Penangkapan

Gita menidurkan adiknya Gian dengan suara merdunya. Gian tak berbicara tapi dengan tatapannya Gita tau kalau adiknya sangat menyukai nyanyian Gita.

Kamar ini masih sama, hanya saja Gilang tak lagi tidur bersama mereka.

Sejak kak Gea pergi, Gita meminta Gilang pindah ke kamar kakak sulung mereka.

Menurut Gita hal itu sudah pantas, mengingat Gilang sudah beranjak remaja.

Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Matanya belum mau terpejam, telinganya masih menikmati suara hujan yang turun cukup deras.Padahal tadi sore dia merasa sangat lelah, tapi setelah berada di atas kasur matanya enggan beristirahat.

Duk... Duk... Duk...

"Gita!!! Buka pintunya!"

Seketika saja Gita langsung duduk karena terkejut mendengar suara ayahnya yang terdengar samar-samar.

Gita setengah yakin dengan karena hujan dan petir juga terdengar begitu kencang.

Memang sudah dua hari ini Gita memasang slot kunci tambahan di pintu rumahnya. Alasannya karena khawatir jika ada yang berniat jahat pada mereka.

"Gita... Gilang!! Bangun, buka pintunya!" kali ini suara itu dan gedoran pintu terdengar jelas.

Gita pun segera bangkit dan keluar dari kamarnya.

Dia mengintip dari balik gorden sebelum membukakan pintu. Mengecek benarkah itu ayahnya.

Ceklek!!!

"Ngapain pakai dikunci-kunci begitu! Bikin repot aja!" Andika, ayahnya Gita terlihat marah.

Ayahnya tak pulang dalam keadaan mabuk tapi tetap berantakan. Baju yang dipakainya pun masih baju yang sama dipakainya terakhir kali dia pergi.

"Dengar, beresin barang-barang kamu dan Gilang. Bawa yang penting saja. Kita harus pergi malam ini juga!" kata Andika dengan tergesa-gesa dan membuat Gita cukup heran dengan ucapan ayahnya yang terdengar sangat serius.

"Cepat, Gita!!! Waktu kita tak banyak!!!"

Gita tersentak lalu segera masuk ke kamar Gilang. Membangunkan adiknya dan meneruskan pesan ayahnya.

Gita pun segera kembali ke kamarnya, mengemasi bajunya dan Gian dalam sebuah tas lusuh. Buku-buku pelajaran dan berkas pentingnya dia masukkan ke dalam tas sekolahnya.

Gita sudah membereskan semuanya, dia pun membangunkan Gian dan mengganti pakaian adiknya.

"Gian jangan takut, kita mau pergi." Gita menenangkan adiknya yang takut karena suara petir.

"Kak, sudah siap?" tanya Gilang yang sudah berdiri di depan pintu kamarnya dengan sebuah ransel hitam di punggungnya.

Gita mengangguk, Gilang bertubuh besar. Lebih besar darinya, tentu lebih kuat menggendong Gian.

"Ayo buruan, sebelum ayah ngamuk lagi." katanya

"Gian biar aku gendong, kak." kata Gilang sambil ancang-ancang menggendong adiknya.

Gita pun mengambil ransel dan tas jinjingnya. Dia menatap kamar yang sudah bertahun-tahun dia tempati.

Gita tau rumah ini bukan rumah orang tuanya. Rumah ini milik tuan Rizal yang mereka tempati delapan tahun yang lalu. Saat itu ibunya mengatakan jika dia mendapatkan tunjangan fasilitas rumah dari atasannya.

Sejak Andika, ayah Gita di PHK dari perusahaan manufaktur sekitar tujuh atau delapan tahun yang lalu, Diana akhirnya melamar pekerjaan.

Gita tak tau persis waktunya, saat itu dia masih kecil. Setiap hari dia dan saudaranya mendengar keributan dan pertengkaran kedua orang tuanya.

Ibunya memilih bekerja sementara ayahnya mengurusi tiga anaknya yang masih kecil-kecil.

Tak lama setelah Diana bekerja, mereka pindah ke rumah ini. Tapi sejak itu hidup mereka semakin memburuk, ibunya jarang pulang. Ayah sering mabuk-mabukan dan berjudi. Imbasnya, kak Gea pun berontak dan terjebak pergaulan bebas.

Hingga puncaknya ketika Gian lahir. Ayahnya tak lagi mau tidur di kamarnya dan memilih tidur di atas sofa jelek ruang tamunya. Ayahnya sering emosi jika mabuk dan akan melampiaskan kemarahannya pada Gian.

Gita sudah mengerti mengapa ayahnya seperti itu. Tapi dia tak bisa berbuat apapun kecuali melindungi Gian dari amukan ayahnya kalau datang 'gilanya'.

"Jangan bawa anak itu. Tinggalkan dia!" perintah Andika saat melihat Gian dalam gendongan Gilang.

"Ayah!!" seru Gita

"Kita tak bisa meninggalkan Gian, yah. Dia juga saudara kami, yah." kata Gilang yang terdengar setengah memohon pada ayahnya.

"Tinggalkan dia. Nasibnya lebih baik dari kalian walaupun dia cacat." kata Andika tak mau dibantah.

"Kalau gitu aku nggak ikut ayah. Aku akan tetap di sini buat jaga Gian." kata Gita kekeh tak mau kalah.

"Gita!!! Kamu nggak tau siapa yang kamu hadapi. Kita harus pergi kalau mau selamat. Tapi tidak dengan dia. Biarkan dia dibawa saudaranya yang kaya raya itu! Dia itu cuma akan buat kita susah, Ngerti kamu?! "

"Ayah ngak ada waktu lagi, cepat kita harus pergi! Tanpa dia."

"Turunkan dia Gilang!!!" kata Andika sambil menarik tubuh kurus Gian agar terlepas dari gendongan Gilang.

"Nggak... Aku nggak akan ninggalin Gian." sahut Gita.

Dia memeluk tubuh Gian yang hampir jatuh karena ditarik oleh Andika.

"Gita!! Sudah kalau kamu mau tinggal ayah gak akan memaksa kamu lagi. Asal jangan kamu menyesali pilihan kamu."

"Ayo, Gilang!" Andika mengajak putranya untuk mengikutinya.

"A_aku juga tinggal, yah." kata Gilang

"Kalian ini...." Andika terlihat putus asa dan tak mampu beradu pendapat lagi.

"Tau begini ayah tak akan kembali untuk menjemput kalian." sambungnya.

Dia berbalik dan melangkah keluar menuju sebuah mobil yang terparkir di depan rumahnya. Andika melihat ke arah langit malam dimana hujan sudah mulai reda.

Kecewa....

Padahal, Andika berhasil membujuk dan meminjam mobil teman lamanya yang tinggal di luar kota. Andika pulang untuk menjemput tiga anaknya, walaupun terlambat untuk Gea tapi masih ada Gita dan Gilang.

Tapi tidak untuk Gian, anak hasil perselingkuhan istrinya dengan atasannya.

Andika baru saja hendak membuka pintu mobil ketika tangannya dicekal dan dipelintir ke belakang punggungnya.

"Anda ditahan dalam dugaan pembunuhan atas saudara Rizal dan wanita bernama Diana. Mohon tindakan kooperatif nya dan anda bisa melakukan pembelaan setelah di kantor polisi." kata seorang lelaki bertubuh besar sambil memborgol kedua tangannya.

"Apa-apaan ini? Saya tidak membunuh siapa pun!" Andika berontak membuat dirinya semakin diapit dua polisi lainnya

Gita mendengar suara teriakan ayahnya pun segera keluar rumah. Disana dia melihat ayahnya diborgol oleh tiga orang.

Ayahnya diseret masuk ke sebuah mobil.

"Ayah!!!!" seketika saja Gita berteriak memanggil ayahnya.

Gita berlari menerobos gerimis dan segera menghampiri ayahnya.

"Ayah nggak salah. Ayah tidak pernah membunuh siapapun."

"Ayah..."

"Anda bisa memanggil pengacara untuk mendampingi pembelaan Anda itu." kata seorang polisi yang terdengar arogan setengah menyindirnya.

Padahal dia tau mereka miskin, tak mungkin bisa menyewa pengacara.

"Kali ini percayalah sama ayah. Dan jangan percaya pada siapapun. Baik-baiklah kalian hidup dan jaga adikmu." kata ayahnya sesaat sebelum dia dipaksa masuk ke dalam mobil berlambang kepolisian.

Gita tak bisa membendung air matanya. Inikah sebabnya tadi ayahnya memintanya untuk segera berkemas dan pergi dari tempat ini.

"Ayah... Ayah..." Gita mengejar mobil yang kini melaju membawa ayahnya.

Hingga dia tersandung dan tersungkur di jalan. Matanya terus menatap jejak lampu mobil yang semakin lama semakin menghilang dari pandangannya.

Tiba-tiba saja Gita merasa hujan tak lagi menerpa tubuhnya.

Gita mendongak ke atas dan melihat sosok lelaki tampan memegang payung untuk melindunginya.

Lelaki tegap berambut cepak itu memperhatikan Gita yang kini sudah basah kuyup.

"Kembalilah ke rumahmu. Kamu bisa sakit jika seperti ini. Adik-adikmu juga khawatir. Mereka menangis kencang saat melihatmu berlarian seperti itu." katanya.

Gita bangun lalu berjalan meninggalkan lelaki itu tanpa mengucapkan satu katapun.

Dia mengenali lelaki itu, namanya Bara. Dia adalah tetangga sebelah rumah Sarah. Dan Bara adalah salah satu dari tiga lelaki yang mengepung ayahnya tadi.

Gita tak menyukainya, hatinya sakit melihat ayahnya diborgol.

"Pakai ini." ucap Bara menyodorkan jaketnya.

"Bajumu tembus pandang karena hujan. Di depan rumahmu masih ramai orang." kata Bara.

Mau tak mau Gita menerimanya, aroma musk langsung menguar saat jaket kulit itu membungkus tubuhnya.

Gita terus berjalan meninggalkan Bara yang masih berdiri sambil memegangi payung besar tadi. Dia tak mengucapkan apapun termasuk ucapan terima kasih. Bukan karena tak tau diri tapi dia malu. Bagian dadanya tercetak karena melekat pada kaus putih yang basah itu.

Warna hitam bra nya bahkan terlihat begitu jelas. Menunjukkan bagian dadanya yang berisi dan mengintip dibalik pelindungnya yang tak mampu menutupi semuanya.

Bara mengikuti Gita hingga gadis itu masuk ke dalam rumahnya. Dia melihat beberapa rekannya mengusir para tetangga yang terlihat penasaran dan ingin tau.

Setelah melihat Gita masuk dan menutup pintunya, Bara pun berjalan menuju sebuah mobil yang terparkir di salah sisi jalan itu.

Tok.. Tok... Tok

Bara mengetuk mobil mewah yang terlihat mencolok diantar mobil lainnya.

"Nggak langsung nyusul ke kantor? Katanya pengen denger langsung dari mulut pelaku." tanya Bara pada lelaki dingin yang lebih tua dua tahun darinya.

"Dan melewatkan tontonan mengasikan, dimana dia anak manusia main hujan-hujanan bak film romantis India." sahut lelaki itu sedingin malam ini

Bara terkekeh mendengar ucapannya.

"Aku cuma kasian sama dia. Gita temannya anak tetangga sebelah rumahku. " kata Bara

"Ternyata kamu seperhatian itu pada para tetanggamu. Sampai mengenali teman-teman mereka. Aku salut." alih-alih memuji, Bara tau jika lelaki itu mengejeknya.

"Hei... Apa maksudnya itu? Aku cuma kasihan. Catet cuma kasihan." Bara menekan kata kasihan agar lelaki yang tua dua tahun darinya itu tak salah paham.

"Aku juga cuma mengingatkan, kamu itu baru menetas jangan macam-macam dulu, ibumu bisa jantungan kalau melihatmu menatap dada seorang gadis kecil itu."

"Ck... Kau ini, kalau begitu aku pergi duluan. Aku masih harus kembali ke kantor." katanya lalu bergabung dengan rombongan temannya, masuk ke mobil dinas lainnya.

Tinggallah lelaki dingin itu sendiri. Matanya masih menatap rumah kecil dan tampak tak terurus itu dengan sorot tajam.

Dia adalah Arga Ivanov Syahrizal, putra pertama tuan Rizal Saputra. Lelaki tampan dengan wajah blasteran, diturunkan dari kakek pihak ibunya yang berasal dari Rusia.

Baru enam bulan dia kembali dari Rusia, setelah tujuh tahun menetap di sana.

Arga memutuskan tinggal di negara asal ibu kandungnya setelah bertengkar hebat dengan ayahnya.

Dua bulan yang lalu dia memutuskan kembali karena permohonan Alana, adik perempuannya.

Alana menangis meraung-raung dan mengatakan jika ayahnya akan menceraikan ibunya karena seorang wanita yang masih bersuami.

Seharusnya sejak dulu hal perceraian itu terjadi. Ayahnya dan Diana terus-terusan melakukan dosa tanpa malu.

Ternyata ayahnya cukup serius, hubungan yang dia kira hanya bertahan sesaat karena nafsu itu bisa bertahan hingga bertahun-tahun.

Diana..

Arga pernah melihat wanita itu. Ayahnya memang terlihat tergila-gila pada wanita itu.

Diana memang cantik dan itu menurun pada putri keduanya.

Tapi Gita, terlihat lebih berkelas dan terkesan mahal tak tersentuh. Gadis itu memiliki mata indah yang terlihat bening dan menghanyutkan.

Arga bahkan sempat terpesona jika saja dia tak mengingat keburukan dua orang tua gadis itu. Pemabuk dan pezina, sungguh perpaduan yang apik.

Ditambah kakak gadis itu yang begitu menjijikan dan murahan. Perempuan itu begitu mudah melucuti pakaiannya di depan lelaki, termasuk dirinya.

Arga bukanlah orang suci, usianya sudah dua puluh dua tahun dan sudah biasa bermain dengan para wanita.

Tapi Arga tak sembarang memilih perempuan. Dia pemilih dan memiliki standar untuk wanita yang menghabiskan malam dengannya.

Dan malam ini, dia melihat sosok gadis remaja yang cantik namun tak tersentuh. Gadis yang menatap sekelilingnya dengan penuh rasa was-was.

Hal itu justru membuat Arga terpacu, tubuhnya begitu ingin menyentuh gadis itu.

"Sialan, dia masih kecil. Tapi bagaimana bisa punya tubuh seperti itu. Shit!!! Dia benar-benar jal*ng!" Arga mengumpat kasar saat mengingat tubuh seksi gadis itu. Arga merasa jijik pada pikirannya yang seperti seorang pedofil.

Tapi tubuh gadis itu tak seperti anak kecil. Gadis itu begitu padat berisi pada beberapa bagian yang membuat hasrat lelaki 'on'

"Bangsat kau Bara!!" makinya lagi sambil memukul-mukul setir mobilnya.

Emosi Arga memuncak saat mengingat tatapan Bara pada gadis itu tadi. Sebagai lelaki, dia tau pikiran Bara kemana.

Dirinya juga begitu....

Arga butuh pelampiasan, seperti ini efek karena sudah lama tak berc*nta. Dengan gerakan cepat Arga menekan sebuah nomor di ponselnya.

Malam ini dia akan menemui salah satu kekasihnya dan melampiaskan semua itu di atas ranjang panas.

Arga pun segera pergi meninggalkan rumah itu. Rumah yang merupakan salah satu aset ayahnya dan kini menjadi miliknya.

Dan nanti...

Dia akan membuat perhitungan pada keluarga itu karena sudah membuat ayahnya meninggal dunia.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!