Skill Khusus

Viona melangkah mendekati pria dengan kaos putih dan outer biru dongker, memiliki gaya yang selalu memikat perhatian. Kombinasi celana hitam dan sepatu putihnya menjadikannya tampak sangat keren.

“Hai,” sapa Zayn, melambaikan tangan dengan penuh semangat.

“Ngapain ke sini?” tanya Viona to the point, tidak berniat berbasa-basi.

“Ck!” Zayn berdecak kesal, matanya sedikit melenceng karena kesan sinis yang tersirat. “Ayo, aku antar kamu kerja,” tawarnya, mencoba untuk mengalihkan suasana.

Viona melirik jam di pergelangan tangannya. Masih ada 30 menit sebelum pekerjaannya sebagai waiter dimulai. “Belum waktunya,” ucapnya menolak.

“Aku tahu, kita ke kontrakanmu. Kamu butuh menyegarkan tubuhmu dulu, kan?” Zayn berkata dengan nada meyakinkan.

Viona merasa senang ada yang memahami kebutuhannya, dia mengangguk dengan senyum cerah, rindu akan kenyamanan rumah kontrakan yang sederhana. “Tunggu!” ucapnya, lalu langsung berlari masuk ke dalam restoran untuk mengambil tasnya.

Beberapa menit kemudian, Viona keluar dengan tas menggantung di punggungnya.

Zayn telah menunggu di atas motor dengan helm hitam di kepalanya, dia langsung menyerahkan helm putih pada Viona. “Pakai ini,” ucapnya dengan penuh perhatian.

“Okay,” sahut Viona sambil tersenyum, langsung memakainya dan tanpa pikir panjang, dia duduk di belakang Zayn.

Ada perasaan nyaman setiap kali berdekatan dengan Zayn, seolah segala beban di hati dan kepalanya menghilang saat bersama sang sahabat.

Dengan tenang, Zayn melajukan motornya menuju kontrakan Viona yang tidak jauh dari tempat kerjanya. Suara mesin motor mengalun seirama dengan obrolan ringan yang mengalir di antara mereka.

Di sepanjang perjalanan, mereka berbincang tentang kuliah dan mimpi-mimpi yang masih ingin dicapai. Viona, yang memiliki senyuman menawan, tak bisa menahan tawa saat Zayn melemparkan guyonan-guyonan seputar kehidupan sehari-hari.

Sesampainya di kontrakan, mereka menyapa beberapa warga yang duduk berkumpul di sebelah rumah petak itu. Zayn dan Viona terlihat akrab, seolah mereka telah menjalin persahabatan yang kuat meski tak jarang api persaingan akademik pun muncul di antara mereka.

Mereka membiarkan pintu terbuka agar tidak menimbulkan desas-desus dari warga, meski semua orang sekitar tahu bahwa Zayn adalah keluarga jauh Viona.

“Lakukan apa pun yang mau kamu lakukan, asal jangan ngintip,” ujar Viona dengan nada candaan, disertai tawa yang ceria.

“Cih, aku sama sekali tidak bernafsu dengan tubuhmu,” balas Zayn sambil tertawa, menggelengkan kepala seolah mengusir pikiran nakal yang tak terbersit di benaknya.

Zayn segera menuju dapur, membuka pintu kulkas yang mengecewakan; hanya ada air putih di dalamnya. Dia menatap kulkas itu dengan sinis. “Ck, dasar pemalas,” umpat Zayn, merasa prihatin dengan kebiasaan Viona yang jarang memasak atau pergi ke pasar.

Wanita itu memang terlalu malas untuk membeli bahan makanan untuk makannya sehari-hari. Waktunya berada di rumah hanya sebentar, dan jika ditanya, Viona akan selalu berkata, “Memiliki stok makanan hanya bagian dari pemubaziran.”

Sebagai sahabat, Zayn sudah terbiasa dengan sikap Viona yang terlihat acuh tak acuh ketika datang ke urusan dapur. Untuknya, makan siang gratis dari tempat kerjanya sudah cukup membuatnya merasa tidak perlu berurusan dengan belanja dan memasak.

Mie instan adalah ramuan malam yang paling mudah dan cepat. Zayn gemas, tetapi di balik rasa kesalnya, ada kasih sayang yang mendalam untuk sahabatnya itu.

Tidak lama setelah itu, pintu kamar Viona terbuka. Dia keluar dengan penampilan yang menarik, rambutnya yang sedikit basah mengeluarkan aroma sabun mandinya. “Wah, enaknya. Aku jadi lapar,” ucap Viona sambil mengelus perutnya.

Matanya berbinar melihat Zayn yang tengah menyantap semangkuk mie rebus. Aroma mie yang mengugah selera membuat perutnya berdenyut lapar.

“Kamu masak lebih, kan?” tanya Viona penuh harap.

“Hmmm, ambil di dapur,” sahut Zayn dengan mulutnya yang masih penuh mie. Dia ingin menjawab dengan lebih ramah, tetapi aroma menggoda dari makanannya membuatnya terburu-buru.

Tanpa ba-bi-bu, Viona melesat ke dapur, memeriksa isi panci untuk memastikan Zayn tidak berbohong.

Seketika, dia menemukan semangkuk mie yang ditinggalkan dengan saos dan bumbu yang tinggal sedikit. “Yesss!” teriaknya, seperti menemukan harta karun.

Dia mengambil semangkuk mie itu dan juga sebotol air dingin dari kulkas. Saat Viona kembali ke ruang tamu, Zayn sudah menandaskan makanannya dan meminum beberapa teguk air.

“Aku tidak tahu bagaimana caranya jadi pemalas seperti kamu. Bikin mie saja, butuh skill khusus ya?” ejek Zayn sambil menyeringai.

Viona hanya tertawa kecil. “Eh, jangan salah. Kemampuan membuat mie ini sangat terampil. Tapi, kadang aku berpikir … hidup ini terlalu singkat untuk menghabiskan waktu di dapur.”

Zayn memutar bola matanya, duduk bersandar di sofa dengan tangan yang direntangkan, "Berapa kali harus aku katakan, isilah kulkasmu itu dengan makanan yang sehat dan bergizi," ujarnya mengomel seperti emak-emak ahli gizi.

"Aku sibuk," sahut Viona tak peduli, fokus menyantap makanan lezat hasil jerih payah sang sahabat.

"Ungkal," ujar Zayn kesal, malas berdebat dengan wanita berkepala batu.

"Ayo, pergi," ucap Viona setelah menenggak minumannya saat santapannya sudah habis.

***

Beberapa saat kemudian, motor yang Zayn kendarai tiba di depan Yule Club, tempat Viona bekerja di hari Sabtu dan Minggu setelah pulang dari Ayam Pop Resto.

Viona turun dari motor yang dikendarai Zayn, berdiri di samping pria yang sudah membuka helm-nya, dan memeluk alat pelindung kepala itu. "Apa tidak ada yang ingin kamu jelaskan padaku?" tanya Zayn penuh selidik.

Viona juga membuka helm yang dikenakannya, dan meletakkan benda itu ke atas motor Zayn. "Apa yang harus aku jelaskan?" Viona berbalik melemparkan pertanyaan.

"Jangan aneh-aneh. memangnya kita pacaran, harus saling menjelaskan segala sesuatu," cibir Viona. "Kalau Luna ada di sini, dia bisa salah paham," imbuhnya terkekeh.

"Apa yang membuatku salah paham?" timpal Luna, entah sejak kapan wanita itu sudah berdiri di belakang Zayn dan Viona dengan kedua tangan bersedekap di dada.

Zayn dan Viona serentak menoleh ke sumber suara, mendapati wanita yang baru saja mereka bicarakan sudah ada di sana dengan wajah sangar.

"Ngapain kamu ke sini?" tanya Viona, sementara Zayn langsung turun dari motor dan menghampiri sang kekasih.

"Jemput pacarku yang lagi digodain orang," ketus Luna, sama sekali tidak membuat Viona tersinggung.

"Kamu sudah lama menunggu?" tanya Zayn lembut.

"Sudah sejak kamu memintaku datang ke sini!" jawab Luna ketus. "Ngapain nyuruh aku ke sini?"

"Hanya ingin mengajakmu bersenang-senang," sahut Zayn menaik-turunkan sebelah alisnya.

"Kamu memintaku datang ke sini sendirian, tapi kamu malah pergi dengannya!" Telunjuk Luna tertuju pada Viona yang hanya berdiam diri tak jauh dari sepasang kekasih itu.

"Maaf," ucap Zayn, tidak berniat menjelaskan apa pun.

Luna menghela napasnya dengan kasar, tatapan tajamnya beralih ke Viona. "Berhentilah menggoda pacarku!" tegasnya.

"Apa aku terlihat cantik di matamu?" tanya Viona melipat kedua tangan di depan dada.

“Tidak," jawab Luna cepat.

"Benar, aku tidak cantik. hanya kau yang cantik, jadi berhenti mengkhawatirkan hal yang mustahil! Aku sama sekali tidak berminat menggoda pacarmu yang cerewet itu! Lagipula, dia tidak akan tertarik denganku," ujar Viona panjang lebar, dan langsung memasuki club tanpa menunggu respon dari kedua insan yang berdiri di parkiran dengan raut wajah berbeda.

Zayn menahan senyumnya, sedangkan Luna menghentak-hentakkan kedua kakinya dengan wajah cemberut juga alis berkerut menatap Zayn, kekasihnya. "Lihatlah, betapa sombongnya dia!" seru Luna kesal.

"Dia memang begitu, tapi aslinya baik," ujarnya mengelus puncak kepala Luna dengan penuh kasih sayang, mencoba menenangkan pujaan hatinya.

"Kamu membelanya," ujar Luna semakin cemberut dan tatapan kian menajam.

“Tidak," sanggah Zayn menggeleng, disertai senyuman lembut.

Luna menggerutu, matanya melotot penuh kemarahan. Kakinya terus menghentak lantai seperti anak kecil yang sedang merajuk tak mau dimanja. "Aku membencinya, sangat-sangat membencinya!" suaranya penuh dendam yang sulit disembunyikan.

Zayn tersenyum lembut, merasa gemas atas sikap Luna dan mencoba yang terbaik untuk meredakan amarah sang kekasih. "Jangan begitu," bisiknya sambil meraih tangan Luna dengan hati-hati.

Namun, Luna tak mau kalah. Dia melotot dengan tatapan penuh sinar kebencian, "Aku bahkan lebih benci saat kamu bilang begitu! Dia itu cuma gadis miskin dan kotor, berani sekali meremehkanku! Dia tahu semua masa kecilmu, hal yang selama ini bahkan tak pernah kamu ceritakan padaku. Itu yang bikin aku marah dan benci setengah mati!"

Luna mengepalkan tangan di pinggang, dagunya terangkat menantang, "Kau gila? Tidak ada yang namanya pertemanan murni antara pria dan wanita!" Suaranya menggema dengan keyakinan yang sama kerasnya dengan hentakan kakinya tadi.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!