"Ssshhhh ... puff .... " Pria muda yang tengah menghiisap rokok dan menghembuskan asap nya keluar mulut membentuk huruf O.
"Ajep tenan!" Salah satu temannya asyik memasukkan tembakau ke sebuah kertas, kertas khusus untuk mereka merokok.
Di dalam sebuah ruangan yang pengap, remang malam itu, mereka ada empat orang di dalamnya.
"Hemat Anjiing! Gue cuma beli limpul! Kalian alasan nggak ada duit mulu, gue aja nyolong duit nyokap gue!" Pria yang tadi sukar di bangunkan ibunya, sekarang sudah berpesta pora dengan teman-teman, memakai obat-obatan terlarang. Ya, dia adalah Tanan.
"Lu beli sama siapa Nan?" tanya temannya.
"Sama Mas Adi. Si Alex kan baru ketahuan, di penjara sekarang. Kita harus hati-hati kalau mau beli, banyak Intel sekarang, pura-pura jadi penjual atau pembeli," sahut Tanan.
"Benar. Si Alex tertangkap kan gara-gara Bang Rahmat, teman yang di bawa Bang Rahmat rupanya Intel. Kurang ajar sekali itu Bang Rahmat, jijik gue, Anjiir!" balas teman Tanan.
Sementara teman yang ada di pojok, dia tidak bicara, dia menggigil dan menghisap sesuatu seperti dot bayi yang berukuran lebih kecil. Bahannya berbentuk tepung putih yang sedikit kasar mendekati kasarnya penyedap rasa ibu saat memasak. Ya, tepung putih itu di sebut sabu-sabu.
"Gila, si Riko udah teler tuh!" Teman yang berada di samping Tanan terkekeh melihat temannya yang sedang menikmati obat terlarang itu.
"Kalian mau coba juga enggak? Semua masalah kalian pasti selesai, dunia begitu indah, sumpah, ahahaha!" Yang di pojok tadi tertawa.
Teman Tanan yang baru saja selesai menggulung tembakau yang potongannya jauh lebih kasar dan sedikit hijau dari tembakau biasa itu mulai membakar rokok buatannya. Ya, tembakau ganja.
Asap-asap mulai menggumpal di ruangan itu, tak lama, mereka tertawa tanpa jelas. Gila? Bukan, mereka tidak gila, hanya saja berada di dalam tingkat halusinasi tinggi, dunia mereka terasa indah, mereka merasa percaya diri, mereka tersenyum, terus mengoceh, bercerita banyak hal, menceritakan angan dan mimpi sambil tertawa. Itulah sosok keindahan menurut mereka yang sudah di bawah pengaruh obat-obatan itu.
Bola mata mereka memerah dan mereka asik tertawa riang. Seolah tak ada beban. Padahal, masalah itu tetaplah ada di dunia nyata ini.
"Nan, seharusnya tadi kita beli tuak 20 ribu aja, bisa puas minum!" Temannya berkata.
"Gue udah bosan minum tuak, yang lain lah, yang berbobot!" racau Tanan.
"Masalahnya kalau beli yang lain dapat sedikit, kita nggak bisa bagi-bagi, Anjiim!" Dia menepuk pundak Tanan.
Tanan adalah pemuda yang paling tampan, gagah, tinggi dan besar dari tiga teman lainnya. "Makanya kalian usaha juga dong, jangan gue mulu!" ketus Tanan.
"Usaha gimna? Susah kawan, lu mah enak, ibu lu lemah lembut dan baik, lah nyokap bokap kita nggak kayak gitu!" sahut temannya.
"Basi, alasan kalian semua gitu aja!"
Khadijah pulang dengan badan yang sangat lelah. Dia lembur agar mendapatkan uang lebih banyak dari sebelumnya, sehingga dia pulang jam delapan malam dan sampai di rumah jam sembilan malam lebih. Saat sampai di rumah, lampu rumahnya masih padam.
"Tanan pergi ya dan belum pulang?" gumam Khadijah di depan pintu. Kemudian dia mulai membuka gembok pintu rumah.
"*Assalamu'alaikum*," kata Khadijah saat memasuki rumahnya sendiri yang tengah kosong. Wanita paruh baya itu meraba-raba untuk mencari saklar lampu. Dan akhirnya, dia menemukan saklar lampu juga.
"*Alhamdulillah*." Khadijah bersyukur. Rumah masih bersih dan rapi. Dia tersenyum saat menghidupkan lampu, karena biasanya dia hanya akan menemukan rumah berantakan.
Khadijah masuk ke dalam kamar, mengambil handuk yang tergantung di sebalik pintu, dan langsung mandi di kamar mandi yang berada di dekat dapur. Setelah mandi, saat mengambil baju, Kjadijah terdiam.
"*Astaghfirullah'alazim* .... " Air matanya mengalir. Baju yang dia rapikan kini berantakan, uang yang dia sembunyikan lima puluh ribu untuk beli makanan besok juga sudah hilang.
"Ya Allah. Ampunilah hamba yang berdosa ini karena telah gagal mendidik anak hamba .... " Dia mengambil baju daster dan memakainya, kemudian merapikan pakaian kembali.
Setelah rapi di lemari, Khadijah juga merapikan kamarnya, kemudian merapikan kamar putranya yang berantakan. Dia melihat ke dinding, jam sudah menunjukkan jam 12 malam, tetapi putranya juga tak pulang. Seperti biasa, Tanan sering pulang dini hari.
Khadijah berwudhu, untuk menenangkan hatinya, menjernihkan pikiran yang kalut, dan perasaan yang bercampur aduk. Setelah berwudhu dia mengaji dan salat untuk mengadukan nasibnya, memohon ampun dan berdo'a agar anaknya berubah kepada jalan kebaikan.
Dalam sujudnya, dia tak berharap anaknya akan menjadi alim ulama, tetapi cukup bertaqwa kepada Allah saja. Menghentikan semua perilaku tercelanya, menjadi pribadi yang baik.
*Tit! Tit! Tit*! Detak jam terus berbunyi, sekarang sudah jam dua dini hari. Wanita itu sudah berdo'a dan berbaring di ranjang. Upah sehari tadi mengupas bawah seratus ribu rupiah, itu uang yang sangat besar baginya. Dia bisa membelanjakan untuk keperluan penting, ditabung dan bersedekah, karena uang lima puluh ribu itu bisa membeli bahan masakan untuk dua hari makan. Sayangnya, uang itu pun juga sudah tidak ada.
Kini, Khadijah berpikir, dimana dia akan menyimpan uang seratus ribu ini? Dia penting untuk menyimpan uang, bagaimana jika nanti sakit?
"Ya Allah, buka kan lah pintu hati anak hamba .... " Begitulah do'a sebelum tidur yang masih di gumam Khadijah, sebelum dirinya terlelap.
"*Allahuakbar*! *Allahuakbar*!" Terdengar azan subuh berkumandang keras dari masjid yang lumayan berjarak dari rumah Khadijah.
Khadijah terbangun. Pertama kali yang dia lihat adalah kamar putranya, tak ada siapa-siapa di dalam kamar itu. Hanya ada ruangan kosong.
"Ya Allah, dia belum pulang. Tanan, kamu dimana Nak, kamu baik-baik saja 'kan? Ya Allah, tolong jaga dan lindungi putra hamba, Ya Allah .... " Do'a Khadijah di waktu subuh itu, kemudian dia langsung berwudhu dan salat subuh.
Selesai salat, dia memasak seadanya, masih ada sisa sayuran buncis, kentang, dan terong, ikan asin kemarin, sehingga Khadijah menggoreng kentang, terong, dan ikan asin, lalu sayur buncis.
Setelah itu masak, dia kembali ke kamar, memeriksa pakaian kotor putranya, mandi dan mencuci. Sekarang sudah jam enam pagi, semua pekerjaan sudah selesai, namun putranya belum juga pulang. Khadijah semakin cemas. Biasanya Tanan paling lama pulang setelah orang-orang dari masjid keluar.
Khadijah bahkan sudah menyiram tanaman sayuran dan bunga bunga yang dia tanam di pot-pot di depan rumah, mencabut rumput, bahkan menjahit baju yang sobek. Sudah jam delapan pagi, Tanan juga belum pulang.
"Ya Allah, apakah putraku baik-baik saja? Aku harus mendatangi rumah temannya!" gumamnya.
Akhirnya, Khadijah pun mengganti baju dan memasang *tikuluk* untuk menutupi kepalanya, dia berangkat ke rumah teman Tanan, berharap putranya ada di sana dan tidak terjadi apa-apa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments