Pamit pada Moonveil

Sisa daging rusa masih mengepulkan aroma saat Kepala Prajurit bangkit berdiri. Cahaya api unggun menyorot wajahnya yang penuh keraguan.

Ia menunduk hormat. “Putri Anastasia… izinkan hamba menyampaikan titah langsung dari Yang Mulia Raja Roland. Beliau memerintahkan hamba dan pasukan ini untuk menjemput Anda pulang ke Kerajaan Sylvaria hari ini juga.”

Lucia sontak terperanjat, sendok kayu di tangannya hampir terlepas. Matanya melebar, menatap sang putri dengan cemas.

Namun Anastasia tetap duduk tegak. Auranya seperti gunung yang tak tergoyahkan. Dengan tenang ia meletakkan potongan daging yang baru saja dipanggang, lalu menatap lurus pada sang kepala prajurit.

“Tidak perlu dijemput atau dikawal. Aku akan datang sendiri ke istana. Sampaikan itu pada Raja Roland. Aku Putri Anastasia, tidak akan pernah ingkar janji.”

Keheningan panjang menyelimuti pondok. Para prajurit saling pandang, bingung. Mereka tahu betul, menyampaikan hal ini ke istana berarti mempertaruhkan nyawa, sebab menolak titah raja adalah dosa besar. Namun tatapan Anastasia membuat keraguan mereka luruh.

Kepala Prajurit menundukkan kepala dalam-dalam. “Baiklah, Putri. Jika itu titah Anda… kami akan menyampaikannya kepada Yang Mulia Raja Roland.”

Lucia menutup mulutnya dengan tangan, terkejut sekaligus tidak percaya. Ia menatap Anastasia seolah ingin memprotes.

Para prajurit berunding singkat, suara mereka rendah namun jelas penuh rasa hormat. “Dia adalah putri yang sah, calon Ratu Kerajaan Sylvaria di masa depan.” bisik salah seorang.

Akhirnya mereka semua mengangguk serempak lalu berlutut. “Kami akan menanggung risikonya di istana. Kami mohon diri, Putri.”

Dengan langkah berat namun penuh hormat, para prajurit itu meninggalkan pondok.

Lucia baru berani bersuara setelah mereka benar-benar pergi. Ia menoleh, wajahnya masih diliputi kebingungan dan kegelisahan. “Putri… mengapa anda langsung menyetujui untuk kembali ke istana? Yang Mulia Raja Roland baru melakukan ini setelah sepuluh tahun? Ini… mustahil. Ada yang tidak beres di sini.”

Anastasia menatap api unggun, sinarnya menari di bola mata yang penuh keyakinan. Rambut panjangnya tergerai, menambah wibawa yang tak tergoyahkan. Ia tidak segera menjawab, hanya menarik napas panjang seolah membaca rahasia yang terselip di balik kabut masa lalu.

“Lucia,” ucapnya perlahan, “apa pun alasannya… kebenaran akan segera menampakkan dirinya. Dan ketika saat itu tiba, aku harus siap menghadapinya.”

Lucia menggenggam erat tangannya, suaranya bergetar.

“Namun hamba takut, Putri… hamba takut ini adalah jebakan.”

Anastasia menoleh, menatap Lucia dengan ketegasan sekaligus kelembutan.

“Jebakan atau tidak…” suara Putri Anastasia dalam dan dingin, “ini adalah momen yang telah kutunggu sepanjang hidupku, Lucia. Saatnya aku mencari tahu… mengapa Ibunda harus mati begitu misterius.”

Mata Lucia berkaca-kaca. “Putri…” bisiknya getir.

Anastasia menggenggam tangan Lucia dengan kuat, tatapannya menyiratkan kasih.

“Bersiaplah, Lucia. Perjalanan kita menuju istana bukan sekadar pulang. Ini adalah jalan menuju kebenaran… dan mungkin, jalan menuju kehancuran mereka yang telah merampas segalanya dariku.”

Malam itu, hutan tak lagi terasa damai. Angin meniup dedaunan bagai bisikan rahasia, seolah menyambut tekad seorang putri yang akhirnya siap kembali menantang istana yang membuangnya ke hutan.

Udara di Moonveil pagi ini begitu sejuk, seolah tahu bahwa hari ini adalah hari terakhir Putri Anastasia menghirup aroma embun di tanah yang telah membesarkannya. Dari pondok kecil mereka, kabut tipis masih bergelayut di antara pepohonan pinus yang menjulang, burung-burung berkicau seperti hendak mengiringi langkahnya.

“Lucia,” panggil Putri Anastasia, “hari ini panenlah semua tanaman dan obat-obatan yang telah kita rawat selama ini. Bawalah sebagai bekal kita pergi ke istana namun jangan lupa sisakan sedikit, untuk pertinggal… agar Moonveil tetap bernapas meski kita pergi.”

Lucia mengangguk dalam diam, menahan rasa haru. Ia tahu betapa dalamnya ikatan sang Putri dengan hutan ini.

Anastasia kemudian melangkah ke sungai jernih yang selalu menjadi tempat pelariannya. Ia berlari di sepanjang tepiannya, rambut panjangnya berkibar diterpa angin. Sesekali ia melompat ke dalam air, membiarkan dingin sungai membasuh tubuhnya. Ia menyelam, menatap ikan-ikan kecil yang berenang bebas.

Ia menengadahkan wajah, membiarkan cahaya matahari pagi menembus ranting, seolah ingin menghafal setiap detail hutan yang telah menjadi rumah sekaligus bentengnya. Ia menyentuh batang pohon tua yang dulu ia panjat saat kecil, mengelus bebatuan sungai tempat ia duduk merenung, dan berbisik lirih,

“Moonveil… terima kasih telah membesarkanku. Aku berhutang pada tiap daun, tiap aliran air, tiap napas yang kau berikan. Aku akan kembali… jika takdir mengizinkan.”

Langkahnya kemudian membawanya ke tengah rimbun hutan.

Tunggu… apa itu?

Suara lirih erangan tertahan menghentikan langkahnya. Ia berubah arah menjadi ke kanan, mendekat ke sumber suara. Di balik Semak-semak, seorang pria berzirah tergeletak dengan wajah pucat. Darah merembes dari lengannya, matanya setengah terbuka, menatap kedatangan Putri Anastasia samar diantara dedaunan.

Ia memeriksa lukanya. “Ini tusukan pedang. Bertahanlah…” ucapnya cepat, lalu merobek ujung gaunnya. Tangannya cekatan membersihkan lukanya dengan ramuan yang ia bawa lalu membalutnya dengan potongan kain itu. Ia memberi tekanan kuat untuk menghentikan aliran darah.

Pria itu berkata dengan terbata, “Siapa… engkau…?”

Anastasia menunduk, menatapnya sebentar dengan sorot matanya yang dingin.

“Seseorang yang tak akan membiarkan orang lain mati di hutan ini,” jawabnya singkat.

Putri Anastasia menoleh ke arah utara, derap kaki kuda terdengar semakin dekat. Banyak, berat dan tergesa.

Anastasia bergegas bangkit. Dengan langkah gesit ia mundur, menyelinap ke balik batang pohon besar. Beberapa pengawal dengan lambang kerajaan asing datang menghampiri. Mereka segera berlutut, membantu sang pria berjirah berdiri. Dari cara mereka memperlakukannya, jelas bahwa pria itu bukan orang biasa.

Anastasia mengamati dengan penuh waspada, lalu memutuskan mundur dalam diam. Ia berbalik, melangkah cepat di antara pepohonan, meninggalkan adegan itu tanpa jejak.

Dalam hati ia berbisik, “Siapapun engkau, semoga takdir kita tidak saling mengikat.”

Namun jauh di lubuk hatinya, ia tahu pertemuan singkat itu hanyalah awal dari sesuatu yang lebih besar.

Malam itu, pondok kecil di tengah Hutan Moonveil dipenuhi cahaya api unggun yang temaram. Dinding-dinding kayu yang sederhana, berlapis anyaman daun kering, memantulkan bayangan obor. Meja kayu tempat mereka biasa makan terletak di sudut, sementara rak-rak penuh botol ramuan, tanaman kering, dan kantong kulit berisi biji-bijian menempel di sisi lainnya. Aroma dedaunan kering dan asap kayu menggantung di udara, mengingatkan pada sepuluh tahun kebersamaan mereka di tempat itu.

Putri Anastasia mengangkat wajah, menatap Lucia dengan tenang.

“Lucia, kau sudah melakukan lebih dari cukup. Kau menemaniku saat dunia membuangku. Kau mengajariku bertahan, memberiku kasih sayang ketika ayahku mengasingkan diriku. Aku tidak akan memaksamu ikut… jika ingin tinggal, tinggallah. Istana bukan tempat yang aman kau tahu itu.”

Lucia segera menggeleng, berdiri lalu berlutut di hadapan Putri dengan penuh hormat.

“Putri Anastasia… izinkan hamba mengucapkan janji. Selama darah masih mengalir di tubuh hamba, selama napas ini masih ada… hamba akan melayani dan melindungi Yang Mulia, ke mana pun takdir membawa kita. Hamba akan menjadi tanganmu, telingamu, dan hatimu. Biarpun dunia menolakmu lagi… hamba tidak akan pernah meninggalkan Putri.”

Anastasia  menunduk, menyentuh bahunya. “Bangkitlah, Lucia. Kau bukan hanya pelayanku, kau adalah saudariku… keluargaku.”

Lucia menahan tangisnya, lalu berdiri. Keduanya kemudian duduk berdampingan, menikmati keheningan pondok untuk terakhir kalinya. Anastasia memejamkan mata, mendengarkan suara jangkrik, gemerisik dedaunan, dan hembusan angin yang akan ia tinggalkan besok.

“Besok, Moonveil akan kehilangan penghuninya,” bisik Anastasia. “Tapi aku akan kembali… entah kapan.”

Lucia menatap Putri dengan keyakinan bulat. “Dan saat itu tiba, hamba akan tetap di sisi Putri.”

Terpopuler

Comments

Ratih Tupperware Denpasar

Ratih Tupperware Denpasar

semangat lucia jaga terus putri anastasia

2025-09-14

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!