Biro si Jenaka

Matahari baru saja menampakan diri, embun di rerumputan masih belum mengering, dan tanah masih sedikit lembab. Anul bergegas menutup pintu pondok kecilnya, bersiap untuk pergi menuju ladangnya Pak Ghandi, sang kepala desa. Hari ini adalah waktunya untuk merawat ladang milik Pak Ghandi.

Ladang itu terletak jauh di ujung selatan desa. Untuk mencapainya, ia perlu berjalan kaki selama hampir setengah jam. Itulah kenapa ia berangkat pagi buta agar bisa beristirahat sejenak setelah sampai di sana.

Di ladang Pak Ghandi, Anul tidak langsung bekerja. Ia mengambil sejumput rumput kering yang berserakan di sana, lalu mencabut satu batang singkong liar yang tumbuh di area ladang. Setelah itu, ia mengambil air di sungai yang berada tepat di sebelah ladang.

Ia kemudian mengumpulkan ranting-ranting kering yang berserakan, satu ranting diputar di atas rerumputan kering yang sebelumnya sudah ia kumpulkan. Tak berselang lama, percikan api muncul dan asap pun mengepul dari rerumputan kering itu.

Meniup dengan mulutnya, api mulai semakin besar. Ia segera menyusun ranting kering yang dia kumpulkan, meletakan rerumputan yang terbakar itu dibawahnya.

Setelah api membakar tumpukan ranting itu, ia memotek umbi dari batang singkong liar yang tadi ia cabut. Singkong itu ia lempar ke dalam api yang membara.

Sesekali ia menatap ke arah api yang sedang membakar singkong itu, sembari mempersiapkan peralatan bertani yang tersimpan di pondok di tengah ladang.

"Anul, kau datang lebih cepat lagi! Padahal aku sudah sengaja berangkat lebih awal, tapi tetap saja kau sampai lebih dulu dariku," gerutu seseorang sambil berjalan terengah-engah ke arah Anul. Mendengar gerutuan itu Anul hanya tersenyum kecil, melanjutkan kegiatannya.

"Ah sudahlah, kau memang selalu jauh lebih baik dariku," desah orang itu sembari duduk di dekat pondok.

Orang yang baru datang itu adalah Biro, anaknya Pak Ghandi.Anak itu seumuran dengan Anul—satu-satunya teman dekat.

Walaupun banyak pemuda yang kesal dengan kehadirannya, namun tidak semua yang membencinya, Biro adalah salah satunya. Dari kecil biro selalu berteman baik dengan Anul.

Mereka berdua sering melakukan hal bersama, sehingga Biro sangat mengerti bagaimana karakter temannya itu, dan bahkan sedikit mengaguminya. Biro tahu, dari segi kekuatan fisik tidak ada yang bisa menandingi Anul.

Bahkan jika orang dewasa di desa menghajar pemuda itu, tidak akan ada lecet sedikitpun. 

Selain itu, pemuda di depannya itu tidak pernah terdengar sedikitpun mengeluh dan selalu bekerja keras.

Tentu saja, terkadang ada saat untuk bermain seperti anak muda kebanyakan.

"Nafasmu terlalu cepat, mirip seperti nafasnya Mak Ijah. Jangan-jangan sebenarnya kau seumuran dengan Mak Ijah," canda Anul melihat temannya itu terengah-engah.

"Jika aku seumuran Mak Ijah, berarti kau seumuran siapa?" jawab Biro menimpali candaan Anul.

"Huh? Kau tidak tahu aku baru berusia tiga belas tahun? Dasar pemalas, berarti selama ini kau tidak belajar dengan baik dalam berhitung. Aku akan mengadukannya ke Ayahmu agar kau di berikan pelajaran berhitung tambahan," balas Anul cuek.

"Dasar, aku tidak akan pernah menang berdebat denganmu. Ditambah lagi perutku lapar karena belum sarapan. Singkong yang kau bakar tampaknya sudah matang, aromanya sungguh sangat menggoda.." ujar biro sambil mengelap air liurnya yang menetes perlahan.

"Kau ini.. otakmu hanya makan saja, pantas saja kepala desa pusing mengurus mu. Sana cepat angkat singkongnya kalau kau memang lapar, tapi ingat... sisakan untukku," ujar Anul sembari terus melanjutkan kegiatannya.

Tanpa basa-basi Biro langsung menusuk singkong itu dengan ranting dan mengangkatnya dari api. Kulit singkong yang menghitam tampak retak dan memperlihatkan bagian dalamnya yang putih bersih. Anul pun segera menyudahi pekerjaannya dan duduk tepat di sebelah Biro.

Dua sekawan itu lalu menyantap singkong bakar yang sudah matang secara perlahan hingga habis tak bersisa. Kemudian memulai pekerjaan mereka merawat ladang jagung milik ayahnya Biro — Sang Kepala Desa.

***

Matahari sudah membumbung tinggi di langit, saat ini pekerjaan mengurus ladang Pak Ghandi sudah hampir selesai. Biro duduk kelelahan di pinggir pondok, keringatnya bercucuran, bajunya basah semua. Anul juga duduk disebelah temannya itu, namun terlihat jauh lebih baik.

"Aku curiga kau itu keturunan kuda, setelah bekerja seharian kau masih belum tampak lelah," ejek Biro kepada Anul.

"Aku memang keturunan kuda, kalau kau mau aku bisa menunjukan bakat keturunan kudaku yang lainnya. Mau lihat?" jawab Anul dengan senyum jahil muncul di wajahnya.

Melihat raut wajah Anul, Biro sedikit merinding dan sedikit rasa jijik muncul di wajahnya. Anul ini memang paling bisa membalikan ejekan orang lain untuk menjadi bumerang bagi mereka sendiri.

"Ah, kau kira aku homo? Bajingan," balas Biro ketus.

"Hei, bagaimana kalau kita berendam di sungai. Pekerjaan ini tinggal sedikit, nanti saja kita kerjakan," lanjut Biro.

"Huh? Aku adalah orang yang berintegritas, bagaimana mungkin aku meninggalkan pekerjaan sebelum selesai? Apalagi... Kau tahu sendiri, orang yang paling menyeramkan di desa ini adalah ayahmu!" bantah Anul.

"Alah, apanya yang menyeramkan dari ayahku? Tiap hari wajahnya akan bengkak karena tinju dan tamparan ibuku. Ayahku itu tidak sekuat rumor yang beredar. Kau jangan percaya! Lagian... Pekerjaan kita hanya tinggal memberikan pupuk, nanti sore pun bisa kita kerjakan," ucap Biro sambil membusungkan dadanya.

"Apa? Kepala Desa yang berwibawa dan terkenal ahli beladiri nomer satu di desa kita sebenarnya seorang penakut? Bahkan untuk menghadapi seorang wanita saja tidak mampu? Wah, ini berita yang sangat menarik," timpal Anul.

"Hehe, aku beritahu kepadamu. Sebenarnya ilmu beladiri ayahku itu biasa saja. Aku bahkan sering mendengar ayah minta ampun kepada ibu di malam hari. Aku rasa orang terkuat di desa ini bukanlah ayahku, melainkan ibuku," jelas Biro semakin menjadi dengan wajah penuh kebanggaan terhadap ibunya.

"Uhukk.. uhukkk.." suara batuk terdengar dari belakang.

Biro lalu menoleh dan mendapati ayahnya sang kepala desa sudah berdiri tepat dibelakangnya entah dari kapan. Wajah Biro seketika pucat pasi, mulutnya terbuka sedikit seperti hendak menjelaskan sesuatu. Belum sempat satu suara pun keluar, kaki ayahnya sudah lebih dulu menendang pantat biro dengan sangat kencang.

Anul sebenarnya sudah menyadari kehadiran kepala desa sedari tadi, karena itulah dia sengaja memancing Biro berbicara lebih banyak lagi. Anul menutup mulut dengan telapak tangan, menutupi bibirnya yang menyeringai karena melihat temannya itu tersungkur dengan posisi menungging.

"Dasar anak kurang ajar, bagaimana mungkin kau berbohong seperti itu? Aku, ayahmu, tidak pernah takut pada seorangpun di desa ini. Termasuk ibumu," ujar kepala desa dengan postur berwibawa dan nada datar.

"Maaf ayah, aku tidak akan mengulanginya," rengek biro dalam posisi masih menungging dengan pipinya menempel ke tanah.

Pemandangan itu sangat lucu, dan ini bukan pertama kalinya bagi Anul melihat kelucuan ayah dan anak ini. Terkadang Anul merasa sedih, seandainya dia punya ayah seperti Biro.

Setelah beberapa saat, biro bangun dan membersihkan debu yang menempel di pakaiannya. Sang kepala desa, Pak Ghandi, seumuran dengan Mak Ijah. Namun di usia senja itu, wajah Pak Ghandi masih terlihat berumur tiga puluhan.

Selain itu posturnya juga masih tegap seperti anak muda. Bagi orang luar desa yang baru bertemu dengannya, mungkin tidak akan percaya bahwa Pak Ghandi adalah kakek-kakek berumur enam puluh tahun lebih. Seperti sebuah artefak kuno yang masih sangat terawat. Tapi jika dilihat dari kemampuan bela dirinya, hal ini mungkin saja terjadi. Dan mungkin masih banyak yang seperti Pak Ghandi ini di luaran sana. Yah.. Siapa tahu..

"Kau ingin pergi bermain sebelum pekerjaanmu selesai? Apa kau tidak takut dengan tinju pak tua ini?" ancam Pak Ghandi kepada Biro sambil mengacungkan tinjunya.

"Tidak ayah, aku tadi hanya mengetes integritas Anul. Aku tidak serius sama sekali," bantah Biro dengan wajah pucat.

"Ini, ambil bekal kalian lalu makanlah sampai kenyang. Setelah itu lanjut bekerja," ujar Pak Ghandi sembari menyodorkan keranjang anyaman yang berisi nasi dan lauk pauk yang dibungkus daun pisang.

Setelah biro mengambil keranjang anyaman itu, Pak Ghandi langsung berbalik badan dan hendak pergi meninggalkan mereka. Baru saja beberapa langkah Pak Ghandi meninggalkan mereka, Biro mulai mendekati Anul dan berbisik, "Lelaki mana yang pergi mengantarkan bekal ke ladang? Kau tahukan seberapa kuatnya ibuku sekarang?"

Langkah Pak Ghandi terhenti sejenak, wajah Biro yang sudah mulai normal langsung kembali pucat. Anul hanya tersenyum geli melihat tingkah temannya ini. Setelah Pak Ghandi kembali melangkah, barulah Biro nampak agak lega.

Terpopuler

Comments

👑Chaotic Devil Queen👑

👑Chaotic Devil Queen👑

Mak Ijah sapa woy😭

2025-10-03

1

☠🦋⃟‌⃟𝔸𝕥𝕙𝕖𝕟𝕒 ⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘ

☠🦋⃟‌⃟𝔸𝕥𝕙𝕖𝕟𝕒 ⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘ

hey bocil km blm tau yg nmanya the power of emak, mknya bs blg kek gtu, nnt klo kau udh nkh bru lah kau kicep saat istrimu mode singa 😂😂😂

2025-09-20

1

Muffin🌸

Muffin🌸

Iyaaa mangkannya semua nya jangan ada yg macem” sama perempuan 🤣 diddunia dan akhirat tetep yg menng perempuan

2025-09-21

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!