Malam menutup desa dalam selimut gelap. Angin membawa aroma lembab tanah sawah dan desir bambu yang bergesekan. Di salah satu sudut terpencil, tiga sosok berdiri rapat, wajah mereka tak terlihat oleh cahaya rembulan yang terhalang awan.
“Kenapa si tua bangka itu belum mati?” suara serak terdengar, dingin seperti baja berkarat.
“Sabarlah,” jawab bayangan kedua, lirih tapi menusuk, “belum waktunya.”
“Huh! Kalian berdua tak pernah sepakat. Ucapan kalian hanya membuat telingaku bosan!” bentak sosok ketiga, jelas dialah pemimpin dari mereka.
Hening kembali melingkupi tempat itu. Namun ada sesuatu yang lebih tajam dari senjata di antara mereka: niat membunuh. Tiga orang asing itu menunggu waktu, mengincar seseorang di desa. Orang yang cukup penting hingga kematiannya layak direncanakan dalam diam.
Desa yang tampak damai, ternyata menyimpan rahasia yang bisa mengoyak kedamaian.
...****************...
Ayam berkokok. Suara bersahutan itu seperti panah yang ditembakkan dari segala penjuru, menembus kabut pagi. Di sebuah pondok kecil di tepi desa, seorang pemuda tetap tertidur, tak terbangun meski suara kokok biasanya cukup untuk mengguncangnya.
Keringat dingin mengalir, bibir pucat, tubuhnya menggigil seperti dipaksa menahan racun yang merambat dari ujung kaki hingga ubun-ubun.
Tiga tahun sudah berlalu sejak beruang buas menyerang desa. Bocah rapuh yang dulu dihina kini tumbuh menjadi pemuda berusia enam belas tahun. Tubuhnya meninggi, ototnya padat, wajahnya memancarkan kharisma yang tak ia sadari.
Semenjak kejadian itu, hidup Anul menjadi jauh lebih baik. Tidak ada lagi orang yang berani mengganggunya, membuat hari-hari di desa menjadi lebih tenang dan menyenangkan.
Kini semua orang tahu, bahwa pemuda itu bukanlah pemuda biasa. Kekuatan fisik, pola pikir, dan semangat juang, ia berbeda dengan penduduk desa lainnya.
Namun yang membuat dirinya berbeda bukanlah wujud luar, melainkan rahasia yang mendarah daging dalam dirinya.
Tanpa pernah berlatih satu jurus pun, tubuhnya terus ditempa oleh sebuah teknik kuno yang bekerja tanpa ia sadari. Teknik itu mengalir dari tulang ke sumsum, dari darah ke kulit, seakan setiap helaan napasnya adalah gerakan penyempurnaan tubuh. Ia tak tahu dari mana datangnya, tapi hasilnya nyata.
Sejak lahir, ia tak pernah lepas dari rasa sakit. Seperti jutaan semut yang menggigit setiap helai otot, rasa itu terus menghantui. Namun penderitaan itu tak sia-sia. Kulitnya menjadi baja, tulangnya menjadi besi, tinjunya mampu memecahkan batu besar dengan satu hantaman.
Pada usia lima tahun ia pernah menjatuhkan seorang lelaki dewasa dengan sekali pukul. Sejak itu ia sadar, tanpa kendali, dirinya hanyalah bencana. Maka ia melatih diri bukan dengan jurus, tapi dengan kerja keras. Mengangkat kayu, menimba air, membantu pekerjaan warga desa. Setiap gerakan sederhana adalah cara untuk mengendalikan kekuatan.
Yang tak diketahui banyak orang, kesadaran Anul sejak lahir berbeda dari manusia biasa. Ia mengingat samar detik-detik ketika pertama kali membuka mata sebagai bayi. Ia mulai memahami kehidupan sejak usia lima tahun, yang seharusnya belum mengenal arti kata. Jiwa yang matang itu membuatnya bertahan di tengah rasa sakit, menguatkan tekadnya untuk tak hancur oleh kekuatan sendiri.
Kini, ia telah menahan penderitaan enam belas tahun lamanya.
“Anul...” suara samar menggema di ruang gelap tanpa cahaya.
Pemuda itu mendongak, di hadapannya berdiri sosok samar, kabur seperti kabut tipis di atas rawa. Bahkan suaranya tak jelas, entah laki-laki atau perempuan. Hanya aura tipis yang membuat jantung Anul berdetak lebih cepat.
“Teknik yang ditanamkan dalam tubuhmu telah siap untuk melangkah ke tahap selanjutnya,” kata sosok itu.
Tangan samar itu terulur, telunjuknya menyentuh tepat di tengah kening Anul.
Sekejap, tubuhnya diguncang rasa sakit yang jauh lebih dahsyat daripada yang selama ini ia rasakan.
Jika sebelumnya hanya seperti gigitan semut, kini seperti ribuan jarum panas menembus tiap pori-pori di sekujur tubuh. Darahnya bergetar, uratnya menjerit, tulangnya berderak bagai dihantam palu raksasa.
“Ahhh—!” Anul ingin berteriak, tapi suaranya tertahan, tidak bisa keluar. Tubuhnya gemetar, keringat mengalir deras, wajahnya pucat seputih abu.
Namun ia kini hanya bisa mengatupkan bibir, menahannya.
Sosok itu menatap dengan sorot mata yang tak bisa diartikan. Ia lalu menarik telunjuknya dan berbisik, “Ketika kau mencapai tahap berikutnya, kita akan bertemu lagi. Saat itu engkau akan tahu siapa dirimu yang sebenarnya. Bertahanlah, Anul.”
Sosok seperti kabut itu menghilang.
Anul terbangun dengan napas terengah. Pagi telah datang, cahaya matahari menembus celah pondok. Burung-burung berkicau.
Namun ia tak mendengar apa pun selain detak jantungnya sendiri.
Ia mengangkat tangan, tubuhnya terasa ringan dan rasa sakit yang selama ini menemaninya, lenyap.
Anul terpaku. Enam belas tahun penuh penderitaan kini sudah hilang begitu saja. Tenaga di dalam setiap sel di tubuhnya seperti mengalir bebas, mengisi tiap sudut dengan kekuatan baru.
Namun ia tak punya waktu lama untuk merenung, karena hari ini adalah hari perayaan kedewasaan.
Setiap pemuda yang berusia enam belas tahun harus hadir di lapangan bela diri. Hari itu, mereka dianggap bukan lagi anak-anak, melainkan generasi penerus yang harus memikul tanggung jawab menjaga desa.
Anul tergesa-gesa mengenakan pakaiannya yang sederhana, lalu berlari keluar.
Udara pagi menusuk paru-parunya, namun ia merasakan sesuatu yang berbeda. Kakinya melangkah lebih ringan, seolah tanah sendiri menopangnya. Ia bahkan bisa mendengar detak serangga di semak, desah bambu yang retak, dan dedaunan yang gugur di kejauhan.
...****************...
“Dia akan lengah di tengah acara perayaan, itu waktu terbaik untuk kita mulai bergerak,” bisik salah satu dari tiga orang yang berdiri di sudut lapangan bela diri.
“Ya. Hari ini... akan jadi hari terakhirnya.”
Pemimpin mereka terdiam sejenak, matanya menyipit. “Jangan gegabah. Kita tunggu hingga saat yang tepat. Ingat, jika dia mati sembarangan, rahasia desa ini tidak akan bisa kita dapatkan.”
Ketiganya lalu berpencar, mengambil posisi masing-masing.
...****************...
Desa mulai ramai, para orang tua menyiapkan upacara, anak-anak kecil berlarian sambil membawa bendera kain warna-warni. Asap tipis mengepul dari tungku, aroma sup dan daging menyatu dengan udara pagi.
“Anul! Tumben kau terlambat!” teriak seorang tetua desa sambil tersenyum.
Anul mengangguk singkat, berlari melewati mereka. Senyum hangat penduduk membuatnya sejenak lupa akan mimpi ganjil miliknya tadi.
Namun jauh di lubuk hatinya, ada firasat yang terus mengganggunya. Seolah mata-mata asing tengah menatap ke arah lapangan beladiri, menunggu saat yang tepat untuk menunjukan taringnya. Tapi ia kemudian mengacuhkan firasat itu.
"Bagaimanapun, para pendekar tua akan hadir di acara hari ini. Ancaman besar apa yang bisa mengacau di antara para ahli bela diri?" gumamnya dalam hati.
Langkahnya tak melambat. Hari besar itu menantinya.
Ia tak tahu, apa yang menunggu di balik upacara kedewasaan adalah awal dari takdir barunya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments
Nurika Hikmawati
jangan2 mau bikin keributan sama Anul. hati-hati Nul, waspada terus ya. Tante ikut doain dari sini
2025-09-25
1
Nurika Hikmawati
waaah, Anul sakti. inget waktu di dlm kandungan gak Nul?
2025-09-25
1
Nurika Hikmawati
Ganteng n macho pasti 😍
2025-09-25
1