Setelah mendengar Delia sakit, Dev langsung turun ke ruangannya. Namun begitu sampai, Delia sudah tidak ada.
"Sial!" umpat Dev lirih, kepalan tangannya menghantam pelan daun pintu.
Ia berjalan cepat menyusuri lorong dan bertanya pada salah satu karyawan.
"Selamat pagi, Pak," sapanya ramah.
"Pagi. Kamu lihat Delia?" tanya Dev cemas, matanya menyisir sekeliling.
"Oh, Nona Delia baru saja turun."
"Terima kasih."
Dev langsung menuju lift. Jantungnya berdetak cepat. Begitu pintu lift terbuka Dev langsung berjalan cepat ke arah basement, benar saja Delia ada di sana, berjalan menuju mobilnya.
Dev mempercepat langkah dan meraih tangan Delia dari belakang. "Aku antar pulang," ucapnya pendek, bernada perintah.
"Lepas, Dev! Aku bisa pulang sendiri," Delia menepis tangannya.
Dev berbalik, sorot matanya tajam, menatap wajah Delia yang terlihat pucat. "Lalu apa yang harus kukatakan pada Kakek, Papa, dan Mama kalau terjadi sesuatu padamu? Kamu pikir aku tidak akan disalahkan?"
Delia mengerutkan alis, matanya berkilat penuh amarah. Begitu egoisnya pria di hadapannya ini.
"Apa hanya itu yang ada di pikiranmu, Dev? Begitu pentingnya harga dirimu?" suaranya bergetar.
Delia menggeleng pelan. "Kalau terjadi sesuatu padaku, aku tidak akan menyalahkanmu. Apa pun itu!" tekan Delia sebelum berbalik membuka pintu mobil.
Brak! Pintu mobil tertutup.
Dev menghela napas panjang, kedua tangannya bertumpu di pinggang. Rahangnya mengeras.
Saat Delia menghidupkan mesin mobil, sebuah mobil lain masuk basement. Giselle turun dan langsung menghampiri Dev.
"Dev!" Giselle memeluknya. Dev membalas pelukan itu sekenanya, tatapannya tetap tertuju pada kaca mobil Delia.
Jemari Delia mencengkeram kemudi. Jantungnya seperti diremas. Bukan hanya lemas yang menyerangnya, tetapi pemandangan Dev dipeluk wanita lain membuat dadanya makin sesak.
Ia langsung melajukan mobilnya kencang keluar basement. Tatapan Dev mengikuti mobil itu sampai hilang.
Giselle melepaskan pelukannya. "Ngomong-ngomong, sedang apa kamu di sini? dan bukankah itu tadi mobil Delia?"
Dev berbalik menatap wajah Giselle. "Delia sakit, dia izin pulang." Napasnya terdengar berat. "Sudahlah. Tumben sekali kamu datang pagi-pagi, ada apa?"
Giselle menggandeng lengannya. "Aku sedang libur. Seharian di apartemen membosankan, jadi aku ke sini menemuimu. Kamu tidak keberatan, kan?"
"Tidak. Tapi aku agak sibuk pagi ini. Kalau mau, kamu bisa menunggu di ruanganku."
"Hm, aku mau."
Mereka berdua berjalan masuk kantor. Giselle tak melepaskan genggamannya di lengan Dev, memperkuat isu retaknya hubungan Dev dan Delia.
Semua orang jelas menatapnya, tapi Giselle tak perduli, seolah ia tengah menegaskan pada semua orang jika sekarang Dev miliknya, bukan Delia.
Begitu masuk ruangan, Dev mengantarkan Giselle duduk di sofa.
"Kamu mau minum atau makan sesuatu?"
Giselle menggeleng. "Tidak, aku hanya ingin melihatmu seharian ini," ujarnya manja.
"Baiklah, tapi aku tidak bisa menemanimu disini, panggil aku jika kamu butuh sesuatu," ujar Dev.
"Hm!" Giselle tersenyum mengangguk.
Dev kembali ke mejanya, kembali sibuk dengan pekerjaannya, tapi pikirannya tak bisa lepas dari wajah Delia, ada rasa cemas yang aneh.
Kenapa dia tiba-tiba harus seperduli itu pada Delia? Bukankah ini yang selalu Dev inginkan? Lepas dari pernikahannya bersama Delia.
***
Di dalam mobil, Delia menarik napas dalam berkali-kali.
'Kenapa masih terasa sesak melihat mereka berdua?' batinnya.
Ia mengalihkan perhatian pada ponselnya, menekan nomor Alvan. Ia membuat janji temu di rumah sakit pagi itu. Alvan setuju, kebetulan ia belum terlalu sibuk. Delia langsung memutar setir ke arah rumah sakit.
Begitu sampai, Delia menuju ruang Alvan. Seorang suster membukakan pintu.
"Del, masuk," panggil Alvan.
Delia tersenyum tipis.
"Ada apa? Kurang tidur?" tanya Alvan sambil menatap wajahnya yang pucat.
Delia menggeleng. "Bukan. Belakangan ini aku merasa lemas, cepat lelah, sering mual dan pusing."
Deg! Alvan terdiam, menatapnya lebih dalam. “Boleh aku periksa?”
"Ya, tentu,"
Delia naik ke brankar. Alvan dengan tenang memeriksa tekanan darahnya, memeriksa detak jantung dan nadi, dibantu suster mencatat hasilnya. Setelah selesai, Delia duduk lagi.
"Bagaimana?" tanyanya tak sabar.
Alvan menaruh stetoskop di meja, duduk. Wajahnya berubah serius.
"Del… maaf kalau aku harus bertanya seperti ini… kamu sudah datang bulan, bulan ini?"
Deg! Tatapan Delia melebar, seolah tak siap mendengar sebuah kemungkinan. "Maksudnya?"
Alvan menarik napas pelan. "Dari tanda-tanda yang kamu sebutkan, secara medis ini bisa mengarah ke kehamilan. Aku belum bisa memastikan tanpa tes, tapi… sepertinya kamu hamil."
"Apa?! Hamil?" suara Delia meninggi.
"Del, ini baru dugaan. Kita perlu tes lebih lanjut untuk memastikan."
Delia menggeleng keras. "Tidak! Kamu pasti salah, Alvan. Aku tidak mungkin hamil!" Ia meraih tasnya dan berdiri.
"Del_" panggil Alvan. Tapi langkah Delia terlalu cepat.
Alvan meremas tangannya di atas meja, mengusap wajahnya kasar.
Delia berlari kecil ke parkiran, masuk ke mobil.
Brak! Begitu pintu tertutup, ia langsung menangis, menutupi wajahnya.
Bagaimana jika apa yang dikatakan Alvan benar? Bagaimana jika ia benar-benar hamil? Otaknya seketika buntu.
"Kenapa aku begitu bodoh! Bodoh! Bodoh!" Delia menyalahkan dirinya sendiri. Kenapa malam itu dia datang? Kenapa Delia tak menolak lebih keras? Kenapa semuanya harus terjadi!
Ia menyalakan mesin mobil dan melaju ke apartemennya. Hari itu ia mengurung diri, menangis tanpa nafsu makan. Semua selera dan semangatnya lenyap begitu saja sejak beberapa hari lalu, dan sekarang bertambah parah.
Delia merebahkan tubuhnya di atas ranjang, tangannya memegang sebuah alat tes kehamilan yang ia beli di apotik tadi setelah pulang dari rumah sakit.
Tapi Delia masih ragu untuk menggunakannya, ia masih takut untuk melihat kenyataan.
Bukan kenyataan tentang menerima bayi itu, tapi.. bagaimana anaknya nanti akan hidup tanpa sesosok ayah yang menginginkannya?
Delia memejamkan mata, suara detak jantungnya sendiri terasa bising. Ia mengusap lembut ke arah perutnya yang masih rata.
Delia masih tak berani membuka test pack itu, belum sekarang. Tapi ia tau, kebenaran itu cepat atau lambat pasti akan segera datang.
"Jika itu benar, aku akan menerimanya, ini anakku, hanya anakku,"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments