Kotak-kotak belanjaan baru saja ditumpuk di ruang tamu. Widya berdiri dengan tangan berkacak pinggang, matanya menyapu isi rumah.
“Pertama, dapur. Barang-barang masuk dapur dulu.”
Arman mendengus. “Dapur mulu. Kenapa nggak langsung ke kamar? Aku kan butuh tempat naro stok mi instan pilihanku.”
“Yaelah, mi instan disimpen di dapur, Mas. Nggak ada namanya lemari mi instan di kamar.” Widya menatap suaminya tajam.
Arman menepuk dada. “Nah, makanya kita bikin sejarah. Aku bakal jadi manusia pertama yang punya lemari mi instan pribadi di kamar.”
Widya sudah siap mengomel, tapi akhirnya hanya menutup muka dengan kedua tangan. “Tuhan, kuatkan hambaMu…”
Saat menyusun barang, ribut lagi.
“Sabun cuci piring taro deket wastafel,” ucap Widya.
Arman malah menyimpan di rak atas bareng camilan.
“Mas Arman! Itu sabun, bukan ciki!”
“Ya siapa tau aku lagi ngemil, terus tangan berminyak, langsung bisa cuci tangan. Praktis kan?” Arman cengengesan.
Widya menatapnya lama. “Aku sumpahi… kamu tuh terus kayak bocah lima tahun, Mas.”
Arman mencebik, “Sumpahnya nggak bakalan manjur.”
Setelahnya mereka menggotong karpet baru.
“Taruh sini, biar ruangan keliatan lega,” usul Widya.
Arman menaruh di posisi lain. “Nggak, sini lebih cozy. Biar kalau main game enak.”
“Mas Arman, rumah ini bukan warnet.”
“Warnet lebih rapi dari ini, Wid.”
Widya hampir melempar bantal sofa ke muka suaminya saking keselnya.
Puncaknya terjadi saat mereka memasang rak piring. Widya memegang instruksi manual, Arman memegang obeng.
“Baut nomor dua dipasang di sisi kiri,” Widya membaca.
Arman ngotot. “Instruksi manual itu buat orang cupu. Percaya insting aja.”
Lima belas menit kemudian, rak itu miring ke kiri, gelas yang ditaruh langsung meluncur jatuh.
“INSTING KAMU NYEBELIN BANGET, MAS ARMAN!” Widya berteriak sambil buru-buru menyelamatkan piring.
Arman mengangkat tangan tanda menyerah, tapi masih sempat tertawa. “Oke, kali ini aku akui… manual menang.”
Widya mendengus. “Ya jelas!”
Mereka akhirnya duduk di lantai, napas ngos-ngosan, dikelilingi perabot setengah jadi.
Arman menyenggol bahu Widya. “Eh… tapi jujur aja, kan seru? Kaya game survival.”
Widya menatap suaminya sinis. “Game survival apaan, tiap menit jantungku hampir copot!”
Arman terkekeh, mengambil botol air minum, lalu menyerahkannya ke Widya. “Santai, Bu Istri. Kita baru level satu. Masih banyak misi rumah tangga di depan.”
Widya menerima botol itu, menatap sekilas wajah Arman yang sok pede. Entah kenapa, meski ngeselin, suasana rumah tiba-tiba terasa… tidak sepi.
*
*
Malam itu kamar mereka remang. Arman sudah rebahan dengan tangan di belakang kepala, sementara Widya sibuk merapikan buku catatan kuliahnya di meja kecil.
“Wid, lampu jangan lama-lama nyala. Aku nggak bisa tidur,” protes Arman.
“Yaudah tidur aja. Aku masih belajar,” jawab Widya ketus.
Arman menoleh malas. “Ih, hidup serumah sama kamu tuh kayak ngekos bareng dosen killer.”
Widya mendengus. “Mending jadi dosen killer daripada suami nganggur.”
“Eh, besok aku balik ngantor, Bu. Jangan lupa, jadi aku butuh istirahat.” Arman berdecak.
Widya nyengir tipis, lalu pura-pura serius: “Kasian juga sih. Pasti rekan-rekannya di kantor kasihan ya punya temen bawel.”
Arman bangun setengah badan, menatap Widya dengan sengit. “Widya, kamu itu istri aku. Minimal kasih aku motivasi, bukan sindiran!”
Widya pura-pura berpikir. “Oke, gini ya: semoga besok kamu nggak dipecat.”
Arman menghela napas panjang, lalu menutupi wajah dengan bantal. “Tuhan, sabar aku diuji sama istri sendiri.”
Widya tertawa ngakak, lalu naik ke ranjang. “Eh, jangan lebay. Udah tidur sana.”
Mereka berbaring dengan posisi berlawanan, punggung saling membelakangi. Sunyi sejenak.
Lalu Arman bersuara pelan. “Wid.”
“Hm?”
“Kalau misalnya kita beneran… pasangan sungguhan, kamu bakal… masih suka nyolot gini nggak?”
Widya terdiam. Pipinya sedikit panas, tapi buru-buru ia balas, “Ya jelas. Aku nggak pernah akting soal nyolot.”
Arman terkekeh kecil. “Pantes.”
Hening lagi. Kali ini Widya yang diam-diam tersenyum, meski punggung mereka masih saling membelakangi.
*
*
Pagi berikutnya, rumah mereka kembali riuh. Arman tergesa-gesa mengenakan kemeja kerja, dasinya setengah melorot.
“Wid, cepetan! Tolong iketin dasiku. Aku telat nih!” teriak Arman dari depan cermin.
Widya yang masih sibuk menyiapkan tas kuliah menatap sinis. “Kamu pikir aku sekretarismu apa?”
“Sekretaris, istri, bedanya tipis!” Arman menjulurkan dasinya ke arah Widya.
Dengan malas Widya maju, lalu asal-asalan mengikat dasi itu. Hasilnya miring parah.
“Ini apaan sih?” protes Arman.
“Udah, daripada nggak ada sama sekali. Kamu kan macho, bawa style sendiri.” Widya cengengesan.
Arman mendesah putus asa, tapi buru-buru meraih jasnya. “Yaudah, aku cabut dulu. Jangan bikin gosip sama tetangga!”
Widya membalas cepat, “Kamu juga jangan genit sama rekan perempuan!”
Arman tersedak sendiri, lalu pergi dengan langkah terburu-buru.
Beberapa menit kemudian, giliran Widya yang keluar rumah dengan totebag besar berisi buku kuliah. Ia berhenti sebentar, menatap pintu rumah yang baru mereka tinggali.
“Gila sih… baru beberapa hari aja udah kayak sinetron,” gumamnya.
Lalu ia menarik napas panjang, berjalan ke arah kampus. Dua dunia yang berbeda, satu atap yang sama, mau tidak mau, mereka harus berbagi cerita.
---
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
Safitri Agus
semoga saja menjadi cerita yang indah kelak 😊
2025-09-15
2
Enisensi Klara
Nanti kalian akan saling membutuhkan sebagai suami istri yg sesungguhnya hihihi 🤭
2025-09-15
1
Mamah AzAz
kehebohan dan perdebatan yang akan membuat kalian makin nyaman 🤣
2025-09-15
1