Viona tengah mencuci piring dengan gerakan pelan, ketika ponselnya berdering lembut, menandakan adanya panggilan masuk. Tanpa banyak berpikir, dia segera mengusap kedua tangannya, mengibas-ngibaskan sisa air di apron yang menempel di tubuhnya.
Perlahan dia merogoh saku apron, menggenggam ponsel hitamnya yang tipis—layar menyala menampilkan nama, ‘Zaynal’. Napas Viona tersendat sejenak, nama itu tiba-tiba membawa getar yang tak ingin dirasakannya saat ini.
Viona memicingkan mata, berusaha menekan rasa jengkel yang mulai merebak. Ia membiarkan panggilan itu berlalu, rasa lega menyusup ketika suara itu terputus.
Namun, ponselnya kembali bergetar di detik berikutnya, panggilan masuk dari nama yang sama.
Kali ini, dia tak bisa lagi menghindar. Dengan pasrah, jari-jarinya menyapu layar, mengangkat panggilan itu. “Hmm,” ia menghela suara malas sambil mendekatkan ponsel ke telinga.
Suara Zayn Hakimi—sahabatnya yang cerewet dan tak pernah tahu kapan berhenti bicara—langsung membanjiri ruang kesunyian. “Kamu ke mana saja, Viona?” teriaknya, memaksa Viona memberi jarak antara ponsel dan telinga seolah takut indera pendengarnya rusak.
Viona mendekatkan HP-nya di depan bibir, "Kerja," jawabnya singkat.
Segera, dia menjauhkan ponsel karena memiliki keyakinan Zayn belum habis dengan bombardirnya yang membuat dadanya berdegup kencang hingga telinganya berdering.
Suara Zayn menerobos, cemas dan tergesa. "Aku tahu kamu sedang kerja, tapi kenapa kemarin kamu tidak menjawab teleponku? Pesanku di WhatsApp juga kamu abaikan, bahkan tidak kamu balas?!" Kata-katanya membahana di ujung sana, seolah ingin meretas keheningan yang memisahkan mereka.
Viona membeku, matanya tertuju pada layar ponsel yang masih terhubung dengan sahabatnya. "Kamu tidak tahu betapa khawatirnya aku," lirih Zayn, suaranya mengecil, terselip harap di setiap kalimatnya.
Setelah bernafas panjang, Viona kembali mendekatkan ponselnya ke telinga, merasakan gelombang emosi yang lebih tenang merambat. "Maaf sudah membuatmu cemas," suaranya serak dan penuh penyesalan.
"Tidak, aku tidak butuh maaf," tegas Zayn tanpa kompromi. "Yang aku butuhkan hanyalah jawaban. Jawaban atas pertanyaanku, Viona!" Suaranya menggema, menuntut, mengguncang, seperti badai yang tak kunjung reda di langit hati mereka.
"Kemarin aku sibuk mengantarkan pesanan pelanggan, setelah itu aku ke club dan pulangnya langsung ketiduran. Aku benar-benar tidak memegang HP," jawab Viona, tidak sepenuhnya berbohong.
Pekerjaannya di hari Sabtu dan Minggu memang membuatnya lebih sibuk, juga sangat melelahkan. Dari jam delapan pagi sampai tiga sore, Viona harus bekerja di Ayam Pop Resto sebagai pencuci piring juga pengantar makanan. Kemudian, jam empat sore sampai jam dua dini hari, Viona harus bekerja di Gemerlap Club sebagai waiters.
Tidak hanya Sabtu dan Minggu, jadwal hari-hari lainnya juga hampir membuat Viona tidak punya waktu istirahat.
Satu-satunya kebohongan yang diciptakan Viona hanyalah tentang kepulangannya dari club. Dia tidak langsung tidur setelah pulang, bahkan tidak pulang ke rumah. Melainkan pulang ke apartemen milik Daniel dan menghabiskan malam bersama.
Mengingat itu, Viona buru-buru menggelengkan kepala untuk menepis ingatan liar yang berkelebat di mindanya.
Ya, setelah mendinginkan kepala dan seluruh tubuhnya dengan air dingin ... Viona berhasil mengingat semua yang terjadi padanya kemarin malam hingga berakhir mengenaskan di ranjang Daniel.
"Sudah berapa kali aku bilang, berhenti kerja di Club malam," gerutu Zayn. "Kalau kamu gunakan tubuhmu hanya untuk bekerja, tanpa memiliki waktu istirahat yang cukup ... kesehatanmu akan terganggu."
"Kamu yang paling tau alasanku bekerja," sahut Viona.
Terdengar helaan napas Zayn yang menembus masuk indera pendengaran Viona, "Setidaknya, pikirkan kesehatan tubuhmu!"
"Aku baik-baik, aja," ujar Viona. "Udah dulu, ya. Aku harus bekerja," ucapnya langsung mematikan sambungan telepon tanpa menunggu respon dari Zayn. Ia tidak ingin lelaki itu mengatakan hal yang sama berulang kali hanya untuk memintanya berhenti bekerja di Club.
Tak jarang, sahabatnya itu menawarkan bantuan untuk mendanai uang kuliahnya. Namun, Viona tidak pernah ingin menerima bantuan Zayn. Ia tidak ingin menyusahkan siapa pun, ia akan berusaha sendiri selagi mampu.
Sementara itu, Zayn menatap kesal pada ponselnya. Seakan benda pipih itu adalah Viona, sahabatnya yang ungkal. "Kebiasaan," gerutunya.
*****
Di sebuah bengkel.
James Smith, lelaki jangkung yang tengah memperhatikan dan mengutak-atik motor besarnya berwarna berwarna merah-hitam.
"Knalpot, lampu sein, kursi, pegangan lampu, semua yang kau pesan sudah diganti dengan kualitas langka, terlebih lagi mereka semua barang impor."
Sesekali tatapannya tertuju pada montir yang tengah menjelaskan, sementara tangannya sibuk menyentuh motornya untuk menguji coba alat-alat yang baru saja terpasang di motor kesayangannya itu.
"Karena onderdil ini berkualitas semahal harganya, kau juga dapat untung, kan?" tanya James Smith, lelaki yang baru saja mengganti beberapa suku cadang pada kuda besi kesayangannya.
"Tapi kau adalah pelanggan setia, aku juga menarik dan menyetel ketegangannya," sahut sang montir.
Vian berdiri tegap, melipat kedua tangannya di dada. "Apa kau memberitahuku untuk meminta persetujuan dengan uangku?"
"Bukan, bukan begitu," kilah montir itu sedikit gelagapan.
Kehadiran Viona yang membuka pintu kaca dan memasuki bengkel dengan berlarian sambil membawa sebuah kotak makanan di tangannya menyelamatkan sang montir.
"Ayam yang kalian pesan sudah datang," ujar Viona.
"Vicky, berikan uang padanya!" kata montir itu.
"Oke!" sahut Jamal.
Viona mengantarkan kotak makanan itu ke belakang, di mana terdapat dua pria—pekerja bengkel—yang sedang duduk di sofa.
"Semuanya 144.500 rupiah," ucap Viona meletakkan kotak makanan yang berisi satu paket ayam goreng ke atas meja.
"Kamu begitu cantik untuk ukuran seorang pengantar makanan," puji salah satu pria. "Apa kamu pelajar SMA?"
"Benar, jam berapa kamu selesai bekerja? Mau Abang jemput pake motor gede?" goda pria lainnya yang berambut kriwil.
Viona mencebik sinis, tidak berniat menjawab pertanyaan pria-pria yang terlihat henti. "Uangnya!" ucap Viona menadahkan tangannya di depan kedua pria itu.
"Jangan begitu jutek, Abang jemput, ya," rayu pria kriwil itu lagi dengan senyum menggoda.
Viona mulai jengah, tidak mengatakan apa pun lagi. Hanya mengambil ponsel dari saku celana levis yang dikenakannya.
Viona mengutak-atik ponselnya, lalu menempelkan benda pipih itu ke telinga. "Halo, saya pelajar kelas tiga SMA dan sekarang sedang kerja paruh waktu, tapi ada dua pria yang tidak mau membayar pesanannya," ujar Viona dengan satu tangannya berada di pinggang, sentara tangan lainnya menggenggam ponsel.
"Hei, siapa yang kau telepon?" tanya pria berambut lurus, sama paniknya dengan si pria kriwil.
Viona menjauhkan ponselnya dari telinga, "Kantor polisi," jawabnya kembali menempelkan ponsel tersebut.
"Hah?!" pekik kedua pria itu bersamaan, si kriwil berdiri dan hendak merebut HP Viona, tetapi wanita itu segera menyembunyikannya.
"Hei, kami hanya bercanda. Kau tau bercanda?" ucap pria berambut lurus turut berdiri di sebelah temannya.
Sementara si kriwil langsung mengeluarkan uang dari saku celananya dan menyerah lembaran uang pada Viona. "Kau terlalu serius," ucapnya.
Viona tidak peduli, hanya memasang tampang masa bodonya dan mengambil uang yang diberikan si kriwil. Viona menghitung uang itu, dan mengambil uang receh dari saku celananya.
"Ini kembaliannya," ucap Viona menyerahkan uang receh itu pada si kriwil. "Selamat menikmati makanannya," ucapnya langsung berlalu pergi meninggalkan bengkel sambil melirik jam yang melekat di pergelangan tangannya.
"Masih ada waktu 45 menit lagi," gumamnya.
Tanpa Viona sadari, James memperhatikannya sejak memasuki hingga keluar dari bengkel. Setelah Viona hilang dari pandangannya, James kembali memperhatikan kuda besinya.
Sementara itu, baru satu meter Viona berlarian menjauhi bengkel menuju tempatnya bekerja yang hanya berjarak beberapa ruko. Netranya menangkap sosok lelaki yang tidak ingin ditemuinya ada di depan Ayam Pop Resto, tengah bersandar di samping motor gede dengan satu tangan masuk ke saku celananya.
"Ck, kenapa harus ketemua dia, sih?" gerutu Viona memelankan langkahnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments