Begitu selesai menerima pesan dari Alvan, Delia langsung bergegas mengambil tasnya dan berjalan keluar dari ruangan.
Begitu sampai di lobby kantor, ia tak sengaja bertemu dengan Dev dan Michael.
"Selamat siang nona," sapa Michael sopan sambil menundukkan kepalanya.
"Siang," jawabnya singkat dan berlalu pergi, bahkan ia tak sedikitpun menatap wajah Dev, seolah pria itu sesosok mahluk tak kasat mata.
Dev hanya diam dan menatap tanpa ingin mencegah ataupun bertanya. Mereka melanjutkan langkah menuju ke Besement kantor.
Delia juga disana, wanita itu nampak langsung menaiki mobilnya sendiri dan pergi meninggalkan area kantor.
Lima belas menit perjalanan, kini mobil Delia sudah berada di depan cafe yang mereka janjikan.
Delia turun dari mobilnya dan langsung memasuki cafe tersebut, tatapannya mengedar mencari seseorang.
Alvan, pria itu duduk dimeja pojok ruangan. Delia tersenyum dan langsung menghampiri.
"Maaf membuatmu menunggu," ucap Delia menarik kursi didepannya.
"Tidak masalah, aku juga belum lama," ucap Alvan.
"Bagaimana pekerjaanmu hari ini?" tanya Delia.
"Seperti biasanya, aku rasa kamu juga tau bagaimana pekerjaan seorang dokter," ujar Alvan.
"Ya.. Tapi bukan itu maksudku,"
"Hmm.. Pesan makanan dulu, baru bicara," ujar Alvan sambil menyodorkan buku menu.
"Baiklah,"
Saat Delia tengah sibuk memilih menu makanan, tanpa ia sadari ada seseorang yang baru saja masuk dan memperhatikan mereka.
"Pak?" panggil Michael. "Mejanya ada disebelah sana," ia menunjuk ke arah meja yang sudah dipesan.
"Ya," sahut Dev pelan.
Dua orang pria paruh baya langsung menyambutnya begitu sampai dimeja mereka.
"Tuan Devano, selamat datang," sapa pria itu sambil menjabat tangan.
"Terimakasih," jawab Dev sopan.
"Silahkan Tuan Dev," ucap pria tersebut mempersilahkan.
Dev mengangguk dan langsung duduk bersama Michelle, tapi tatapannya tak mampu lama dari meja Delia.
Delia dan Alvan sudah memesan makanan mereka. Alvan menutup buku menu dan menatap Delia lebih lembut.
"Bagaimana keadaanmu sekarang? Apa sudah lebih baik?" tanya Alvan sambil menatap lembut kearah Delia.
Delia hanya tersenyum tipis. "Ya, aku merasa lebih baik sekarang," kilahnya.
Tapi Alvan sangat mengenal wanita didepannya itu, tatapannya tak sama dengan apa yang keluar dari mulutnya.
"Del, kalau kamu butuh cerita…"
"Aku tahu, Van. Makasih." Delia menatap jendela, mencoba mengalihkan pandangan.
Sementara itu, beberapa meja di belakangnya, Devano baru saja duduk bersama dua pria paruh baya. Mereka adalah investor penting Henderson Corp. Michael berdiri di sampingnya, sibuk menyiapkan berkas presentasi.
Devano sempat melirik ke arah meja Delia kembali.
Michael mengikuti arah pandang Devano, lalu berbisik, "Pak, bukankah itu nona Delia?"
Devano tak menjawab. Ia kembali menunduk, pura-pura fokus pada dokumen di hadapannya, padahal dadanya terasa panas.
Investor di hadapannya mulai berbicara panjang lebar soal rencana kerja sama. Devano mencoba mengikuti, tetapi matanya beberapa kali secara refleks melirik ke arah Delia. Dari sudut pandangnya ia melihat Delia tersenyum pada pria itu, senyum yang jarang sekali ia dapat selama pernikahan mereka.
"Bagaimana hubunganmu dengan.."
"Kami sudah resmi bercerai," sela Delia seolah telah tau apa yang dimaksud oleh Alvan dan sedang benar-benar tak ingin mendengar nama pria itu.
"Kamu.. serius?" tanya Alvan.
Delia mengangguk. "Semalam kita sudah menandatangani surat perceraian,"
Alvan menghela nafas lalu kembali menatap wajahnya, menggenggam tangan Delia. "Apapun keputusanmu, aku akan selalu mendukungmu. Aku yakin, keputusan yang kamu ambil pasti sudah kamu pikirkan matang-matang,"
Delia tersenyum samar. "Terimakasih, Vin,"
"Sama-sama,"
Pelayan datang membawa pesanan. Ketegangan tipis itu seperti listrik di udara, tak terlihat tapi terasa.
Devano pura-pura tersenyum pada kliennya, tapi dalam batinnya ada dorongan untuk berdiri dan mendekati meja Delia.
Michael yang paham situasi ini berbisik pelan, "Pak, fokus saja pada rapatnya."
Pria itu menegakkan punggungnya, mencoba menahan ego. Namun, jarinya mengetuk meja tak sabar.
Hingga tiga puluh menit berlalu, akhirnya meeting selesai. Dev menjabat tangan para investor.
"Terimakasih Tuhan Dev,"
"Sama-sama, semoga kita dapat bekerjasama dengan lebih baik kedepannya," ucap Dev.
Begitu para investor itu pergi, Dev langsung berjalan dengan langkah lebar dan tegas menuju ke arah meja Delia.
Delia yang tengah berbincang dengan Alvin langsung kaget ketika menyadari bayangan tinggi berdiri di samping mejanya.
Devano.
Suara di cafe langsung meredup. Mata para pengunjung menoleh.
"Ikut aku," suara Devano rendah dan berat. Ia meraih pergelangan tangan Delia.
"Dev! Apa yang kamu lakukan? Lepaskan!" Delia terperanjat, mencoba menarik tangannya.
Alvan refleks berdiri, tubuhnya menghalangi Devano. "Maaf, Tuan Devano. Ini tempat umum. Tolong lepaskan dia," ucapnya tegas.
Devano menatapnya tajam. "Menjauh! Ini bukan urusanmu!" bentaknya.
"Tidak kalau Anda memaksa," jawab Alvan tanpa gentar. Ia memegang tangan Devano yang masih menggenggam Delia. "Delia bukan lagi_"
Bugh!
Tinju Devano mendarat di pipi Alvan. Kursi terjatuh, gelas bergetar. Beberapa pengunjung berteriak.
"Dev! Cukup!" Delia berusaha memisahkan mereka.
Alvan terhuyung tapi tetap berdiri. "Anda sudah keterlaluan, Tuan Devano," katanya sambil mengusap sudut bibirnya yang berdarah tipis.
Michael panik berdiri di belakang, mencoba menahan bosnya. "Pak! Banyak orang melihat!"
Delia memandang Devano dengan mata penuh kemarahan. "Kamu sudah bukan siapa-siapanya aku lagi, Dev. Jangan ganggu aku!"
Suasana cafe jadi gaduh. Pelayan mendekat, beberapa pengunjung mengangkat ponsel mereka merekam kejadian.
Devano sadar semua mata menatapnya. Rahangnya mengeras, tapi genggaman tangannya di pergelangan Delia masih kaku. Dalam hati dia tahu tindakannya sudah kebablasan.
Dev mengeratkan kepalan tangannya, menahan emosinya sendiri.
"Kita pulang kekantor sekarang," tekan Dev.
Delia menggelengkan kepalanya pelan. "Egois! Aku membencimu Dev!"
Suasana cafe riuh. Devano menutup mata sejenak, menahan emosi. Suaranya lebih pelan tapi tetap memaksa, "Ikut aku sekarang."
Delia menarik napas dalam, tangannya gemetar di genggaman Devano. Ia menoleh pada Alvan yang masih berdiri.
"Lepaskan aku, Dev," ucapnya lirih. "Aku belum selesai di sini."
Kali ini Devano tidak menjawab. Ia menatap Delia lama, seolah menahan sesuatu di tenggorokannya. Genggamannya perlahan mengendur.
Delia menarik tangannya bebas. "Aku akan pulang sendiri," katanya mantap.
Devano memandangi Delia dengan wajah campuran marah dan sakit hati, lalu berbalik pergi diiringi Michael. Cafe kembali berisik, meninggalkan Delia, Alvan, dan tatapan semua orang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments