Arman membuka mata dengan wajah kusut. Seluruh badannya terasa remuk, terutama pinggang dan bahu. Ia mengerang pelan sambil duduk di tepi kasur.
“Aduh... kayaknya gue habis sparring sama lima orang sekaligus,” keluhnya sambil mengusap pinggang.
Arman melirik ke lantai. Selimut tergeletak berantakan, bantal melayang ke ujung ranjang. Diingatnya semalam….perdebatan panjang sampai larut, lalu dirinya yang akhirnya terpaksa tidur di ujung ranjang karena Widya ngotot.
Dan... tendangan maut tengah malam itu masih meninggalkan trauma.
“Parah banget. Baru malam kedua udah disepak istri sendiri,” gerutunya setengah bercanda, setengah nelangsa.
Aroma harum nasi goreng menyeruak dari arah dapur. Arman bangkit dengan langkah berat, meraih kaus tipis, lalu berjalan gontai keluar kamar.
Di dapur, Widya sudah duduk manis di kursi, menyantap sarapannya sambil memainkan ponsel.
“Pagi,” sapa Arman dengan suara serak.
Widya hanya menoleh sebentar, lalu kembali menatap piringnya. “Oh, bangun juga. Kirain masih pingsan.”
Arman mendengus. Ia duduk di kursi seberang Widya, menatap piring nasi goreng yang sudah tertata rapi di depannya. “Ini kamu yang masak?”
Widya mengangkat alis. “Kalau bukan aku siapa lagi? Peri dapur?”
“Tumben niat banget. Aku kira kamu nggak bisa masak,” ujar Arman sambil menyuap satu sendok. Wajahnya langsung berubah. “Hmm... enak juga.”
Widya menatapnya dengan senyum tipis penuh kemenangan. “Tentu saja. Aku nggak cuma jago ngomel, tapi juga jago masak.”
Arman menahan tawa. “Jago ngomel sih aku percaya.”
Widya mendengus kesal. Ia meletakkan sendoknya dengan suara clak! yang sengaja dibesarkan. “Kalau nggak suka, nggak usah dimakan.”
Arman buru-buru menyuap lagi, kali ini dengan mulut penuh. “Siapa bilang nggak suka? Nih, aku habisin biar kamu nggak tersinggung.”
Beberapa menit kemudian, suasana jadi lucu sendiri. Arman makan dengan rakus seperti orang kelaparan, sementara Widya meliriknya dengan tatapan geli.
“Eh, Wid, kamu tau nggak?” Arman menyandarkan tubuh ke kursi sambil menepuk-nepuk perut. “Tadi malam aku mimpi buruk gara-gara kamu.”
Widya menaikkan alis. “Buruk gimana?”
“Mimpi ditendang naga raksasa. Pas bangun, ternyata kamu yang nendang aku beneran,” jawab Arman dengan nada dramatis.
Widya nyaris menyemburkan teh yang baru saja ia teguk. Ia menahan tawa, tapi bibirnya sudah menekuk. “Ya salah sendiri tidur deket-deket. Kan kamu sendiri yang bilang mau beli kasur lipat.”
“Kasur lipat? Tapi setelah aku pikir-pikir, nanti dikira keluarga, kita nggak harmonis. Kamu yang ribut lagi,” balas Arman.
“Ya udah, terserah! Mau tidur di atas genteng juga urusan kamu,” Widya mendecak, tapi ekspresinya jelas menahan tawa.
Arman menggeleng sambil terkekeh.
Widya ikut tersenyum tipis, meski cepat-cepat menunduk agar tidak ketahuan.
“Oh, iya. Nanti kita belanja kebutuhan sabun dan kamar mandi.” ucap Widya sembari mengangkat piring kotor ke arah wastafel.
“Oke,” jawab Arman singkat.
*
*
Arman menyeret langkah keluar rumah, masih dengan wajah malas. Di sampingnya, Widya melangkah lincah dengan daftar belanja di tangan.
“Ini rumah kosong, nggak ada apa-apa. Mau hidup dari udara?” omel Widya sambil melambaikan kertas daftar itu ke wajah suaminya.
“Yaelah, belanja dikit doang kok gaya. Kayak ibu-ibu rumah tangga sejati,” celetuk Arman.
Widya mendelik. “Emang aku istri kamu, Mas!”
“Eh iya sih... istri,” balas Arman cepat sambil nyengir jail.
Sesampainya di minimarket, mereka sempat-sempatnya jadi pusat perhatian. Arman dengan cueknya mendorong troli, Widya sibuk memasukkan barang sesuai daftar.
“Beras kecil satu karung,” ucap Widya.
Arman mengangkat karung beras sepuluh kilo dengan gaya sok macho, meletakkannya ke dalam troli. “Untuk istri tercinta, beras kualitas premium.”
Seorang ibu-ibu yang kebetulan lewat langsung tersenyum haru. “Masya Allah, suaminya perhatian banget, Nak.”
Widya hampir keselek. Ia buru-buru tersenyum manis ke ibu itu. “I-iya, Bu.”
Begitu ibu itu berlalu, Widya mendesis pelan ke arah Arman. “Kamu itu bikin malu tau nggak?”
“Kenapa? Aku cuma akting jadi suami idaman. Kamu kan pengen kita nggak ketahuan,” jawab Arman santai sambil mengedipkan mata.
Widya cuma mendengus
Sampai di rak mi instan, keduanya ribut lagi.
“Beli yang ayam bawang!” ucap Arman.
“Enggak, yang kari ayam aja!” Widya menukas.
Mereka saling menatap, lalu spontan meraih kardus mi instan masing-masing di waktu yang sama. Akhirnya troli mereka penuh dengan dua rasa mi berbeda.
“Ini namanya nggak kompak!” keluh Widya.
“Justru kompak. kamu makan rasa yang kamu mau, aku makan rasa yang aku mau. Nggak ada yang rugi.”
“Terserah,” ujar Widya.
Saat ke kasir, kasir yang masih muda menatap mereka sambil senyum manis.
“Wah, belanja banyak banget. Baru pindahan ya, Kak?”
Widya buru-buru mengangguk. “Iya, baru menikah kemarin.”
Kasir itu menatap ke arah Arman. “Selamat ya, Kak. Semoga langgeng.”
Arman menepuk dada bangga, lalu merangkul bahu Widya dengan ekspresi lebay. “Aamiin... doain kami cepat dapat momongan, ya!”
Widya menoleh cepat dengan mata membelalak, sementara si kasir tersipu malu.
Begitu keluar dari minimarket, Widya langsung menyingkirkan tangan Arman dari bahunya. “Kamu gi*la ya? Niat banget bikin drama.”
Arman terkekeh puas. “Santai aja, itu bagian dari sandiwara, Bu Istri.”
Widya menghela napas panjang. “Astaga... ini baru hari ketiga, Mas. Bisa stres nih kalau tiap hari kayak gini.”
Arman cuma nyengir, mendorong troli penuh barang menuju parkiran. “Tenang, Wid. Hidup sama aku dijamin penuh kejutan.”
Widya menatap suaminya sebentar, lalu bergumam lirih, “Ya, kejutan yang bikin jantung naik turun...”
---
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
Mamah AzAz
Cieeee yang ribut Mulu tapi kelihatan sangat manis😄😄😄
2025-09-14
1
Ratu Tety Haryati
Drama kali ini bisa jadi doa ya... "Langgeng dan cepat dapat momongan"
2025-09-17
0
Er's26
Eeeh keknya alasan deh, jgn² aslinya kamu suka ya sama Widya🤭😂
2025-09-19
0