bab 3

Ki Laksmana sudah berdiri di depan pintu ruangan khusus tamu, lalu suara Raja Baladewa menyapanya hangat mempersilakannya untuk memasuki ruangan tersebut.

"Silahkan masuk, Ki. Kau bisa beristirahat sejenak di sini. Setelah tenagamu pulih, kau boleh menemuiku di singgasanaku atau di ruangan bayiku." kata Raja Baladewa penuh kesopanan.

Ki Laksmana membungkuk hormat, lalu mengangguk pelan.

"Terima kasih, Raja. Mungkin aku memang butuh istirahat sebentar, untuk memulihkan tenagaku yang terkuras selama perjalanan," ucapnya sambil melangkah masuk.

Sesaat setelah Raja Baladewa pergi meninggalkan tempat itu, Ki Laksmana meletakkan buntalan kain yang dibawanya di atas meja kayu. Ia melangkah perlahan menuju tempat tidur mewah di sudut ruangan dan duduk dengan tubuh sedikit terkulai.

Matanya menatap lurus ke depan, pandangan tajamnya dipenuhi tanda tanya yang menggelayuti pikirannya.

Ki Laksmana menutup matanya pelan, napasnya teratur dalam hening.

"Apakah yang kurasakan ini benar… ada kekuatan lain di dalam istana ini?" gumamnya, mencoba menembus alam spiritual lewat meditasi. Tubuhnya yang lelah mulai terasa hangat, stamina yang sebelumnya hilang, kini merayap naik kembali seiring detik berlalu.

Setelah beberapa lama Ki Laksmana larut dalam meditasinya, akhirnya pada saat hari sudah gelap, matanya mulai terbuka secara perlahan, sinar ketegasan terpancar dari pandangan matanya.

"Aku harus menemui Raja Baladewa, menyelesaikan tugasku menyembuhkan putranya, dan mencari tahu asal kekuatan ini," ujarnya dalam hati sambil melangkah mantap menuju pintu. Langkahnya pasti saat keluar dan berjalan ke singgasana kerajaan yang ada di dalam istana tersebut.

Begitu tiba di depan singgasana, Raja Baladewa menyambutnya dengan senyum ramah. "apakah rasa lelahmu sudah, Ki?" sapanya lembut dengan senyuman, memberi kehangatan yang menenangkan.

Ki Laksmana membalas senyum dari  Raja Baladewa dengan tenang, matanya memancarkan keyakinan. "Benar, stamina saya sudah pulih. Sekarang aku siap memeriksa keadaan dari putramu," ucapnya mantap menjawab pertanyaan dari Raja Baladewa.

Raja Baladewa segera bangkit dari singgasananya, langkahnya cepat penuh harap kepada sosok tabin di depannya.

"Baiklah, mari saya antar ke tempat putraku," sahut Raja Baladewa, seolah tak sabar ingin segera melihat kondisi anaknya.

Raja Baladewa turun dari singgasananya. Dan berjalan menuju sayu ruangan yang menjadi tempat putranya berada.

Sementara itu,Ki Laksmana mengikutinya dari belakang, tatapannya fokus pada setiap langkah Raja Baladewa yang menunjukkan kecemasan namun penuh percaya.

Saat keduanya sampai di depan sebuah pintu ruangan yang mereka tuju, Raja Baladewa menarik napas yang dalam sebelum membuka pintu dengan lembut.

"Ayo masuk, Ki," katanya sambil mendorong pintu terbuka dengan suara tarik yang menggema pelan.

Setelah pintu terbuka, Raja Baladewa dan Ki Laksmana langsung memasuki ruangan tersebut.

Di dalam ruangan yang remang, hanya diterangi cahaya pelita kecil, beberapa pelayan berdiri tertunduk di sudut.

Di tengah ruangan, sebuah tempat tidur besar dan mewah menjadi panggung bagi bayi kecil yang terbaring lemah di atasnya. Di sisinya, Sri Rahayu, sang ibu, duduk dengan wajah penuh kekhawatiran.

Raja Baladewa melangkah mendekat, sorot matanya dipenuhi kegelisahan.

"Inilah putraku," suaranya bergetar pelan.

"tubuhnya sering tiba tiba panas membara, sampai membuat rubuhnya terlihat merah seperti bara api. Namun tak lama kemudian, dingin sekali, sampai membekukan udara di sekitarnya, membentuk butiran es." lanjut Raja Baladewa.

Ki Laksmana menundukan kepalanya, menatap bayi yang ada di depannya dengan seksama. Ia memang merasakan perubahan suhu yang luar biasa pada bayi itu.

Namun anehnya, bayi itu tidak pernah menangis, tetap tenang seperti tertidur dalam damai. Wajah Ki Laksmana mengerut, menyembunyikan rasa penasaran dan kekhawatiran yang menyelinap.

Ki Laksmana menutup mata sejenak, merasakan gelombang tenaga yang mengalir dari dalam tubuh bayi itu.

"Ini bukanlah penyakit, ini adalah sumber kekuatan tersebunyi yang di miliki oleh bayi ini, aku rasa kekuatan inilah yang kurasakn sejak tadi" gumamnya pelan sambil mengumpulkan tenaga dalam ke telapak tangannya.

Dengan hati hati, ia membuka kain yang membalut bayi tersebut. Di dadanya, terlihat jelas lima tanda elemen yang melingkar di atas dada dari bayi tersebut.

"Tanda lima elemen..." bisiknya, jari-jarinya menempel lembut pada simbol-simbol itu. Sejuk sekaligus hangat merambat ke telapak tangannya, seperti ada kehidupan yang tersembunyi di balik tanda itu. Matanya melebar, keheranan dan kekaguman berbaur.

"Ini adalah kekuatan lima elemen berbeda yang di miliki oleh para dewa" katanya dengan suara rendah, masih mencoba mencerna apa yang baru saja ia saksikan.

Mata Ki Laksamana terbelalak, menunjukkan kekagetan yang tak bisa disembunyikan dari kejadian aneh di depan matanya.

“Apakah bayi ini adalah reinkarnasi dari lima dewa?” gumamnya pelan, suara penuh rasa penasaran sekaligus kekaguman.

Di sudut ruangan, Raja Baladewa menatap penuh harap pada putranya yang tengah diperiksa oleh Ki Laksamana. Kecemasan menghiasi raut wajahnya, membuat dadanya naik turun tanpa henti.

Rasa penasaran itu, membuat sosok Raja Baladewa langsung mempertanyakannya “Bagaimana, Ki? Apakah putraku menderita penyakit? Lalu apa nama penyakit yang di deritanya?” tanyanya dengan suara gemetar, berharap mendapatkan jawaban yang jelas.

Ki Laksamana menarik napas dalam dalam, seolah menahan beban yang sangat berat di dadanya. Setelah beberapa saat, ia mulai menghembuskannya perlahan.

Huhhh..

KI laksmana berniat ingin memberitahukan keadaan dari bayi yang baru di periksannya. Namun sebelum kata kata itu sempat keluar, tiba tiba pintu kamar pukul dengan keras dari luar

"Brakkk!”

Pintu itu hancur berantakan, pecahan kayu beterbangan, dan terlempar kedalam yang membuat orang orang yang ada di sana menjadi terkejut bukan main.

Dari balik pintu yang sudah rusak tersebut. Terlihat beberapa orang dengan status pendekar memasuki ruangan tersebut sembil membawa senjata yang sudah di lumuri cairan merah di setiap bilahnya.

Raja Baladewa menatap waspada saat sekelompok pendekar baru tiba di dalam kamar dengan menghancurkan pintu masuknya.

Salah satu dari mereka melangkah maju, suaranya dingin menggelegar.

“Raja Baladewa. Serahkan putramu kepada kami!” kata mereka meninta.

Mata Raja Baladewa menyipit, tangan cekatan merogoh pedangnya yang tergantung di pinggang.

“Siapa kalian? Mengapa kalian menyerang tanpa alasan?” tanyanya tegas, namun ada getar kekhawatiran yang samar di balik suara beratnya.

Pendekar pendekar itu saling pandang, lalu meledak dalam tawa dingin yang menusuk.

Hahahahah..

“Kami pendekar golongan hitam. Kami datang untuk memusnahkan sosok yang akan bersinar di masa depan. Kami tahu putramu memiliki tanda lima elemen,” jawab mereka seraya menatap tajam penuh ancaman.

Raja baladewa mengerutkan dahi, napasnya tercekat sejenak.

“Putraku memang memiliki tanda itu... Tapi apa urusannya dengan masa depannya?” suaranya rendah, seolah menahan amarah dan ketakutan sekaligus.

pada saat ini, mereka saling pandang untuk sesaat. Dan setelah itu salah satu dari mereka membuka suara menceritakan satu kisah yang berhubungan dengan putra sang raja yang memiliki tanda lima element.

Beberapa tahun lalu, kabar mengguncang dunia persilatan: ramalan tentang seorang anak manusia bertanda lima elemen yang terukir di tubuhnya.

Bisik bisik muram menyebar, jima anak itu bakal jadi badai yang akan menghancurkan para pendekar golongan hitam di masa depan.

Merasa hal itu tidak bagus dalam keberlangsungan dari para pendekar golongan hitam, maka mereka memutuskan untuk mencari sosok yang ada di dalam ramalan tersebut.

Hingga suatu hari, desas desus terdengar jelas di telinga meraka jika sudah terlahir seorang anak dari garis keturunan bangsawan di Kerajaan Krisdasana yang memiliki tanda lima element yang sedang mereka cari.

Ketegangan membara di antara para pendekar gelap dari berbagai kota. Mereka berkumpul, suara mereka serak merencanakan satu tujuan untuk menghabisi sosok yang menjadi ancaman di kemudian hari.

Saat semua sudah terkumpul, mereka semua langsung bergerak menyerang dan menerjang istana kerajaan Krisdasana, menebar ketakutan dan kehancuran di setiap sudutnya.

Korban korban kematian mulai berjatuhan ketika serangan dari golongan hitam di malam itu, para prajurit yang hanya sedikit memilliki kemampuan beladiri. Tidak dapat menahan serangan dari para pendekar golongan hitam tersebut.

Dentingan senjata dan suara teriakan kematian menggema di halaman istana kerajaan menambahkan. Hingga tidak butuh waktu lama, istana kerajaan benar benar jatuh tanpa ada lagi orang orang dari pihak istana.

Para golongan hitam tidak berhenti sampai di situ sebelum mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan. Yaitu sosok bayi kecil yang memiliki tanda lima element di tubuhnya.

Hingga beberapa orang langsung bergegas masuk kedalam istana. Lalu menemukan ruangan yang di dalamnya terdapat sosok bayi kecil yang mereka cari beserta keluarganya.

Di ruangan tersebutlah mereka bertemu dengan keluarga kerajaan yang sedang menjaga seorang  bayi yang mereka cari.

"Semua prajuritmu sudah kami habisi. Tidak ada lagi yang akan melindungimu, serahkan putramu atau nyawamu yang akan melayang..!" Kata pendekar golongan hitam memberi pilihan dengan nada mengancam.

Raja Baladewa menyadari satu hal yang sangat berbahaya. Sesaat ia melirik ke arah anak dan istrinya.

"Bawa anak kita pergi dari sini, aku akan menahan mereka semua sebisa dan semampuku" kata Raja Baladewa pelan namun dapat di dengar oleh istrinya, Sri Rahayu.

"Kakang tidak akan bisa melawan mereka seorang diri, kita akan pergi bersama sama"  sahut Sri Rahayu.

"Jika aku ikut pergi bersama kalian, maka mereka tetap memburu kita. Aku akan menahan mereka dan mati disini, lagi pula istana kerajaan ini sudah hancur" kata Raja Baladewa.

"Pergilah..! Dan selamatkan putra kita" teriak Raja Baladewa tegas.

Wushhh..

Tanpa menunggu jawaban dari Sri Rahayu, Raja Baladewa langsung melesat kedepan menyerang orang orang yang mencoba mengincar nyawa putranya menggunakan pedang yang tergenggam erat di tangannya.

Beberapa pendekar golongan hitam menatap tajam ke arah Raja Baladewa yang maju menyerang. Tak ada setitik rasa gentar di wajah mereka, malah muncul senyum dingin yang menyayat.

"Kau telah salah dalam memulih, dasar raja bodoh," ejek salah satu dari mereka dengan suara penuh hinaan.

Serentak, senjata tajam mereka terhunus ke depan, siap membalas serangan dari Raja Baladewa.

Dentingan logam senjata mereka saling beradu, lalu menggema nyaring di ruang sempit itu, percikan api beterbangan seolah melukiskan kobaran amarah.

Raja Baladewa berusaha menghindar, namun serangan bertubi tubi menyudutkannya. Tubuhnya mulai terkoyak oleh tebasan dan tusukan dari senjata lawan, nafasnya memburu tapi matanya tetap menyala, berusaha mencari celah.

Namun jelas, seorang diri ia tak mampu menandingi banyaknya jumlah lawan yang terus membayangi dengan senyum penuh kelicikan.

Crashh.

crashh..

Tusukan dan tebasan senjata dari para pendekar golongan hitam menghujam tubuh Raja Baladewa tanpa henti.

Cairan merah segar mulai mengalir deras dari luka luka yang menganga, membasahi lantai medan pertempuran.

“Tidak” teriak Sri Rahayu dengan suara tercekat, matanya membelalak menatap tubuh suaminya yang terus dihujani senjata lawan.

Jantungnya berdegup kencang, tangan gemetar saat ia mengenggam pedang yang sudah diangkat, bersiap menerjang. Dengan langkah terburu-buru, dia melesat maju, tekad membara untuk menyelamatkan Raja Baladewa dari serangan maut itu.

Namun, sejenak dia melirik ke arah Ki Laksmana yang sedang berdiri di samping tempat tidur putranya, napasnya tertahan saat tatapan mereka bertemu.

“Bawa putraku pergi dari sini, rawat dan didiklah dia menjadi orang yang berbudi luhur. Kami mungkin akan gugur di sini, tapi tidak dengan dia. Jadikan ia orang yang hebat dan berguna di masa depan,” ucap Sri Rahayu dengan suara serak, seolah ingin mengukir pesan terakhir sebelum semuanya berakhir.

Wushhhh..

Sri Rahayu melesat cepat ke depan. Dengan mengayunkan senjata yang sudah tergenggam erat di tangannya.

Namun, sebelum pedang itu menyentuh para pendekar golongan hitam, sebuah pedang datang dengan cepat, menusuk dada Sri Rahayu. Wajahnya membeku, napas terhenti di tenggorokan, tubuhnya terhuyung dan akhirnya terjatuh di atas lantai. Lalu di susul oleh tubuh Raja Baladewa yang juga tewas .

Dua pasang suami istri tergeletak tak bernyawa, tubuh mereka kaku di atas lantai yang memerah oleh cairan yang keluar dari tubuh mereka sendiri.

Suasana mencekam menyelimuti ruangan itu, seolah waktu berhenti sejenak.

Tatapan tajam para pendekar golongan hitam tertuju pada sosok tua di samping tempat tidur, sosok tua itu adalah Ki Laksmana yang dengan tenang menggendong bayi laki laki keturunan Raja Baladewa, incaran mereka yang kini menjadi harapan sekaligus ancaman.

Ki Laksmana dengan cekatan mengikatkan bayi itu ke punggungnya, gerakannya luwes namun penuh ketegasan, agar tangan dan kakinya bebas bergerak.

Salah satu pendekar mengangkat pedang, bilahnya berkilat diterpa cahaya remang remang dari cahaya lilin yang tidak terlalu terang, mengarah tepat ke sosok tua itu.

“Hey, tabib... Serahkan bayi itu, atau kau juga akan bernasib sama seperti mereka,” ancamnya, suara kasar menyisakan gema dingin di udara.

Namun Ki Laksmana hanya tersenyum, bibirnya melengkung tipis tanpa setitik rasa takut. Matanya yang teduh malah menyiratkan keyakinan dalam tiap kata yang diucapkan.

“Bukankah kalian percaya bayi ini akan jadi ancaman bagi golongan hitam di masa depan? Maka, aku akan mewujudkan masa depan itu,” sahutnya tenang, mengundang ketegangan yang mendalam dalam keheningan malam.

Para pendekar golongan hitam menjadi berang atas perkataan dari sosok tua di depan mereka. Hingga pada akhirnya mereka memutuskan untuk membunuh sosok tua tersebut.

Mereka maju ke depan dengan niat membunuh yang besar. Pedang pedang golongan hitam berayun cepat, menyambar ke arah Ki Laksmana.

"Kau akan mati, kakek tua!" teriak mereka serempak, langkah kaki mereka maju tanpa ragu.

Tatapan tajam Ki Laksmana menusuk ke mata mereka, tak tergoyahkan oleh ancaman itu. Tiba tiba, jarum jarum kecil berkilat muncul di genggamannya. Dengan gerakan halus dan tepat, ia melemparkan jarum-jarum itu ke arah para pendekar golongan hitam.

Crashhh…

Suara dentingan jarum yang menancap di tubuh mereka menggema, tapi tak satupun wajah mereka menunjukkan rasa sakit. Malah, semangat mereka membara, mereka terus melesat maju, yakin bisa menaklukkan sosok tua yang tampak rapuh itu.

Namun saat jarak mereka sudah sangat dekat, Ki Laksmana tiba tiba menghilang dalam sekejap seperti bayangan yang lenyap ditelan malam. "Apa yang terjadi? Di mana dia?" tanya mereka dengan suara terbata, mata membelalak bingung, kebingungan terpancar jelas di wajah para pendekar golongan hitam itu.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!