Malam itu rumah keluarga Wiranto masih ramai. Suara dentingan sendok dan garpu beradu dengan obrolan hangat di meja makan. Tiwi duduk menyilangkan kaki, wajahnya berbinar, sementara mama Rani sudah berkali-kali menatapnya dengan tatapan tak percaya.
“Jadi, kamu beneran serius, Wi? Bukan bercanda?” tanya Rani akhirnya, meletakkan sendok sup.
Tiwi menepuk dadanya dramatis. “Mama, apa aku pernah main-main kalau soal hal penting?”
Papa Tian yang sedari tadi diam, akhirnya menurunkan koran. Pria mapan berusia lima puluhan itu menatap putrinya tajam. “Tiwi, Papa nggak ngerti jalan pikiran kamu. Dari kecil sekolah internasional, kuliah di luar negeri, lulus jadi arsitek top. Terus sekarang… kamu mau banting setir jadi ART? Itu namanya mundur ke zaman batu.”
“Bukan, Pa. Ini namanya leveling up! Dari arsitek jadi asisten rumah tangga dokter dingin terkenal. Itu tantangan! Sekalian biar aku bisa membuktikan kalau aku bisa kerja apa aja. Arsitek bisa, masak bisa, ngepel bisa. Lengkap, kan?” jawab Tiwi dengan gaya penuh percaya diri.
“Lengkap apanya?” Rani hampir tersedak air putih.
Tiwi terkekeh, lalu mencondongkan tubuh ke arah papanya. “Lagipula, Pa… kalau aku nggak kerja, nanti aku gabut di rumah. Bisa-bisa aku bikin restoran Mama jadi ajang eksperimen dapur. Bayangin, semua menu Nusantara nanti aku modifikasi jadi ‘fusion food’. Rawon keju, sate boba, gudeg matcha…”
“ASTAGA!” Rani refleks menepuk meja. “Tiwi! Jangan pernah sentuh resep Mama!”
Papa Tian menahan senyum. Anak gadisnya memang barbar tapi entah kenapa selalu berhasil membuat situasi cair. “Jadi maksudmu… ini semacam hobi?”
“Anggap aja gitu. Toh Tante Anggun butuh solusi. Kasihan kalau nyonya Tina sampai stres mikirin Tristan.”
Anggun yang duduk di samping hanya bisa menutup wajah. “Aku kok tiba-tiba jadi merasa bersalah ya?” gumamnya.
Tiwi langsung meraih tangan tante Anggun. “Nggak usah merasa bersalah, Tante. Justru Tante ini pahlawan. Karena berkat Tante, aku punya kesempatan buat… ehm, jadi ART legendaris.”
“ART legendaris katanya,” Rani mendengus.
Tiwi melirik manja pada papanya. “Please, Pa… izinin aku. Cuma sementara kok. Aku janji nggak bakal malu-maluin keluarga. Malah aku yakin, dokter dingin itu bakalan luluh dengan pesona… eh, maksudku… dengan kinerjaku.”
Papa Tian terdiam beberapa detik, lalu menatap istrinya. “Ma, menurut kamu?”
Rani mengangkat bahu, wajahnya setengah pasrah. “Kalau kita larang, anak ini makin ngotot. Udahlah, pa. Biarin dia belajar dari caranya sendiri. Kalau nanti dia kapok, toh dia bisa balik lagi jadi arsitek.”
Mendengar itu, Tiwi langsung bersorak kecil. “YES! Aku menang!”
Papa Tian menghela napas panjang, akhirnya angkat tangan. “Baiklah, Wi. Tapi ingat, jaga nama baik keluarga. Jangan bikin malu.”
Tiwi memberi hormat ala tentara. “Siap, Jenderal Papa!”
Semua yang ada di meja makan terbahak. Hanya Tiwi yang terlihat paling puas dengan keputusannya.
Keesokan harinya…
Pagi cerah, Tiwi sudah tampil rapi. Rambutnya di Gelung, wajah segar tanpa makeup berlebihan. Ia mengenakan atasan merah putih dengan rok hitam, terlihat lebih seperti mahasiswi ketimbang calon ART.
Di ruang tamu rumah besar keluarga Mahesa, Mama Tina hampir menjatuhkan cangkir tehnya ketika melihat Tiwi masuk bersama Anggun.
“Anggun… ini… ini yang kamu bilang calon ART itu?” suara Mama Tina tercekat.
Anggun tersenyum kikuk. “Iya, Bu Tina. Kenalkan, ini keponakanku, Tiwi.”
Tiwi maju selangkah, menunduk sopan. “Selamat pagi, Tante Tina. Salam kenal. Aku siap bekerja, asal nggak disuruh pindahin gunung ya.”
Mama Tina masih melongo. Di hadapannya berdiri gadis muda, cantik, mungil, wajahnya lebih mirip siswi SMA 17 tahun ketimbang pekerja rumah tangga. Sopan, tapi ceplas-ceplos. Aura berani dan lugu bercampur jadi satu.
“Ya Tuhan… Anggun… kamu serius? Dia ini cantik banget. Kalau jadi ART, bukannya bikin Tristan nyaman, malah bikin dia bingung!” bisik Mama Tina lirih ke asistennya.
Anggun nyaris tertawa. “Ya udah gimana, bu. Nggak ada orang lain yang mau. Lagian, Tiwi ini memang beda.”
Tiwi malah tersenyum lebar. “Tante, jangan khawatir. Aku jamin, aku bakal kerja maksimal. Masak bisa, beres-beres bisa, bikin suasana nggak kaku juga bisa.”
Mama Tina menghela napas panjang. Dalam hatinya, ada rasa was-was sekaligus… harapan. Kalau gadis ini bisa bikin Tristan keluar dari es batunya, mungkin inilah jalannya Tuhan…
Setelah mengumpulkan diri, Mama Tina mulai menjelaskan aturan.
“Tiwi, tugasmu sederhana. Kamu datang pagi, bantu bersihkan rumah, lalu siapkan makan siang sehat untuk Tristan. Nanti supir yang akan ambil bekal ke rumah sakit. Sore kamu boleh pulang. Tidak perlu mengurus hal pribadi Tristan selain itu.”
“Siap, Tante. Tapi aku boleh improvisasi, kan? Misalnya hias bekalnya biar lebih semangat.” ujar Tiwi
“Improvisasi?” Mama Tina menatapnya curiga.
Tiwi mengedip jahil. “Iya. Bekalnya bisa aku kasih sentuhan spesial. Biar dokter dingin itu tahu, hidup nggak harus selalu flat.”
Anggun menepuk kening. “Astaga, anak ini.”
...----------------...
Hari pertama kerja…
Tiwi masuk dapur dengan antusias. Ia menyiapkan ayam panggang lemon, sayuran kukus, dan salad quinoa menu sehat, tapi dihias cantik dengan potongan wortel berbentuk hati.
“Perfect! Dokter dingin pasti kaget lihat bekal secantik ini,” gumamnya puas.
Lalu, ia merogoh saku, mengeluarkan sticky note warna-warni. Dengan spidol hitam, ia menulis cepat:
“Halo, Dok! Jangan lupa makan ya, biar nggak berubah jadi zombie. – Dari ART kece.”
Sticky note itu ia selipkan di penutup bekal.
Hari berikutnya, ia menulis lagi:
“Kalau pasien aja kamu suruh istirahat, kamu juga harus istirahat. Deal? – ART favoritmu (anggap aja gitu).”
Dan besoknya:
“Makan sehat bikin hati adem. Tapi kalau masih dingin, nanti aku bikinin sup jahe biar cair.”
Setiap hari, satu note baru selalu ada, karena selama ini ia tidak pernah bertemu dengan Tristan entah kenapa ia selalu datang di saat Tristan sudah pergi.
Sedangkan di rumah sakit…
Tristan Mahesa duduk di ruang kerjanya yang steril dan rapi. Bekal siang tergeletak di mejanya. Dengan ekspresi datar, ia membuka kotak itu dan menemukan sticky note pertama.
Alisnya berkerut. “Zombie?” gumamnya lirih.
Hari berikutnya, lagi-lagi ada catatan konyol.
Tristan menahan napas, entah ingin kesal atau tertawa. Bibirnya bahkan nyaris terangkat sedikit.
"Siapa sih orang ini?" batinnya.
Sejak hari itu, jam makan siang bukan lagi sekadar rutinitas baginya. Ada sesuatu yang membuatnya… menunggu. Bukan makanannya, tapi catatan kecil berwarna-warni yang setiap kali muncul dengan kalimat aneh, lucu, dan anehnya menghangatkan.
Bagi dokter yang dikenal dingin, itu adalah gangguan paling aneh sekaligus paling… menarik.
bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
🔴≛⃝⃕|ℙ$Fahira Eunxie💎
Tristan udah mulai penasaran nih/Chuckle//Chuckle/, semangat Tiwi, buat kulkas berjalan mencair/Facepalm//Facepalm/
2025-09-21
1