Chapter 5

Fiona hanya menatap ke luar jendela, membiarkan keheningan menyelimuti ruangan. Ia memikirkan semua intrik dan pengorbanan yang telah ia lakukan, dan dalam hati, ia merasa bahwa ini semua belum cukup. Vergil, yang menyadari kebisuan Fiona, mendesah pelan. "Apa yang mengganggu pikiranmu?" tanyanya, suaranya mengandung sedikit ketidaksabaran. Fiona tidak menjawab, tatapannya tetap kosong.

Vergil kemudian mendekatinya, "Aku tidak tahu apa yang kau pikirkan, tapi satu hal yang perlu kau ingat, aku akan menjadi pewaris tunggal kerajaan ini," ucap Vergil dengan nada mengancam, seulas senyum sinis tersungging di bibirnya. "Jika kau berfikir untuk melawanku, bersiaplah untuk mati, Fiona."

Untuk pertama kalinya, Fiona mengalihkan pandangannya dari jendela dan menatap lurus ke arah Vergil. "Aku akan membantumu," jawabnya, suaranya terdengar datar namun penuh tekad, seolah itu adalah sebuah janji yang tak bisa ditarik kembali.

Vergil terdiam sesaat, lalu berjalan menjauh dari Fiona, langkahnya tenang dan terukur. Ketika dia sampai di pintu kamarnya, dia berhenti sejenak, menghela napas. "Tunggu di sini," katanya, tanpa menoleh. "Aku akan berbicara dengan ayahku."

Di hadapan singgasana batu obsidian, Vergil mendekat dengan langkah mantap. "Ayahanda, hamba mohon izin berbicara," ujarnya dengan nada hormat yang tidak biasa, matanya menatap lurus ke arah Raja Alex yang sedang menyilangkan kakinya. Raja Alex menyeringai tipis, "Tentu, katakan saja, putraku, sepertinya kamu memiliki sesuatu yang menarik untuk dibicarakan."

Tanpa ragu, Vergil mulai merayu ayahnya dengan kata-kata yang dipilihnya secara hati-hati, "Hamba sungguh berduka atas kehilangan Pangeran Leo, namun, hamba ingin mengenangnya dengan cara yang paling berarti." Raja Alex mengangkat alisnya, seolah tidak peduli dengan kata-kata Vergil. "Hamba ingin mengambil alih kastil milik Leo, dan mengelolanya sebagai penghormatan untuknya." Raja Alex tertawa kecil. "Kamu ingin kastil Leo? Apa yang bisa aku dapatkan darimu sebagai gantinya, Vergil?"

Vergil menghela napas, "Dengan kastil Leo, hamba dapat mengendalikan lebih banyak wilayah di kerajaan dan hal itu akan meningkatkan pendapatan istana. Hamba juga dapat menjamin bahwa ketidaksetiaan tidak akan lagi mengintai di balik bayangan." Raja Alex mengangguk, seolah setuju. "Hanya itu? Bukankah itu hanya akan menguntungkanmu?" Vergil tersenyum sinis, "Hamba yakin itu akan membantu hamba lebih mudah menyingkirkan Felix, karena hamba dapat menjebaknya dengan mudah, sehingga dia tidak akan lagi menjadi masalah bagi istana." Raja Alex mendengus, "Kalau begitu, aku akan mengabulkannya." Setelah mengatakan itu, Raja Alex memberi isyarat kepada Vergil, "Pergi dan rayakan kemenangan kecilmu, Vergil." Vergil mengangguk, lalu berbalik, meninggalkan aula dengan senyum puas di wajahnya.

Setelah Vergil pergi, seorang penasihat tua, yang telah melayani keluarga kerajaan selama beberapa dekade, melangkah maju dengan wajah khawatir. "Yang Mulia," ia memulai, suaranya dipenuhi rasa tak percaya. "Anda tahu bahwa pembunuhan Pangeran Leo adalah bagian dari rencana Pangeran Vergil, namun Anda tidak peduli, Anda bahkan memberinya hadiah."

Raja Alex, yang masih duduk di singgasananya, tertawa terbahak-bahak, suara tawanya bergema di seluruh aula. "Hahahaha," dia tertawa lagi, "Itulah aku, penasihat. Jika seorang putraku mati, itu berarti dia lemah. Dan pewaris sejati tahta ini hanyalah orang yang terakhir berdiri di antara semua putraku."

Vergil, yang kini telah kembali ke kamarnya, mendekati Fiona dengan senyum penuh kemenangan di wajahnya. "Ayahku memberiku kastil Leo," katanya, sambil memegang surat yang mengumumkan transfer kepemilikan. "Ini milikmu." Fiona mengambil surat itu tanpa ekspresi, hanya mengangguk kecil. "Apa lagi yang kau inginkan?" tanya Vergil, matanya menelisik wajah Fiona, mencoba membaca apa yang ada di balik mata kosong itu. "Aku ingin berjalan-jalan," jawab Fiona, suaranya datar. Vergil menyeringai, "Baiklah, nikmati waktumu."

Setelah itu, Fiona berjalan sendirian, keluar dari gerbang istana, dan berjalan tanpa tujuan. Ia berjalan dengan hampa ke pasar yang ramai, melewati ladang-ladang yang luas, ke mana pun angin membawanya, seolah ia sedang mencari sesuatu yang hilang, sesuatu yang bahkan ia sendiri tidak tahu apa itu.

Saat kaki Fiona melangkah di atas tanah yang tak rata, pikirannya melayang kembali ke masa lalu. Ia mengingat saat ia hanyalah seorang gadis desa biasa, yang hidupnya hancur oleh perang. Orang tuanya tewas di tengah kobaran api, dan desanya hangus tak bersisa. Dalam keputusasaannya, ia bertemu dengan Felix, seorang pangeran yang cerdas dan tampan. Felix, yang terkesan dengan kecerdasan Fiona, membawanya ke istana. Ia memberinya perhatian yang tak pernah ia rasakan sebelumnya, menyayanginya, dan mengatakan bahwa ia mencintainya lebih dari apa pun. Namun, semua itu hanyalah kebohongan.

Air mata menetes di pipinya, membasahi debu yang menempel di wajahnya. "Bajingan… Bajingan kau, Felix," bisiknya, suaranya dipenuhi kebencian yang mendalam. Tanpa sadar, langkah kakinya membawanya semakin jauh, melewati batas kota, dan ia akhirnya menemukan dirinya berada di sebuah jalan setapak yang dikelilingi oleh hutan lebat, jauh dari hingar bingar istana.

Ketika Fiona kembali sadar dari lamunannya, sebuah bayangan gelap muncul di depannya. Tanpa sempat bereaksi, ia dikepung oleh sekelompok bandit yang keluar dari balik pepohonan. Mereka memiliki wajah yang kejam dan membawa senjata-senjata tajam yang mengilap di bawah sinar matahari yang redup. Salah satu bandit maju, seringai di wajahnya tampak meremehkan. "Lihat apa yang kita dapatkan di sini, seorang wanita istana yang tersesat," katanya, suaranya serak dan kasar.

Fiona membalas seringai bandit itu, matanya berkilat penuh tekad, sama sekali tanpa rasa takut. Ia tidak gentar, karena ia tahu bahwa kecerdasan dan kemampuan bertarungnya adalah senjata terkuatnya. Fiona bersiap untuk menghadapi mereka semua, ia telah terbiasa bertarung dan melarikan diri dari situasi sulit, kecerdasan dan kekuatan fisiknya telah ditempa oleh keadaan yang keras sejak ia masih kecil, dan sekarang ia akan membuktikan dirinya sekali lagi.

Tanpa basa-basi, Fiona menyerang duluan. Ia menangkis tebasan pedang bandit pertama dengan tangan kosong, lalu dengan gerakan cepat dan efisien, ia memelintir tangan bandit itu hingga pedangnya jatuh. Bandit itu meringis kesakitan, terkejut dengan kecepatan dan kekuatan Fiona. Dalam sekejap, ia merampas pedang itu dan menggunakannya sebagai senjata. Ia bergerak lincah, menghindari serangan, dan menyerang titik-titik vital dengan akurat, menjatuhkan para bandit satu per satu.

Tubuh Fiona bergerak seperti air, meliuk dan berputar, menyatukan setiap gerakannya menjadi serangan yang mematikan. Ia melucuti, mematahkan tulang, dan menghempaskan mereka ke tanah. Dalam waktu singkat, para bandit yang tadinya garang kini tergeletak tak berdaya di sekelilingnya, dan Fiona berdiri di antara mereka, terengah-engah, dengan pedang berlumuran darah di tangannya. Ia menjatuhkan pedang itu, pandangannya beralih ke hutan di seberang jalan, ia berpikir sejenak, lalu berjalan menuju ke hutan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!