Bab 2

Ardian menatap istrinya dengan senyum tipis. “Kamu yakin Tristan mau ada orang asing di rumahnya? Anak itu bahkan tidak suka kalau kamarnya dibereskan orang lain.”

“Itu masalahnya. Tapi aku tetap tidak tenang,” ucap Tina mantap. “Aku akan cari ART. Seseorang yang bisa masak sehat, bersih, dan paling penting… tahan dengan sifat dinginnya Tristan.”

"Baiklah sayang terserah kamu saja, kalau bisa art elit hehehe" ujar papa Ardian bercanda pada istrinya

"Is papa ada ada saja, ya sudah mama mau hubungi Anggun dulu untuk cari art yang elit" ujar mama Tina lalu menghubungi asistennya.

Telepon genggam di tangan Tina Mahesa berdering pelan, sebelum akhirnya ia menekan nama yang sudah sangat ia kenal, Anggun Wiranto. Wanita berusia 38 tahun janda tanpa anak, suaminya meninggal dan tidak pernah ingin menikah kagi. Anggun yang setia mendampinginya sebagai asisten pribadi sejak bertahun-tahun lalu.

“Hallo, Gun,” suara Tina terdengar hangat, tapi juga tegas.

“Ya, Bu Tina. Ada yang bisa saya bantu?” sahut Anggun cepat, sudah terbiasa dengan ritme bosnya yang langsung ke inti.

“Aku butuh bantuan darurat. Tristan… lagi-lagi ART-nya berhenti. Katanya alasan keluarga, tapi Daniel sudah bilang padaku itu cuma alasan. Kamu tahu, kan? Tak ada yang tahan lebih dari sebulan di rumah itu.”

Di seberang sana, Anggun menghela napas panjang. Ia bisa membayangkan betapa tegangnya bekerja di rumah sebesar itu dengan majikan seperti Tuan Muda Tristan. “Astaga… padahal yang terakhir itu sudah saya pilih dengan seleksi ketat, Bu. Katanya dia kuat mental, terbiasa kerja di rumah orang kaya, tapi ternyata tetap menyerah.”

“Itu dia masalahnya. Aku butuh orang yang… bukan sekadar kuat mental. Tapi juga benar-benar tahan menghadapi sifat dingin anakku. Orang yang telaten, bisa masak sehat, disiplin, dan… jangan gampang nangis. Kalau tiap ditegur langsung kabur, bagaimana nasib Tristan?” ujar mama Tina

Anggun terdiam sejenak. Ia tahu betul maksud nyonya besarnya. Sejak dulu, meski terlihat keras, Bu Tina selalu menyimpan rasa khawatir mendalam terhadap putra sulungnya itu. Tristan boleh saja tampak sempurna di mata publik, tapi hanya keluarga yang tahu betapa kesepiannya pria itu.

“Baik, Bu. Saya akan mulai cari lagi,” jawab Anggun mantap, meski dalam hatinya ada rasa was-was.

“Bagus. Dan Gun… aku minta tolong, kali ini jangan sembarangan. Kalau perlu, wawancara langsung di depanmu. Aku tidak mau anakku berakhir sendirian di rumah tanpa siapa pun yang peduli. Mengerti?” ujar mama Tina menegaskan

“Siap, Bu. Saya mengerti.” jawab anggun pasrah

 

Keesokan harinya, Anggun sudah sibuk dengan catatan di tangannya. Ia mulai menghubungi beberapa agensi penyedia tenaga kerja rumah tangga premium. Semua rekomendasi mengarah pada kandidat yang katanya “berpengalaman”. Namun begitu nama “Tristan Mahesa” disebut, reaksi mereka nyaris sama.

“Maaf, Bu… sepertinya pekerja kami tidak cocok.” ujar mereka

“Waduh, kalau untuk Dr. Tristan Mahesa… rasanya anak buah saya mundur duluan.” ujar yang lainya menyerah

“Hah? Dokter yang itu? Yang katanya perfeksionis? Duh, Bu… pegawai saya baru dengar namanya saja sudah keringat dingin.” yang lain pun ketakutan

Anggun mengusap pelipisnya. Ia bisa merasakan betapa sulitnya tugas ini. Nama Tristan sudah jadi semacam legenda menakutkan di kalangan pekerja rumah tangga kelas atas. Bukan karena ia kejam, tapi karena sikap cueknya yang ekstrem.

Pernah suatu kali, seorang ART salah meletakkan sendok sup satu milimeter lebih miring dari garis tengah piring. Tristan tidak memarahi, hanya menatap sendok itu lalu meninggalkan meja tanpa makan. Esoknya, ART itu mengundurkan diri dengan alasan “tidak sanggup menghadapi atmosfer rumah itu.”

 

Seminggu penuh Anggun berkeliling. Ia mendatangi agen satu ke agen lain, mewawancarai langsung kandidat. Ada yang tampak percaya diri, namun langsung ciut saat mendengar cerita detail. Ada pula yang awalnya tertarik karena bayaran besar, tapi begitu tahu rumah majikannya hening seperti museum, mereka menolak.

Sampai di hari kelima, Anggun benar-benar merasa putus asa.

“Ya Tuhan… siapa yang bisa tahan dengan sikapnya Tuan Muda satu itu?” gumamnya sambil merapikan berkas calon pekerja yang semuanya coret.

Sementara itu, di rumah Tristan, suasana kembali hening seperti biasa. Pria itu baru pulang dari operasi panjang di luar kota. Jam dinding menunjukkan pukul 2 dini hari. Jas dokter yang masih berbau obat langsung ia lepas, lalu digantung dengan rapi.

Ia berjalan menuju meja makan yang kosong. Hanya ada semangkuk sup ayam yang sudah dingin, ditinggalkan ART yang kini entah di mana. Tristan menatapnya sebentar, lalu membuangnya ke tempat sampah.

“Kacau,” gumamnya singkat, sebelum mengambil sebotol air mineral dan kembali ke kamarnya.

Ruang pribadinya seperti cermin kepribadiannya: serba rapi, serba simetris, dan tidak ada satu pun yang salah tempat. Rak buku disusun berdasarkan abjad, lemari pakaian dibagi berdasarkan warna, bahkan alat tulis di meja disusun seolah garis lurus ditarik dengan penggaris.

Namun semua itu hanya menyembunyikan satu kenyataan: pria itu hidup sendiri dalam kesepian yang sunyi.

Hari ketujuh pencarian, Anggun benar-benar menyerah. Ia duduk di kursi ruang tamu rumah kakaknya, wajahnya lesu.

“Kamu kenapa, Gun? Kok kayak habis lari maraton?” tanya kakaknya, Rani, sambil membawa teh hangat.

“Maraton iya, tapi maraton pikiran,” jawab Anggun sambil mengusap wajah. “Aku dapat tugas dari Bu Tina… cari ART buat Tuan Muda Tristan. Kamu tahu kan, yang dokter itu?”

Rani terbelalak. “Astaga! Itu… itu yang sering muncul di majalah bisnis dan kesehatan itu, kan? Yang katanya jenius, tapi dinginnya kayak kulkas berjalan?”

“Persis,” Anggun meneguk teh dengan cepat. “Aku sudah keliling sepekan. Semua agen menolak, semua calon kabur. Bahkan ada yang langsung batal begitu dengar namanya. Aku benar-benar bingung, Ra. Kalau begini terus, bisa-bisa Bu Tina stres sendiri.”

Rani menghela napas, ikut prihatin. “Ya Allah, Gun… kayaknya tugasmu bukan cari ART biasa, tapi cari orang yang punya nyali setengah dewa.”

Keduanya tertawa kecil, meski lebih karena putus asa.

Anggun menyandarkan punggung ke sofa, matanya menatap langit-langit. “Aku heran… apakah di dunia ini ada orang yang cukup berani, cukup sabar, dan cukup… kuat mental menghadapi Tuan Muda itu? Rasanya mustahil.”

Rani tersenyum samar. “Percaya saja, Gun. Tuhan selalu punya cara yang tidak kita duga. Siapa tahu, nanti justru orang yang tak pernah kamu pikirkan bisa jadi jawaban.”

Anggun mendengus, tak percaya. Tapi entah mengapa kata-kata itu menempel di kepalanya. Seolah ada sesuatu yang akan terjadi, sesuatu yang bisa mengubah jalan cerita.

Bersambung

Terpopuler

Comments

🔴≛⃝⃕|ℙ$Fahira Eunxie💎

🔴≛⃝⃕|ℙ$Fahira Eunxie💎

ART nya langsung kabur/Facepalm/, siapa yang tahan dengan sikap dinginnya melebihi kulkas/Facepalm/, sepertinya di bab lain akan mulai muncul ceweknya.. gak sabar banget...

semangat Bu Anggun cari ART untuk Tristan /Determined//Determined/

2025-09-21

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!