Sudah dua hari kak Gea pergi. Sejak malam itu, tak ada kabar tentang kakaknya.
Gita pun memulai keseharian lagi, membantu tante Lia.
Hari ini dia harus berangkat lebih awal karena Tante Lia mendapatkan pesanan yang banyak.
Di pertengahan jalan, Gita harus melewati warung yang cukup ramai karena ibu-ibu di gang nya yang berbelanja sayuran di sana.
Gita membuang nafas dengan kasar sebelum melanjutkan langkahnya.
"Kok nggak tau malu banget ya. Udah tau rumah punya tuan Rizal masih aja tebal muka tinggal di sana." ucap seorang ibu yang terlihat memegang seikat bayam sambil melirik Gita dengan sinis.
"Eeh... tapi satu sundalnya udah kabur malam-malam. Aku sempat ngeliat dia masuk ke dalam mobil laki-laki yang sering dibawa nginep." celetuk ibu lainnya
"Ooh.. Udah nggak kerja di kafe esek-esek itu lagi. Naik tingkat jadi gundik kali, ya?"
"Mana ada naik tingkat, maksiat begitu. Pantas tempat kita sering kena banjir, mungkin teguran dari Tuhan kalau tempat kita masih ada orang kayak mereka. Menjijikan banget satu keluarga gak ada Yeng bener."
"Kayaknya kita harus demo ke pak RT buat ngusir mereka. Dulu kan ada tuan Rizal yang jadi beking nya. Sekarang mau bergantung sama siapa lagi."
"Iya... Itu anak masih kecil bakat penggodanya udah ada kayak ibu sama kakaknya. Darah bin*lnya pasti bakalan turun ke dia juga."
Gita tak heran, dia tetap melangkah melewati warung itu. Mereka memang sengaja membicarakan dia dan keluarganya dengan suara keras.
Gita mengeratkan genggamannya pada tali tas selempang yang dipakainya.
Sudah biasa, sindiran para tetangga seperti ini adalah makanannya sehari-hari. Hinaan dan cacian sering dia dapatkan, hanya saja tak pernah terang-terangan seperti ini. Biasanya mereka akan membicarakannya diam-diam dengan pandangan menghina.
Di sekolah, Gita pun juga tak luput dari hal itu. Hanya Sarah yang mau menjadi temannya. Jangankan teman sekolah bahkan ada beberapa guru yang memandangnya sinis. Semuanya itu karena orang tua dan kakaknya.
Gita menyetopkan angkot yang mengantarnya menuju rumah Tante Lia dengan cepat . Untung saja kak Gea memberikan uang untuknya, dia bisa naik angkot dan belanja kebutuhan hidup mereka bertiga.
Tadi pagi-pagi sekali dia sudah memasak dan memandikan Gian. Setidaknya liburan ini dia agak tenang karena ada Gilang yang menemani Gian.
Jika hari biasanya, dia akan menutup pintu dan menguncinya agar Gian tak keluar kamar dan menjadi sasaran amukan ayahnya.
Angkot yang ditumpangi Gita pun berhenti di depan komplek perumahan milik Tante Lia.
Gita berjalan cepat, dia tak mau kesiangan. Banyak pekerjaan yang menantinya.
Seperti biasa Gita mengetuk dan mengucapkan salam sebelum masuk ke dalam rumah tante Lia.
Wanita itu terlihat sudah berkutat di dapur. Gita melihat ada dua orang wanita berusia tiga puluh tahunan sedang mengupas kentang dan yang satunya tengah mengupas bawang merah dan putih.
"Eeeh... Udah datang rupanya. Awal banget, Ta." kata Tante Lia
"Nggaklah tan, udah siang ini. Mana pesanan hari ini banyak banget, harus dari pagi lah ngerjainnya."
"Tante bilang kan gak apa-apa. Udah ada mbak Heni sama mbak Yeni yang ikut bantu. Lalu Gilang sama Gean gimana? Pagi-pagi siapa yang urusin mereka?"
"Udah beres Tante, hari ini Gian nggak rewel. Aku juga udah masak buat mereka." kata Gita.
Tante Lia mengangguk lalu menyerahkan bungkusan besar berisi kacang panjang dan juga wortel.
"Udah tau kan mau diapain?" tanya Tante Lia.
Gita mengangguk lalu mengambil baskom besar dan pisau serta talenan. Dua tahun ini dia sudah banyak belajar dari Tante Lia. Tanpa diperintah lagi, Gita sudah tau yang harus dia kerjakan.
Pesanan seribu nasi kotak itu harus selesai sore ini. Kata Tante Lia itu pesanan orang penting, hanya saja wanita itu tak menyebutkan siapa yang memesannya.
Gita pun tak ingin tau, baginya diijinkan bekerja saja sudah cukup. Hari ini mereka cukup sibuk. Ternyata mbak Heni dan dan mbak Yeni adalah tetangga Tante Lia.
Mereka ditawari membantu karena Tante Lia menyadari jika akan kewalahan jika hanya mengerjakan berdua saja dengan Gita.
Tangan-tangan mereka cukup gesit, seperti sudah terbiasa. Gita senang bekerja bersama mereka, karena keduanya bersikap sangat baik padanya.
"Ayah kamu belum ada kabarnya lagi, Ta?" tanya Tante Lia disela kesibukannya mengemasi lauk dalam nasi kotak itu. Sementara mbak Heni dan mbak Yani sedang menata kotak-kotak yang sudah siap itu ke ruang tamu.
"Nggak ada, Tan."
"Tumben banget ya, biasanya ayah kamu itu tetap pulang ke rumah walaupun dalam keadaan mabuk." katanya lagi.
Gita hanya diam, tak mengatakan apapun. Dia saja bingung dengan keberadaan ayahnya. Benar kata Tante Lia, ayahnya selalu pulang ke rumah seburuk apapun keadaannya.
"Semoga saja ayah kamu baik-baik saja." katanya lagi.
Gita mengangguk lalu melanjutkan kegiatannya mengisi lauk-lauk itu.
Pukul lima sore, semuanya sudah beres. Kotak-kotak itu sudah masuk ke dalam mobil carteran yang dipesan oleh Tante Lia.
Kalau biasanya Tante Lia mengantar sendiri, tapi kali ini dia tak mampu mengantarkan pesanan itu.
Tubuhnya tak cukup letih. Khawatir justru tidak akan aman jika dia menyetir dalam keadaan seperti ini.
"Tan, aku pulang dulu ya, sudah sore." pamit Gita
"Oh iya, udah sore banget rupanya. Tunggu sebentar dulu." kata Tante Lia lalu masuk ke dalam
Tak lama dia keluar lagi sambil menenteng tas yang berisi kotak plastik warna warni. Gita tau itu adalah sisa lauk yang memang disiapkan Tante Lia untuk orang yang membantunya, termasuk mbak Heni dan mbak Yeni.
"Buat kalian makan malam. Dan ini buat ongkos naik taksi. Udah kesorean jarang ada angkot. Pakai taksi aja." katanya
"Tapi, Tan.... "
"Nggak ada nolak-nolak. Kamu menolak besok-besok nggak Tante ajak kerja lagi." katanya
Gita akhirnya menyerah dan mengambil dua lembar uang seratusan itu.
"Kebanyakan ini, Tan." kata Gita tak enak hati
"Sisanya buat jajan Gilang sama Gian." sahutnya.
"iya, Tan, terima kasih banyak. Aku pulang dulu,Tan." ucap Gita terharu bercampur malu pada wanita yang baik ini.
"Hati-hati ya pulangnya." katanya lagi saat Gita menyalami nya.
Gita mengangguk lalu berjalan meninggalkan rumah milik Tante Lia. Gita melihat ke arah langit sore yang berwarna jingga, dia pun segera mempercepat langkahnya.
Gadis itu terus berjalan menyusuri jalan hingga berhenti di trotoar tempatnya menunggu angkutan. Entah itu mau taksi atau angkot mana yang duluan.
Dia ingin cepat pulang dan segera mandi. Badannya terasa sangat lengket dan terasa bau aroma bawang.
Tanpa Gita sadari ada sepasang mata sekelam malam menatapnya dengan tajam. Bahkan jika disamakan dengan pisau, tatapan itu bisa menembus tubuh seseorang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments
Susi Akbarini
siapa itu...
❤❤❤😍😙😗
2025-09-14
1