Pagi merekah dengan sinar matahari yang menembus dedaunan raksasa. Embun menitik dari ujung daun, membasahi tanah dan rerumputan. Putri Anastasia melangkah tanpa alas kaki di atas rerumputan basah, gaunnya tidak mewah namun menyatu dengan alam tanpa upaya. Senyum samar menghiasi wajah dinginnya, senyum yang jarang muncul saat ia bersama manusia.
Seekor kelinci melintas, dan alih-alih lari binatang kecil itu berhenti, menatapnya dengan mata bulat polos. Putri Anastasia berjongkok, mengulurkan tangan perlahan. Kelincinya meloncat mendekat, seakan hutan mengenali siapa tuannya.
“Lucia selalu takut aku tersesat,” bisiknya lirih, seolah berbicara pada si kelinci. “Tapi hutan ini adalah rumahku. Bagaimana mungkin seseorang tersesat di rumahnya sendiri?”
Tak jauh dari sana, Lucia menunggu dengan cemas dengan keranjang berisi ramuan di tangan kanannya. Ketika melihat sang putri berendam di sungai yang dingin, Lucia menepuk dahinya sendiri.
“Putri Anastasia! Air itu bisa menyeret siapa saja. Mengapa tidak puas hanya duduk di tepiannya?”
Putri Anastasia muncul dari air, rambut hitamnya basah dan melekat di pipinya. Matanya memantulkan kilauan sungai yang begitu jernih dan indah. “Aku bukan orang lain, Lucia. Sungai ini sudah mengenalku sejak kecil. Ia tidak akan berani menelanku.”
Sepanjang hari, Putri Anastasia memanjat pohon oak yang tinggi untuk mengintip sarang burung elang, berlari mengikuti jejak rusa hingga napasnya memburu, atau sekadar berbaring di padang rumput sambil menatap awan. Hutan dan penghuninya bukan lagi ancaman baginya, mereka adalah keluarga yang tak pernah mengkhianati tuannya.
Namun bagi Lucia, setiap langkah sang putri di hutan adalah sumber kecemasan baru. Ia tahu betapa kerasnya dunia luar, betapa mudahnya seorang bangsawan muda hilang dalam gelapnya rencana istana. Tapi melihat tatapan dingin nan bebas dari Putri Anastasia, Lucia selalu dibuat tersadar. Hutan tidak sedang menelan putri itu. Hutan hanya sedang menempanya.
Putri Anastasia menyingkap ranting, menyentuh batang pohon besar dengan jemari halus seakan bertegur sapa dengan sahabat lama. Senyum samar menghiasi wajahnya, dingin tapi hangat bagi alam yang memeluknya. Seekor rusa muda melintas tak jauh darinya. Bukannya kabur, hewan itu berhenti, menatap sang putri dengan mata yang penuh rasa ingin tahu. Anastasia hanya berdiri diam, membiarkan jarak di antara mereka terjaga. Bagi hutan ia bukan ancaman, ia adalah bagian darinya.
Di tepi sungai jernih, ia melepaskan alas kakinya dan mencelupkan kaki ke air yang sejuk. Gelombang kecil berlarian menyentuh kulitnya. Rambut hitam panjangnya jatuh bebas, sebagian basah ketika ia menunduk meminum langsung dari sungai.
“Air di sini lebih jujur daripada anggur di istana,” ucapnya seolah sedang berbicara pada dirinya sendiri.
Lucia yang sejak tadi mengikutinya berdiri di tepian. Sekuat apa pun ia berlatih, Lucia selalu kalah dalam mengimbangi langkah sang putri. “Putri Anastasia,” ucapnya dengan nada khawatir, “jika Ratu masih ada, beliau pasti tidak akan membiarkan putrinya bermain terlalu lama di sungai.”
Anastasia menoleh dengan senyum tipis. “Kalau Ibunda masih ada, beliau pasti ingin aku bahagia. Dan di sinilah kebahagiaanku, Lucia.”
Sepanjang hari, Anastasia mengisi waktunya dengan berburu, memetik buah hutan, atau sekadar berbaring di padang ilalang sambil menatap langit biru. Awan-awan berarak pelan, membentuk bayangan di atas wajahnya yang cantik dan tegas. Bagi orang lain, hutan mungkin penuh bahaya. Tapi bagi sang putri, hutan adalah rumah yang tidak pernah mengkhianati. Suara burung adalah musiknya, air sungai adalah cermin kehidupannya, dan hewan-hewan liar adalah teman setianya.
Langit gelap menggantung rendah di atas hutan. Angin meraung, menumbangkan ranting-ranting, membawa aroma tanah basah yang kian tajam. Tak lama, hujan turun deras, menusuk tubuh seperti ribuan jarum dingin.
Putri Anastasia berdiri tegak di halaman pondok kayu. Wajahnya menghadap sumber hujan, menikmati bagaimana tetes demi tetes membasahi bajunya hingga kuyup. Di tangannya, sebatang kayu panjang masih digenggam kuat.
“Putri! Masuklah! Kita bisa berlatih besok…” teriak Lucia dari ambang pintu, tubuhnya gemetar oleh dingin.
Anastasia menoleh sekilas. “Tidak ada besok Lucia, dunia tidak menunggu. Jika badai datang, kita hadapi sekarang. Bukan lari darinya.”
Lucia menelan ludah lalu keluar dengan langkah ragu, hujan segera membasahi gaunnya. Sang putri menyerahkan kayu latihan, dan keduanya kembali berhadapan di tengah tanah yang berlumpur. Petir menyambar jauh di kejauhan menggetarkan seluruh isi bumi.
“Pegang erat!” suara Putri Anastasia mengalahkan derasnya hujan. “Jika kau bisa bertahan di sini, kau bisa bertahan di mana pun.”
Mereka berlatih dalam derasnya hujan. Kayu menghantam, kaki terperosok lumpur, tubuh jatuh berulang kali. Setiap kali Lucia jatuh, Anastasia mengulurkan tangan dengan cepat, menariknya bangkit, lalu mendorongnya untuk kembali bersiap.
Ketika hujan reda dan matahari sore muncul, tubuh keduanya dipenuhi lumpur, tangan mereka lecet, tapi semangat tak padam. Anastasia berdiri menatap langit yang kembali cerah.
“Hujan, badai, bahkan kemarau panjang semua itu adalah sahabatku, Lucia. Mereka mengajarkanku bahwa alam tidak pernah kasihan. Alam hanya menguji dan kita harus lulus dari setiap ujiannya.”
Lucia terengah-engah, tapi ia tersenyum meski wajahnya penuh lumpur. “Saya mengerti, Putri. Jika alam pun bisa menjadi sahabatmu, maka tidak ada musuh yang tak bisa kau hadapi.”
Kerajaan Sylvaria memasuki musim kemarau. Namun tahun ini berbeda dari tahun sebelumnya. Jika sebelumnya hanya dua bulan maka tahun ini setelah tiga bulan matahari masih membakar hutan tanpa ampun. Langit biru pucat tanpa awan, seolah menolak menurunkan setetes hujan pun. Sungai yang dulu jernih dan mengalir deras kini hanya menyisakan aliran kecil, mengering di beberapa bagian hingga dasar berbatu terlihat. Burung-burung terbang jauh mencari sumber air lain dan tanah mulai retak.
Lucia duduk di teras pondok kayu, mengibas wajahnya dengan sehelai kain lusuh. “Putri… kita tidak bisa terus begini. Persediaan air hampir habis, sungai sudah tak lagi memberi.” Suaranya penuh kecemasan.
Putri Anastasia berdiri tegap di dekat pepohonan, tubuhnya tetap terlihat kuat meski peluh mengalir di pelipisnya. “Air ada di sini, Lucia. Alam selalu menyembunyikan jawabannya bagi mereka yang mau mencarinya.”
Ia mengambil belati kecil, lalu berjalan menyusuri hutan. Lucia mengikuti dari belakang meski langkahnya berat. Putri Anastasia berhenti di dekat rumpun bambu liar yang tumbuh rimbun di tanah yang masih agak lembap. Ia menepuk batang bambu dengan punggung tangannya, mendengar gema samar di dalamnya.
“Dengarkan baik-baik,” katanya. “Bambu menyimpan air di rongganya. Kau hanya perlu tahu batang mana yang matang.”
Dengan satu tebasan, ia menebas bambu muda. Air jernih segera mengalir keluar dari potongan batangnya, menetes seperti hadiah dari bumi. Anastasia menadahnya dengan telapak tangan, lalu menyerahkan kepada Lucia.
Lucia meneguk perlahan, matanya membesar. “Segar… dingin… seperti dari sungai.”
Anastasia hanya mengangguk tipis. “Sungai boleh mengering, tapi hutan tidak pernah benar-benar mati.”
Mereka melanjutkan pencarian. Putri Anastasia menempelkan telinga ke tanah, mencari titik di mana suara aliran samar masih terdengar di bawah permukaan. Dengan belati miliknya ia menggali tanah berpasir di antara akar pohon besar, hingga akhirnya genangan kecil muncul seolah bumi menyerahkan rahasianya.
“Air selalu bersembunyi di tempat rendah, dekat akar yang dalam,” jelasnya, suaranya tenang. “Yang kau butuhkan hanya kesabaran, dan keyakinan bahwa alam selalu menyisakan jalan.”
Lucia memandang sang putri dengan campuran kagum dan haru. Baginya, Anastasia bukan hanya seorang putri yang terbuang. Ia adalah perempuan yang ditempa kerasnya alam, sekaligus mampu memahami rahasia penting yang tersimpan di dalamnya.
Meski hutan dilanda kemarau panjang, pondok kayu mereka kembali dipenuhi suara air menetes dari bambu dan genangan kecil yang berhasil mereka kumpulkan. Dan di balik semua itu, Putri Anastasia berdiri sebagai bukti bahwa ia tidak hanya bertahan hidup tapi ia menaklukkan alam dengan kecerdasan dan instingnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments