Terjebak Obsesi Sang Playboy
Mentari sudah meninggi, menyebarkan cahaya keemasan yang menembus hiruk-pikuk kota tanpa ampun.
Di luar Zhimin Apartment, suara klakson bersahutan, langkah kaki pejalan terburu-buru bergemuruh memenuhi udara pagi yang riuh, menyibakkan janji dan beban tak terucap—sekolah, kantor, kehidupan yang tak pernah berhenti.
Namun, di balik jendela kaca yang membatasi dunia itu, dua tubuh masih terperangkap dalam selimut dingin, membeku dalam waktu yang enggan melaju.
Viona Mollice membuka matanya perlahan, bulu mata hitam lentiknya bergetar seperti sedang menahan badai yang mengamuk di dalam dada. Kepala dan dahinya berdenyut bagai dihantam batu besar, alisnya mengerut dalam pergulatan rasa yang sulit dijelaskan.
Dia menarik napas dalam, suaranya serak nyaris tenggelam dalam hening, “Di mana ini ...?”
Viona merasa tubuhnya berat bukan main, seperti beban dunia membekap dan mengekang nafasnya. Tatapannya yang samar menelusuri setiap sudut ruangan bernuansa dingin dan netral, panel batu dengan garis tegas maskulin, lantai kayu yang menebar kehangatan yang anehnya tidak sampai ke hatinya, serta lampu gantung berpendar redup seakan menyimpan misteri yang tak terungkap.
Di balik ketenangan itu, sepi dan kebingungan berbisik tanpa henti, menusuk ke relung hati yang rapuh.
Segalanya yang ada di ruangan itu seakan memberitahu Viona bahwa dirinya tengah berada di kamar seorang pria, dan itu membuat dadanya berdebar tak karuan.
Alis Viona mengerut tajam, pikirannya melaju kencang seperti kereta liar. “Kenapa aku berada di kamar seorang pria?” gumamnya dalam hati dengan dada berdebar tak menentu.
Seketika, tubuhnya membeku saat kelopak matanya membesar sempurna, dia langsung menjatuhkan tatapan penuh kecemasan ke arah tubuhnya sendiri.
Selimut tebal yang melilitnya tak bisa menyembunyikan kenyataan getir—dia sama sekali tidak mengenakan sehelai benang pun di bawah sana.
Viona menggigit bibirnya, berusaha menepis rasa panik yang mengoyak hatinya.
Namun, pergerakan di samping kanannya yang disertai dengan pelukan hangat di perutnya justru semakin mengejutkan Viona dan membuat jantungnya berpacu liar.
Dia seperti ikan yang terperangkap di jala—berusaha melepaskan diri, tapi semakin terjepit. Kepala dan netranya bergerak bersamaan mengikuti lengan panjang itu, hingga wajah seorang pria berambut hitam legam memenuhi penglihatannya.
Panik merayap ke setiap sudut hatinya, bola matanya melebar dan hampir meluncur keluar dari kelopak. “Dia?!” pikir Viona terkejut.
Mulutnya segera ditutup rapat, takut suara kecilnya terbang bebas dan mengundang bahaya.
Dingin menusuk punggungnya, sampai ujung tulang belakang bergetar tak karuan. Viona menarik napas pelan, berusaha menenangkan diri.
Tangannya merengkuh lengan pria itu perlahan, kemudian mendorong tubuhnya hingga terbaring telentang. “Syukurlah, dia tidak bangun,” bisiknya dalam hati.
"Apa yang terjadi semalam? Kenapa aku dan dia … bisa berakhir seperti ini?" Viona mencoba mengingat detail kecil yang mungkin menjelaskan bagaimana dia bisa terbangun di tempat ini, bahkan bersama seorang pria.
Perlahan, ingatan samar mulai merangkai potongan-potongan momen: dentuman musik yang menggema, wajah-wajah yang tertawa riuh di bawah kelap-kelip lampu pesta.
“Minum ini atau cium dia!” Suara salah satu pria terngiang, mengusik pikirannya. Bibir Viona mengatup keras, napasnya tercekat menahan malu dan takut yang tak terucapkan.
Pandangannya tertuju pada gelas berisi cairan kuning yang terhidang di atas meja. Cairan itu tampak menggoda, memancarkan kilauan hangat di bawah lampu redup, tapi di dalam dada Viona merayap rasa takut yang sulit dijelaskan.
Matanya perlahan bergeser, bertemu dengan sosok pria tampan yang tak jauh darinya. Wajahnya datar, tatapannya sulit ditebak—ada sesuatu di sana, apakah itu rasa penasaran, kemarahan, atau justru kebingungan?
Jantung Viona berdetak tak beraturan, napasnya sesak.
“Aku minum saja,” gumamnya getir dengan suara yang hampir tak terdengar. Tangannya gemetar meraih gelas itu, lalu perlahan menenggak isinya.
Setelah itu, ingatannya menjadi gelap seolah-olah segala sesuatu di sekitarnya menguap, hanya meninggalkan rasa khawatir yang menggelayuti pikirannya.
Sekarang, dengan tubuh telanjan9 dan pikiran dipenuhi rasa bingung, rasa bersalah turut menghantuinya. "Bodoh, kau itu alkoholik. Kenapa malah meminum minuman sialan itu?!" rutuk Viona sambil memukul kepalanya sendiri, mengutuk keputusan impulsif yang diambil di tengah kebisingan malam itu.
Malam riuh seolah melebur dalam kegalauan yang menghantui, meninggalkan satu pertanyaan yang terus berputar di kepalanya, "Bukankah dia pria semalam?"
"Benar, itu dia," imbuh Viona penuh keyakinan setelah berhasil mengingat sosok semalam, tatapannya kembali jatuh pada wajah tampan pria itu.
Setiap ornamen di wajahnya seolah dipahat oleh seniman, terlihat sangat sempurna. Alis yang rapi, bulu mata lentik, hidung lancip, dan bibir tebal yang sedikit merekah—semuanya begitu menggoda.
Saat matanya tertuju pada sosok pria itu, netra coklat Viona turun menelusuri dada bidang berototnya, berakhir pada perut yang terdapat enam sekat—mempertegas seksinya.
Viona merasakan detak jantungnya berdegup lebih cepat, pikiran-pikiran indah mulai berkelebat di kepala cantiknya.
Namun, Viona segera menggeleng demi mengenyahkan pikiran kotor dari otak kecilnya.
"Apa yang kau pikirkan?" gumam Viona dengan nada frustrasi, dia juga memukul kepalanya karena kesal pada dirinya yang terpedaya dengan pesona pria itu.
Dia benar-benar tidak habis pikir, semalam dirinya menolak tantangan untuk mencium pria itu, tetapi malah terbangun di ranjang yang sama begitu pagi tiba. Bahkan, dalam keadaan yang ... luar binasa.
Suara hati Viona segera berteriak, "Tidak, tidak ada yang terjadi di antara kami." Dia berusaha meyakinkan dirinya sendiri, meski bukti-bukti yang ada begitu jelas.
Menghela napas, Viona berusaha mengumpulkan keberanian untuk bangkit dan pergi sebelum pria di sebelahnya bangun. Dia tidak ingin berhadapan, apalagi berurusan dengannya lagi.
Dengan gerakan hati-hati, Viona menarik selimut yang menyelimuti tubuhnya, menyadari bahwa panas di wajahnya mungkin bukan hanya karena kesal, tetapi juga karena rasa malu yang tak tertahankan.
Dia bergerak perlahan, berusaha tidak membuat suara agar tidak membangunkan pria yang kini terbujur di sampingnya.
Namun, saat dirinya mencoba untuk menurunkan kakinya dari ranjang, siksaan baru menyapanya—rasa sakit di area pribadinya menandakan bahwa semalam bukan sekadar mimpi.
"Awww!" pekiknya meringis, rasa sakit itu seperti tamparan realitas yang mengoyak lapisan denialnya.
Mahkota yang dijaganya selama ini, telah direnggut oleh keputusan impulsifnya. Air mata yang hampir menetes hanya bisa ditahan, meski hatinya berteriak meminta untuk melepaskannya.
Baru saja dia merasa sedikit tenang, suara serak seorang pria memecahkan keheningan.
"Mau ke mana kau?!" Suara Daniel Radcliffe tegas meski masih terbalut rasa kantuk.
Dia mengajukan pertanyaan yang menuntut jawaban, dan setiap detik yang berlalu seolah memperlambat denyut jantung Viona.
Viona tidak ingin menjawab, tidak ingin menjelaskan. Mengakui kehadiran Daniel di sana, sama seperti membuka luka yang belum siap disentuh.
"Apa yang harus aku lakukan sekarang?" pikir Viona, dadanya sesak bertarung antara menyangkal atau menghadapi kenyataan pahit.
Dalam keheningan yang menegangkan itu, Viona merasa semua keputusan yang akan dia ambil seolah membawa dampak besar bagi masa depannya.
Hari ini adalah titik balik dan Viona tahu, entah apa yang akan terjadi, hidupnya tidak akan pernah sama lagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments