muda berjalan membawa keranjang. Rambutnya hitam panjang, wajahnya manis, kulitnya bersih terawat meski hidup di desa. Senyum lembutnya membuat orang-orang menyapanya dengan ramah.

Itulah Lin Xiaomei. Tokoh utama cerita.

Hatinya tercekat. Akhirnya aku bertemu dia… si gadis kesayangan naskah.

Semua orang tersenyum padanya, bahkan kepala kelompok melembutkan nada bicara. Kontras sekali dengan tatapan dingin yang selalu diarahkan pada Zhao Liyun.

Xiaomei menoleh, matanya bertemu dengan Liyun. Senyum hangat itu muncul, polos dan tulus. “Kakak Yun, kau baru datang? Ayo kita kerja sama-sama.”

Zhao Liyun terpaku.

Usia tubuh Zhao Liyun dan tokoh perempuan sama, delapan belas tahun. Tokoh utama perempuan 3 bulan lebih muda dari tubuh aslinya. Tetapi ketika mereka berdiri sejajar terlihat proposi bentuk tubuh yang berbeda. Zhao Liyun bertubuh kurus karena malnutrisi, sedangkan tokoh utama memiliki tubuh yang berisi pada tempat seharusnya.

Ia sudah tahu Xiaomei manis dari novel, tapi melihat langsung berbeda rasanya. Senyumnya seakan punya kekuatan membuat orang lupa masalah.

Namun justru karena itulah, tubuhnya bergetar. Ingatan tubuh asli kembali: rasa iri, rasa sakit hati karena selalu dibandingkan, selalu kalah oleh sepupu ini.

Ia menutup mata sejenak, menenangkan diri. Aku bukan Zhao Liyun yang penulis tulis. Aku tidak akan jatuh ke dalam perangkap iri hati. Kalau aku ingin hidup, aku harus punya jalan sendiri.

Dengan susah payah, ia memaksakan senyum. “Baik, Xiaomei.”

Xiaomei tersenyum makin cerah. Ia lalu ikut mencangkul, gerakannya luwes meski tetap terlihat cantik. Orang-orang memujinya, sementara bisikan sinis kembali diarahkan pada Liyun.

Zhao Liyun menggenggam cangkul erat.

Biarlah. Aku tidak akan ikut bersaing. Tugasku sekarang hanya satu: bertahan hidup, jangan mati konyol. Jalan cerita asli biarkan berjalan untuk mereka. Aku harus mencari jalan lain untuk diriku.

Di bawah sinar matahari pagi, keringat bercampur debu tanah menempel di wajahnya. Meski tubuhnya lelah, matanya memancarkan tekad baru.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!