5. Waktu, Cinta, dan kesabaran

...0o0__0o0...

...Jingga turun dari mobil dengan wajah masam. Namun langkahnya terhenti begitu saja, seakan ia baru mengingat sesuatu. Ia berbalik, lalu mengetuk kaca mobil dengan ragu....

...Tok! Tok! Tok!...

...Langit menoleh heran, menurunkan kaca sedikit....

...“Kenapa, Dek ? Ada yang tertinggal ?”...

...Alih-alih menjawab, Langit sendiri yang buru-buru berkata, “Astaghfirullah, aku malah lupa. Aku belum kasih kamu uang saku. Tunggu sebentar, ya.”...

...Jingga sontak mengernyit bingung....

...“Aku tidak minta uang, Kak. Aku tidak mau di anggap matre.” Nada suaranya terdengar sebal....

...Langit mendesah, menatap istrinya dengan serius....

...“Dek, tidak ada istilah matre dalam rumah tangga. Sebagai suami, itu kewajiban aku untuk memberikan mu uang dan mencukupi semua kebutuhan mu. Lagian kamu masih kuliah, pasti butuh biaya.”...

...“Aku bisa cari uang sendiri. Aku tidak mau kalau nanti Kak Nesya mem-permasalahkan hal ini,” balas Jingga cepat, nadanya getir....

...Langit akhirnya keluar dari mobil. Tubuh tingginya berdiri tegak di hadapan Jingga. Ia tahu, istrinya yang tumbuh dalam keluarga sederhana memang perlu di bimbing soal hak dan kewajiban rumah tangga....

...“Nanti malam kita belajar agama sama-sama. Biar kamu tahu apa hak dan kewajiban suami istri,” katanya serius....

...Jingga mendongak menatap suaminya. Ada wibawa yang membuatnya tak kuasa membantah. Ia hanya mengangguk patuh. Lalu, dengan nada lirih ia berkata, “Aku mau salim, bukan minta uang sama kakak.”...

...Langit menatapnya sejenak, lalu mengeluarkan sebuah kartu hitam dari dompetnya. Ia mengulurkan-nya tegas....

...“Ambil. Jangan menghalangi suami mu menjalankan kewajiban-nya.”...

...Jingga menatap kaku. Black card itu terasa begitu berat, seakan bukan sekadar kartu, melainkan simbol status barunya sebagai istri. Dengan ragu ia meraih, lalu memasukkan ke dalam tas....

...“Terima kasih, Kak. Tapi aku akan gunakan ini hanya kalau benar-benar terdesak. Karena bagiku, mendapatkan cinta suami jauh lebih berharga daripada uang.”...

...Langit tercekat. Kata-kata itu menamparnya halus. Ia hanya bisa menatap wajah istrinya yang polos namun menyimpan luka....

...“Kenapa aku merasa lemah setiap kali menatap mata Jingga ? Aku menikahinya karena permintaan Nesya… tapi justru setiap hari, bocil ini membuatku goyah. Aku takut… takut jika cintaku untuknya semakin besar, Nesya akan terluka. Tapi aku juga tidak sanggup bersikap dingin terus padanya. Ya Allah, bagaimana aku bisa adil kalau hatiku sendiri terus condong ?”...

...“Terima kasih sudah menerimanya,” ucap Langit datar, mengalihkan pembicaraan. “Sekarang masuklah. Jangan sampai terlambat kuliah gara-gara terus ngobrol.”...

...Jingga tersenyum kecut. Ia tahu, setiap kali bicara soal perasaan, suaminya akan berubah dingin. Tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa....

...Pernikahan mereka pun bukan atas dasar cinta, melainkan keinginan Nesya, istri pertama, yang ingin mempertahankan harga dirinya setelah lama tak juga di karuniai anak....

...Jingga mendongak, menatap suaminya yang tinggi tubuhnya melebihi dirinya. Ia tidak membantah, hanya mengangguk patuh....

...“Ya Allah… ternyata sesulit ini menjadi istri kedua. Aku tidak pernah minta semua ini, tapi aku juga tidak bisa menolak takdir-Mu. Aku hanya ingin dicintai sepenuhnya oleh suamiku, bukan hanya diakui sebagai istri di atas kertas. Rasanya sesak… tapi aku harus kuat.”...

...“Ya sudah, aku masuk dulu,” ucap Jingga. Ia mengulur tangannya ke depan....

...Langit memicingkan mata. “Kamu mau apa lagi?”...

...“Aku mau salaman sama suami aku sebelum menuntut ilmu. Kenapa ? Kalau kakak keberatan, ya sudah, aku langsung masuk.”...

...Langit terpaku. Ia tidak segera merespons hingga Jingga menurunkan tangannya dengan wajah miris, lalu berbalik melangkah pergi dengan kepala tertunduk....

...Baru dua langkah, suara Langit menghentikan langkahnya....

...“Jingga! Aku tidak mengizinkan mu pergi sebelum mencium tangan suami mu.” Suaranya tegas, penuh wibawa....

...Jingga berhenti. Ia berbalik, menatap Langit dengan mata berkaca-kaca....

...Langit maju, mengulurkan tangannya. Jingga segera menyambut, lalu menunduk mencium punggung tangan suaminya. Air matanya jatuh tanpa ia sadari, meski buru-buru ia usap dengan ujung kerudung....

...Saat hendak melepaskan genggaman-nya, Langit justru menahan tangan Jingga. Dengan gerakan spontan, ia menarik tubuh mungil istrinya ke dalam pelukan....

...“Maaf… kalau aku menyakiti hatimu. Kasih aku waktu sedikit lagi,” bisiknya, suara serak mengguncang telinga Jingga....

...Jingga hanya bisa mengangguk singkat dalam dekap hangat itu. Hatinya bergetar, tubuhnya melemah, tapi sekaligus tenang....

...Beberapa detik kemudian, Langit melepaskan pelukan, lalu menatapnya dalam. “Masuklah, belajar yang benar. Ingat, kamu sekarang istriku. Jaga pandangan mu, jangan berdekatan dengan laki-laki lain.”...

...Jingga mengangguk, bibirnya tersungging senyum tipis....

...“Assalamualaikum, Kak.”...

...“Waalaikumsalam,” jawab Langit....

...Dengan perasaan lega bercampur haru, Jingga melangkah masuk ke gedung kampus. Langit tetap berdiri di sisi mobil, menatap punggung kecil istrinya hingga bayangan itu lenyap di balik pintu besar fakultas....

...Di dada Langit, ada sesuatu yang berdenyut—bingung, kagum, dan sedikit demi sedikit… Rasa hangat mulai menjalar di hatinya....

...0o0__0o0...

...Tepat pukul dua belas siang, jam kuliah Jingga berakhir. Ia berjalan keluar gedung bersama sahabatnya, Siska....

..."Jingga, malam ini kamu ke klub lagi nggak?" tanya Siska dengan suara pelan, seolah takut ada yang mendengar....

...Jingga menggeleng pelan. "Nggak, Sis. Mulai hari ini aku sudah nggak kerja di sana lagi."...

...Siska mengernyit, suaranya makin diturunkan. "Kenapa ? Apa kamu takut rahasia mu terbongkar ? Tenang saja, aku sudah janji akan jaga mulut rapat-rapat."...

...Ya, hanya Siska yang tahu. Jingga pernah bekerja di klub malam demi biaya pengobatan ayahnya. Tidak seorang pun dari teman-teman fakultas lain yang mengetahuinya. Kini, setelah kebutuhan biaya pengobatan sang ayah tercukupi, Jingga memilih berhenti....

..."Bukan itu alasannya, Sis," ucap Jingga lirih, berusaha menenangkan sahabatnya. "Pengobatan ayah sudah cukup. Aku cuma mau fokus kuliah… sambil tetap jaga ayah di rumah sakit. Jadi kamu tenang saja, semua baik-baik saja."...

...Siska masih menatapnya lekat, seolah ingin menembus jawaban singkat Jingga. Namun ia memilih tidak mendesak lagi. "Syukurlah kalau begitu. Jadi kamu nggak perlu lagi merasa tertekan harus kerja di tempat itu."...

...Jingga tersenyum tipis, lalu meraih tasnya lebih erat. "Iya. Aku duluan ya, harus ke rumah sakit sekarang. Assalamualaikum."...

..."Walaikumsalam," balas Siska, masih memandang punggung Jingga yang perlahan menghilang dari pandangan. Tatapannya menyisakan tanda tanya—seakan tahu masih ada sesuatu yang disembunyikan sahabatnya....

...0o0__0o0...

...Di halte, Jingga duduk seorang diri, sesekali menatap layar ponselnya yang tak kunjung menampilkan balasan dari sang suami....

...“Kak Langit ke mana sih ? Tadi pagi malah kirim pesan, suruh aku hubungi kalau sudah pulang kuliah. Tapi giliran di hubungi, sama sekali nggak di respon,” gerutunya lirih....

...Jari-jarinya kembali menekan layar, mencoba menghubungi lagi, namun jawaban yang terdengar hanyalah suara operator....

...“Ck! Harusnya kalau memang nggak bisa jemput, kasih kabar. Biar aku nggak nungguin dengan kecewa,” desahnya miris....

...Siang itu matahari begitu terik. Jingga mengibas wajahnya dengan tangan, mencoba mengusir gerah yang makin menusuk kulit....

...“Kayaknya Kak Langit lagi sibuk… aku pulang naik taksi aja deh,” putusnya setelah satu jam menunggu, namun suaminya tak juga datang....

...Baru saja ia melangkah ke tepi jalan, sebuah mobil putih berhenti di depannya, menghalangi langkahnya....

...“Assalamualaikum, Jingga,” sapa seorang pemuda seumuran dengannya dari balik kemudi....

...“Waalaikumsalam, Ikbal…” jawab Jingga pelan, menundukkan kepalanya....

...Ikbal—nama itu seketika membawa sekelumit masa lalu....

...“Jingga, kamu nunggu apa ?” tanyanya ragu, tak berani menatap lama ke arah gadis yang dulu pernah mengisi hatinya....

...“Aku lagi nunggu taksi,” jawab Jingga singkat....

...Ikbal, mantan kekasih yang dulu sempat ia cintai tulus. Dari sekian banyak pria yang mendekati, hatinya justru pernah ia labuhkan pada pemuda sederhana itu—baik, sopan, dan paham menjaga batasan. ...

...Sayang, hubungan mereka kandas lantaran perbedaan kasta yang terlalu jauh, hingga keluarga Ikbal tak memberi restu. Pada akhirnya, Jingga yang memilih mengakhiri segalanya....

...Namun begitu, hubungan mereka tak sepenuhnya hancur. Ikbal masih menjadi sosok baik hati yang selalu peduli....

...“Kamu mau ke mana ? Aku antar, ya. Dari tadi nggak ada taksi yang lewat,” ucap Ikbal lembut....

...“Aku mau ke rumah sakit. Kamu pulang saja dulu, nggak usah repot-repot nganterin aku,” tolak Jingga halus....

...Ia sadar, dirinya kini sudah berstatus istri orang. Ia pun mengingat jelas pesan suaminya untuk menjaga jarak dari laki-laki lain....

...Namun Ikbal tetap membujuk, nadanya penuh pengertian....

...“Jingga, kita naik mobil. Kamu bisa duduk di belakang kalau merasa tidak nyaman. Cuaca makin panas, sementara ayah kamu sendirian di rumah sakit. Kasihan kalau kamu terlambat datang.”...

...Ikbal memang mengenalnya luar dalam. Meski pernah menjadi kekasih, ia tak pernah sekali pun menyentuh Jingga, sebab ia tahu gadis itu menjaga kehormatan-nya dengan ketat. ...

...Dan bagi Ikbal, itu bukan masalah—karena rasa cintanya dulu tulus, jauh dari sekadar nafsu....

...Jingga terdiam sejenak. Ucapan Ikbal tadi menusuk hatinya, membuat pikirannya bimbang. Benar, ayahnya memang sedang di rawat di rumah sakit. Waktu terasa berharga. ...

...Namun di sisi lain, ia takut jika menerima tumpangan dari mantan bisa menimbulkan salah paham....

...Jingga menggigit bibirnya, mencoba menolak dengan halus....

...“Terima kasih, Bal… tapi aku—aku takut salah paham. Aku sekarang hanya sebatas mantan, aku nggak enak sama kamu.”...

...Ikbal menghela napas, menundukkan pandangan-nya....

...“Aku paham, Jingga. Aku juga nggak ada maksud apa-apa. Aku cuma nggak tega lihat kamu kepanasan di sini. Demi Allah, aku hanya ingin nolong.”...

...Hatinya makin galau. Ia menatap jalan raya yang sepi dari taksi, lalu melirik ke arah matahari yang semakin terik. Keringat mulai membasahi pelipisnya....

...Bagaimana kalau Kak Langit marah ? Tapi… bagaimana kalau ayah butuh aku sekarang juga ? batinnya kacau....

...Sementara itu, Ikbal tetap menunggu dengan sabar, sama sekali tidak memaksa. Ia tahu batasan, namun raut wajahnya jelas penuh kekhawatiran....

...Akhirnya, Jingga menarik napas panjang. “Baiklah, Bal… aku terima tumpangan mu. Tapi aku duduk di belakang, ya. Dan tolong, langsung ke rumah sakit.”...

...Sekilas senyum lega muncul di wajah Ikbal. Ia hanya mengangguk....

...“Tentu, Jingga. Aku janji.”...

...Dengan ragu, Jingga membuka pintu belakang mobil itu. Hatinya bergetar—antara rasa bersalah pada suami, dan rasa terharu pada ketulusan mantan yang masih peduli....

...Mobil pun perlahan melaju, meninggalkan halte yang panas, namun justru menyisakan hawa lebih panas di dada Jingga....

...Mobil yang ditumpangi Ikbal dan Jingga berhenti tepat di depan rumah sakit....

...Jingga segera turun dari kursi penumpang belakang, disusul Ikbal yang keluar dari kursi pengemudi....

..."Ikbal, terima kasih sudah mengantar ku," ucap Jingga pelan, menundukkan wajah, berusaha menjaga pandangan....

...Ikbal mengangguk singkat. "Sama-sama. Apa aku boleh sekalian jenguk ayah kamu ?" tanyanya hati-hati....

...Belum sempat Jingga menjawab, kehadiran seorang pria berjas putih membuat langkahnya terhenti. Ia langsung kaku di tempat....

..."Jingga..." suara Langit terdengar dingin menusuk. "Siapa dia ?" Tatapannya tajam mengarah pada Ikbal....

...Jingga terdiam, bibirnya nyaris bergerak, tapi Ikbal lebih dulu membuka suara....

..."Maaf, Dok. Saya teman Jingga. Kebetulan tadi saya mengantarnya ke sini. Sekalian, saya ingin menjenguk ayahnya."...

...Namun Langit tidak menggubris. Pandangan-nya hanya tertuju pada istrinya. Ia melangkah mendekat hingga berdiri tepat di hadapan Jingga yang menunduk gugup....

..."Kamu pulang bersama laki-laki lain ?" bisiknya datar—begitu pelan hingga Ikbal tak mendengarnya....

..."A-aku bisa jelasin, Kak..." jawab Jingga terbata, suaranya bergetar....

...0o0__0o0...

Terpopuler

Comments

Maulana Abraham

Maulana Abraham

belajar lagi langit, resiko kamu punya dua istri. harusnya jika kamu tidak siap, kamu menolak tegas pernikahan itu. kasihan jingga /Sob//Sob//Sob/

2025-09-18

1

Ita rahmawati

Ita rahmawati

iyalah orang kamu dihubungin gk ngerespon gitu ngga,,mana panas lg 🤣

2025-09-17

2

Jolins Noeos

Jolins Noeos

ngenak banget kata-kata jingga /Sob//Sob//Sob/

2025-09-18

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!