Kehidupan Khadijah Setelah Janda

Wanita yang dikenal dengan nama Mira itu pun tinggal di rumah Ijah, sampai perutnya besar, kira-kira delapan bulan usia kandungannya.

Selama ini Ijah mendapatkan uang dari usaha kecil-kecilan suaminya sebelum meninggal, suaminya membeli kios kecil dua buah, dulu satu dia sewakan, satu lagi di pakai untuk jualan, dikarenakan selama ini Ijah sering di rumah dan tidak tahu menahu, sehingga usaha itu berhenti, dan kedua kios itu di sewakan.

Dalam kurun waktu itu, kedua janda hanya bisa berhemat, Mira dan Ijah sama-sama tidak bekerja. Hingga suatu hari, Mira berkenalan dengan seorang pria yang sudah berumur 37 tahun dan sangat ingin menikah.

"Kau yakin Mira, jangan-jangan dia adalah penipu, zaman sekarang banyak modus penipuan, takutnya mereka penjual organ, kan marak yang bunuh teman kencannya gitu!" Ijah alias Khadijah berkomentar.

"Iya sih, tetapi aku percaya dia baik Kak. Soalnya, dia udah kebelet banget nikah dan berani bawa ibunya datang kemari." Mira bercerita.

"Kalau kamu yakin, mau gimana lagi. Aku hanya berharap kebaikan dan kebahagiaan untuk kamu saja." Khadijah tersenyum.

"Oh ya, mm, maaf ... sebenarnya kenapa dia belum nikah-nikah? Dia nggak punya gangguan mental kan? Sampai gak laku? Masa ada pria berumur 37 tahun belum menikah!" Khadijah berpikir dan menatap Mira.

Mira tersenyum. "Sebenarnya, dulu dia nikah muda dengan kekasihnya, waktu itu umur mereka berdua 21 tahun katanya, kemudian sampai berumur 30 tahun, mereka nggak punya anak, terus setelah diperiksa, si cowok ini anunya kurang baik," bisik Mira.

"Hah? itunya lemes?" Mata Khadijah membulat.

"Bukan, itunya katanya normal, tapi gak membuahi gitu, mungkin encer atau gimana lah. Jadi, katanya, setelah aku melahirkan dan masa Iddah, dia mau melamar aku, karena aku ada anak dan janda karena suami meninggal," terang Mira. "intinya aku ada anak, pasti nggak akan ninggalin dia, dia butuh pendamping."

"Oh, begitu!" Ijah mengangguk.

Dan akhirnya, seperti yang di katakan oleh Mira. Pria itu sangat tampan dan berkelas, dia datang melamar Mira bersama ibunya.

"Begini Kak, jika kami menikah nanti, saya akan membawa Mira ke rumah saya dan tinggal bertiga bersama ibu saya, saya anak satu-satunya, ibu saya sudah tua, ayah saya sudah meninggal," kata pria itu.

"Oh, iya tidak apa-apa. Aku hanya berharap, jangan membuat Mira bersedih, dan tolong sayangi dia dan anaknya," jawab Khadijah.

Ya, Mira yatim piatu, dan rupanya lagi, mereka menikah lari, bisa dibilang pihak keluarga mantan suaminya dulu tak suka dia, jadi tak ada orang yang perlu tahu, dan hanya Khadijah lah sebagai keluarganya sekarang.

Mereka melamar Mira saat hamil besar dan bermufakat dengan rencana pernikahan, setelah melahirkan dan melewati masa Iddah, Mira langsung dinikahi dan wanita itu di bawa ke luar kota.

"Mira, baik-baik di sana ya. Jangan lupa beri kabar ya," kata Khadijah.

"Iya Kak." Mereka berdua saling peluk. Mira mencium Tanan dan Ijah menciumi anak Mira yang masih bayi merah.

Khadijah dan Tanan melambaikan tangan pada Mira yang telah pergi.

"Ma, Tante Mira datang lagi kan nanti?" tanya Tanan dengan cadelnya, anak itu sekarang hampir berumur tiga tahun. Dia sudah mulai akrab dengan Mira, semenjak Mira tinggal di sini.

Kini, tinggallah Ijah dan Tanan berdua. Menatap dengan sedih kepergian Mira dan bayi mungilnya.

***20 Tahun kemudian***.

"Uhuk! Uhuk! Tanan, bangun Nak, sudah jam sebelas, ayo bangun Nak!" Khadijah membangunkan putra satu-satunya yang dia besarkan penuh kasih sayang dan cinta. Selama 20 tahun ini, dia tidak pernah menikah, dia terlalu cinta pada suaminya, hingga sukar hatinya terbuka kembali, dia membesarkan Tanan dengan susah payah, melakukan pekerjaan apapun demi Tanan.

"Ck! Gue ngantuk Bu, nggak usah bangunin! Kalo gue mau bangun, ya bangun sendiri! Bawel banget jadi orang, sana ah!" Tanan mengibaskan tangan Ijah yang menyentuh bahunya lembut.

Hingga wanita yang sudah tidak muda itu lagi terdorong ke belakang dua langkah.

"Ya sudah, kalau begitu, ibu letakkan nasinya di tudung saji ya, ibu mau ke rumah Ibu Ratna, mau bantu dia kupas kulit bawang." Ijah kembali mendekat dan membelai rambut Tanan.

"Ah, jangan sentuh! Gue mau tidur, ganggu aja! Ck!" Tanan kembali berdecak lidah.

Ijah hanya mengurut dada, lalu mundur dari kamar putranya. Rumah besar yang dibelikan suaminya sudah terjual, tak ada lagi harta benda yang berharga, semua perhiasan terjual. Kini, mereka hanya tinggal di pinggir kota Jakarta, dekat pemukiman kumuh nan miskin.

Dengan langkah yang tak sekuat dulu, Ijah berjalan cukup jauh untuk menuju rumah Bu Ratna, juragan bawang. Mungkin hampir satu jam lebih Ijah berjalan, barulah dia sampai ke sana.

"*Assalamu'alaikum*," salam Ijah saat baru sampai.

"*Wa'alaikumsalam*. Iya, Bu Ijah, silahkan masuk dan bergabung dengan yang lainnya," jawab Ratna. Wanita ini ramah jika sedang mood, tapi saat tertimpa masalah dia galaknya minta ampun dan suka cemberut pada semua orang.

Sehingga semua orang tahu jika dia sedang ada masalah.

Ijah bergabung dengan tiga orang ibu-ibu lainnya, mereka bertiga juga tak kalah susah dari Ijah, suami Ratna memang sengaja memberikan pekerjaan kepada mereka, melihat usia mereka yang sudah tidak muda lagi dan ini bisa membantu perekonomian mereka.

Suami Ratna yang bernama Gunawan itu terkenal sangat baik dan dermawan.

"*Assalamu'alaikum*," sapa Ijah.

"*Wa'alaikumsalam*," sahut mereka.

"Ayo, mari!" ajak yang lainnya pada Ijah.

Mereka mempunyai goni atau karung masing-masing, setiap satu karung penuh mereka akan mendapatkan upah yang lumayan, setidaknya dapat untuk biaya makan dan bisa lebih untuk di tabung.

"Eh, kalian dengar tidak, ada beberapa anak yang tertangkap sedang memakai narkoba di dekat rumah Pak Anto, dan lebih parahnya anak Pak Anto Si Ivan kan polisi ya, dia malah yang jadi pengedar, dasar!" Salah satu ibu-ibu itu mulai bicara.

"*Astaghfirullah*. Eh, beneran Juminten? Kalau kau asal ngomong jatuhnya fitnah loh!" Sariana berkomentar.

"Fitnah apanya, pangkat dia udah di copot. Malu-maluin aja!" Juminten berkata.

"Kasihan polisi jadinya, satu polisi yang berbuat, polisi lain yang kena getahnya di masyarakat, apalagi sekarang banyak kasus polisi yang tidak sesuai dengan pekerjaannya yang memberi keamanan pada masyarakat, malah banyak bikin rusuh!" Tiba-tiba saja Ratna ikut bergabung gibah.

"Iya Bu. Kasihan kita sama polisi yang baik," jawab Sariana.

"Terus gimana kabarnya anak yang tertangkap itu, ada diantara mereka yang kerjaannya ngedar juga? Atau cuma pemakai narkoba biasa?" tanya Ratna yang juga ikut penasaran.

"Yang mirisnya, ada tiga orang anak di bawah umur, masih kelas lima dan enam sekolah dasar."

"*Astaghfirullah'alazim*!" Mereka semua berucap.

"Satu diantara tujuh orang anak itu pemakai aktiv dan pengedar. Dan dua anak sekolah dasar itu belum pemakai aktiv dan butuh rehabilitasi. Yang lainnya juga di rehabilitasi, namun dua orang juga dimasukkan ke penjara, begitu yang aku dengar!" lanjut Juminten.

Sementara Ijah hanya diam dan berdo'a dalam hatinya, agar putra satu-satunya terjaga, dan segera berubah ke jalan yang baik.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!