NovelToon NovelToon

Meluluhkan Hati Tuan Ferguson

Bab 1

Lima tahun adalah waktu yang abadi bagi seorang ibu yang terpisah dari anak-anaknya. Bagi Isabella Rosales, lima tahun terasa seperti goresan luka yang tak pernah kering, sayatan pedih yang menandai setiap detik sejak ia dipaksa membuat pilihan paling mustahil dalam hidupnya. Dari jendela apartemennya yang kecil dan usang di distrik terpencil ibu kota, ia memandangi hujan yang turun tanpa ampun, sama seperti air mata yang telah habis ia tangisi.

Di atas meja kayu reyot di hadapannya, tergeletak satu-satunya harta yang ia miliki, satu-satunya pengingat dari kehidupan yang telah direnggut darinya. Sebuah foto yang sudah sedikit kusam di bagian tepinya, dilindungi oleh bingkai perak murah. Di dalam foto itu, tiga malaikat kecilnya tersenyum ke arah kamera, merayakan ulang tahun kelima mereka beberapa minggu yang lalu. Foto itu ia dapatkan dengan susah payah dari seorang informan bayaran, serpihan kebahagiaan curian yang menjadi penopang hidupnya.

Adrian, si sulung, berdiri tegak dengan ekspresi serius yang merupakan warisan sempurna dari ayahnya. Rambutnya yang gelap dan tatapannya yang tajam sudah menunjukkan karisma seorang Ferguson bahkan di usianya yang masih belia. Di sampingnya, Eren, putri satu-satunya, tersenyum manis dengan dua kuncir kuda yang menggemaskan, matanya berbinar penuh keceriaan. Dan Alden, si bungsu yang jahil, tertangkap kamera saat sedang berusaha mencolek kue ulang tahun, senyumnya penuh kemenangan dan noda cokelat.

"Selamat ulang tahun, sayang-sayangku," bisik Isabella, jemarinya yang kini lebih kurus dan kasar mengelus permukaan foto itu dengan lembut. "Maafkan Ibu..."

Setiap hari adalah ritual penyiksaan yang sama. Ia akan bangun, bekerja serabutan—membersihkan kedai kopi, mencuci piring di restoran—lalu pulang ke apartemen sepinya untuk memandangi foto itu hingga tertidur. Ia adalah hantu. Arwah penasaran yang bergentayangan di pinggiran kehidupan keluarganya sendiri, terikat oleh janji mengerikan yang ia buat kepada ayahnya sendiri, kepala keluarga Rosales.

"Kau akan pergi dan tidak akan pernah kembali," kata ayahnya lima tahun lalu, matanya sedingin es. "Kau akan membiarkan Alex Ferguson percaya kau meninggalkannya karena bosan. Jika kau mencoba menghubungi mereka, sekali saja, aku tidak akan segan-segan menghancurkan Alex dan ketiga anak haram itu. Kau tahu aku bisa melakukannya."

Dan Isabella tahu. Kekuatan keluarganya sama besarnya dengan kebencian mereka terhadap keluarga Ferguson. Jadi, ia pergi. Ia merobek hatinya sendiri, memerankan peran sebagai wanita tak berperasaan, dan berjalan menjauh dari suami dan bayi-bayi kembarnya yang baru berumur beberapa bulan. Ia memilih untuk menanggung kebencian Alex daripada melihatnya hancur. Ia memilih untuk hidup dalam neraka agar anak-anaknya bisa hidup aman di istana mereka.

Malam itu, hujan semakin deras. Panggilan dari manajer restoran tempatnya bekerja paruh waktu memaksanya untuk keluar menembus badai. Dengan mengenakan mantel tipis satu-satunya, ia berlari menyusuri jalanan yang basah. Di persimpangan jalan besar, langkahnya terhenti. Sebuah layar berita digital raksasa di fasad gedung pencakar langit menampilkan wajah yang paling ia rindukan sekaligus paling ia takuti untuk lihat.

Alex Ferguson.

Wajahnya masih setampan dewa, rahangnya tegas, bahunya lebar. Ia tampak lebih berkuasa, lebih dingin dari sebelumnya. Ia sedang diwawancarai tentang kesuksesan terbaru Ferguson Corp. Tapi Isabella tidak peduli tentang itu. Ia hanya menatap mata suaminya. Mata yang dulu selalu menatapnya dengan penuh kehangatan dan cinta, kini tampak kosong, sedingin musim dingin yang tak berkesudahan. Luka yang ia tinggalkan masih ada di sana, membeku menjadi lapisan es yang tebal.

"Aku merindukanmu, Alex," lirihnya pada angin dan hujan, sebuah pengakuan yang tak akan pernah sampai.

Di seberang jalan, seorang wanita muda lain juga sedang berjalan menembus hujan. Namanya Celine Severe. Seorang desainer yatim piatu yang jiwanya terasa sama lelahnya dengan tubuhnya. Ia baru saja diusir dari apartemen sewanya karena tidak mampu membayar. Di tangannya, ia memeluk seekor anak kucing yang ia temukan gemetar di gang sempit. Menyelamatkan makhluk kecil itu terasa seperti satu-satunya hal benar yang bisa ia lakukan hari itu. Baginya, hidup adalah rangkaian perjuangan tanpa akhir. Ia lelah.

Takdir menarik benang mereka pada detik yang sama.

Saat Isabella melangkah dari trotoar, matanya masih terpaku pada wajah Alex di layar, sebuah mobil sport yang melaju kencang kehilangan kendali di jalanan yang licin. Pada saat yang sama, Celine, saat mencoba menyeberang untuk membawa anak kucing itu ke tempat yang lebih hangat, tersandung dan jatuh di jalur mobil itu.

Suara decitan ban yang memekakkan telinga merobek malam, diikuti oleh suara benturan yang mengerikan.

Bagi Celine, semuanya menjadi gelap seketika. Damai.

Bagi Isabella, saat tubuhnya terlempar, waktu seolah melambat. Pikirannya tidak dipenuhi rasa takut akan kematian. Hanya ada satu hal, satu keinginan yang begitu kuat hingga terasa membakar sisa-sisa kesadarannya.

Tidak... Anak-anakku... mereka masih membutuhkanku... Aku belum siap... Adrian... Eren... Alden...

Kegelapan menelannya.

Kesadaran datang kembali, bukan sebagai cahaya atau suara, tetapi sebagai perasaan. Perasaan mengambang di kehampaan yang hangat. Isabella membuka mata spiritualnya dan melihat dirinya sebagai gumpalan cahaya keemasan yang berdenyut-denyut putus asa. Di dekatnya, ada cahaya lain, cahaya perak yang lembut dan tenang, berkedip perlahan seolah hendak padam.

Itu adalah jiwa Celine.

Tidak ada kata-kata yang terucap, tetapi pemahaman mengalir di antara mereka. Jiwa Celine memancarkan perasaan damai, kelegaan, dan keikhlasan. Perjalanannya telah usai. Sedangkan jiwa Isabella meraung tanpa suara, memancarkan gelombang cinta ibu yang begitu dahsyat, sebuah permohonan yang ditujukan pada semesta itu sendiri. Permohonan untuk kembali.

Cahaya perak Celine berkedip lembut, seolah mengangguk. Ia mendekat, lalu menyatu dengan cahaya keemasan Isabella. Bukan sebuah pengambilalihan, melainkan sebuah pemberian. Sebuah warisan. Jiwa yang lelah memberikan jalannya pada jiwa yang memiliki alasan terkuat untuk terus berjuang.

Bau antiseptik.

Itulah hal pertama yang menyambutnya. Dengan susah payah, Isabella membuka matanya. Langit-langit putih dengan retakan. Ia mencoba menggerakkan tangannya dan melihat jemari kurus yang bukan miliknya. Kepanikan mulai menjalari dirinya. Ia memaksa tubuh yang terasa ringkih ini untuk bangkit dan berjalan tertatih ke kamar mandi.

Ia mengangkat kepala dan menatap cermin.

Jeritan tertahan di tenggorokannya. Wajah orang asing balas menatapnya. Wajah seorang wanita muda yang tampak lelah namun baik hati. Wajah Celine Severe.

Ia mencengkeram tepi wastafel, napasnya tersengal. Ingatan akan kecelakaan itu... kematian... lalu keajaiban yang tak bisa dijelaskan ini...

Isabella Rosales telah tiada. Dunia akan menganggapnya mati. Itu artinya... ia bebas. Ayahnya, keluarganya, ancaman mereka tidak bisa lagi mengendalikannya.

Air mata mulai mengalir di pipi wajah barunya. Bukan air mata ngeri atau sedih. Ini adalah air mata kelegaan, harapan, dan rasa syukur yang begitu dalam. Ini adalah kesempatan kedua.

Ia kembali ke ranjang dan menemukan beberapa barang milik Celine di meja nakas. Dompet usang, buku sketsa, dan sebuah koran lokal yang terlipat. Matanya terpaku pada halaman lowongan pekerjaan. Pada sebuah iklan kecil yang telah dilingkari dengan pulpen merah, seolah takdir telah menandainya untuknya.

Dibutuhkan: Pengasuh/Pendamping Pribadi untuk Tiga Anak Kembar. Tinggal di dalam. Gaji Istimewa. Hubungi Kantor Pusat Ferguson Corp.

Jantungnya, jantung Celine, berdetak kencang penuh harapan. Ini bukan kebetulan. Ini adalah jalan pulang yang diberikan takdir.

Ia menyentuh wajah barunya di cermin sekali lagi, menatap mata cokelat yang hangat itu. "Terima kasih, Celine," bisiknya pada jiwa damai yang telah memberinya keajaiban ini. "Aku bersumpah, aku tidak akan menyia-nyiakan hidupmu. Aku akan menjalaninya dengan baik."

Dengan tekad baru yang membakar sisa-sisa keputusasaannya, ia menggenggam koran itu erat-erat.

Adrian, Eren, Alden... Ibu akan pulang.

Bab 2

Isabella tidak tidur malam itu. Tidur terasa seperti kemewahan yang mustahil saat jiwanya berpacu dalam badai emosi yang dahsyat—euforia yang meluap-luap karena mendapatkan kesempatan kedua, dan ketakutan yang melumpuhkan akan kegagalan. Kesempatan itu terbentang di depan mata, tertera dalam baris iklan di koran usang, begitu dekat namun terasa dipisahkan oleh jurang yang tak terhingga. Besok, ia akan melamar pekerjaan itu. Besok, setelah lima tahun yang terasa seperti seabad, ia mungkin akan melihat wajah anak-anaknya secara langsung, bukan dari selembar foto curian.

Pagi harinya, setelah pemeriksaan terakhir yang menyatakan kondisinya stabil, ia diizinkan keluar dari rumah sakit. Perban di kepalanya sudah dilepas, hanya menyisakan memar samar yang mudah ditutupi rambut. Dengan uang receh yang tersisa di dompet Celine, ia naik bus kota menuju satu-satunya alamat yang tertera di KTP: sebuah unit apartemen kecil di gedung tua yang catnya sudah banyak terkelupas.

Tempat itu adalah antitesis dari semua yang pernah ia kenal. Ruangan sempit itu hanya berisi sebuah tempat tidur, meja gambar yang penuh dengan sketsa-sketsa indah namun belum selesai, dan lemari pakaian kecil. Semuanya bersih dan rapi, namun memancarkan aura kesepian yang mendalam. Isabella merasakan gelombang simpati yang tulus untuk wanita yang tubuhnya kini ia huni. Celine Severe telah menjalani kehidupan yang berat.

"Aku akan membuatmu bangga," bisik Isabella pada ruangan kosong itu, sebuah janji pada jiwa yang telah memberinya jalan.

Di dalam lemari, hanya ada beberapa set pakaian sederhana. Ia memilih yang paling layak: sebuah blus katun berwarna krem dan rok panjang berwarna biru tua. Saat ia bercermin, ia melihat seorang wanita yang tampak gugup namun memiliki sorot mata yang membara. Wajah Celine lembut, tetapi mata Isabella menyala dengan tekad baja yang tak bisa dipadamkan. "Kau bisa melakukan ini," bisiknya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.

Perjalanan menuju Ferguson Tower adalah sebuah ziarah yang menyakitkan. Gedung pencakar langit itu, simbol kekuasaan Alex di jantung kekaisaran, pernah menjadi rumah dan sangkar emasnya. Kini, gedung itu menjulang seperti benteng tak tertembus yang harus ia masuki sebagai penyusup. Dulu ia akan turun dari mobil mewah tepat di lobi utama yang berlapis marmer. Hari ini, ia berjalan kaki dari halte bus dan mencari pintu masuk karyawan di sisi gedung yang tersembunyi.

Ruang tunggu untuk pelamar kerja terasa menyesakkan. Puluhan wanita dengan pakaian rapi dan wajah penuh percaya diri duduk menunggu giliran, masing-masing memegang map tebal berisi ijazah dan surat rekomendasi. Isabella hanya membawa tas tangan usang milik Celine, berisi KTP dan selembar CV seadanya yang ia temukan di laci meja. Jantungnya berdebar kencang. Dibandingkan dengan mereka, dia bukan apa-apa. Dia tidak memiliki kualifikasi, tidak memiliki pengalaman formal. Satu-satunya yang ia miliki adalah sesuatu yang tidak bisa ia tulis di atas kertas: hati seorang ibu.

"Celine Severe."

Sebuah suara memanggil namanya. Waktunya tiba. Ia menarik napas dalam-dalam dan melangkah masuk ke sebuah ruang kantor yang dingin dan modern. Di seberang meja kayu besar, duduk seorang wanita paruh baya dengan tatapan setajam elang dan sanggul rambut yang diikat begitu kencang seolah tak ada sehelai rambut pun yang berani keluar dari tempatnya. Papan nama di mejanya bertuliskan "Diana, Kepala Rumah Tangga".

"Silakan duduk, Nona Severe," kata Diana, suaranya datar dan profesional. Ia mengambil CV Celine dan membolak-baliknya dengan cepat, ekspresinya tidak menunjukkan apa-apa. "Pengalaman Anda... tidak banyak. Hanya beberapa pekerjaan lepas sebagai desainer dan asisten di panti asuhan lokal."

Isabella merasakan pipinya memanas. "Saya belajar dengan cepat, Nyonya."

"Pekerjaan ini membutuhkan lebih dari sekadar kemauan untuk belajar," balas Diana, matanya yang tajam menatap lurus ke arah Isabella. "Tuan Ferguson sangat… protektif terhadap anak-anaknya. Mereka telah melalui banyak hal. Mereka membutuhkan stabilitas, profesionalisme, dan seseorang dengan rekam jejak yang terbukti. Sejujurnya, saya tidak melihat itu di sini."

Setiap kata terasa seperti palu godam yang menghancurkan harapannya. Ia sudah menduga ini akan sulit, tapi ia tidak menyangka akan ditolak secepat ini.

"Saya tahu CV saya tidak mengesankan," kata Isabella, suaranya sedikit bergetar. Ia mencondongkan tubuhnya ke depan, membiarkan keputusasaan tulusnya terlihat. "Tapi saya mohon. Beri saya kesempatan untuk bertemu dengan mereka. Hanya lima menit. Jika mereka tidak menyukai saya, saya akan segera pergi."

Diana tampak ragu. Ada sesuatu di mata wanita di hadapannya. Bukan sekadar keinginan untuk mendapatkan pekerjaan, melainkan sebuah permohonan yang datang dari lubuk hati. Namun, aturan adalah aturan.

"Saya hargai kejujuran Anda, Nona Severe. Tapi kami memiliki banyak kandidat lain yang lebih—"

Tiba-tiba, pintu kantor terbuka dengan keras dan seorang gadis kecil berlari masuk, wajahnya basah oleh air mata.

"Eren!" seru seorang pengasuh muda yang tampak kewalahan, berlari mengejarnya.

Itu dia. Putrinya. Eren-nya. Jantung Isabella terasa seperti berhenti berdetak lalu berdentum begitu keras hingga memenuhi telinganya. Eren-nya kini lebih tinggi, rambutnya yang dikuncir dua bergoyang-goyang saat ia berlari. Ia tampak begitu nyata, begitu rapuh.

Eren berhenti di tengah ruangan, tangisnya semakin menjadi-jadi saat melihat begitu banyak orang asing. "Bona hilang! Aku mau Bona!" isaknya, memanggil nama boneka kelinci kesayangannya.

Para pengasuh lain tampak panik, mencoba membujuknya dengan mainan lain, tetapi Eren hanya menggelengkan kepalanya dengan keras. Nyonya Diana memijat pelipisnya, ekspresinya menunjukkan stres yang luar biasa.

Naluri mengambil alih. Mengabaikan tatapan kaget Diana dan yang lainnya, Isabella bangkit dari kursinya. Ia tidak berjalan cepat, melainkan bergerak perlahan dan tenang, seolah tidak ingin mengejutkan seekor anak rusa yang ketakutan. Ia berlutut di hadapan Eren.

"Ssst... tidak apa-apa, sayang," bisik Isabella, suaranya bergetar menahan gelombang emosi. Ia menggunakan nada lembut yang selalu berhasil menenangkan Eren dulu. "Bona tidak hilang. Dia hanya sedang bermain petak umpet denganmu."

Tangis Eren mereda menjadi isak tangis kecil. Ia menatap wajah Celine dengan mata bulatnya yang besar dan basah.

"Coba kita pikirkan bersama," lanjut Isabella, senyum tipis terukir di wajah barunya. "Kelinci kan suka sekali tempat yang hangat dan sedikit gelap untuk bersembunyi. Apa kau sudah memeriksa di dalam lemari pakaianmu? Di belakang tumpukan sweter warna-warni milikmu? Bona suka sekali tidur siang di sana."

Eren mengerjapkan matanya, tertegun. Bagaimana wanita asing ini bisa tahu tempat persembunyian rahasia Bona? Itu adalah tempat yang hanya ia dan… ibunya yang tahu.

Gadis kecil itu perlahan berhenti menangis. Dengan gerakan ragu, ia mengulurkan tangan mungilnya dan menyentuh pipi Celine, seolah ingin memastikan wanita itu nyata. "Kau… wangi seperti Ibu," bisiknya sangat pelan, sebuah pengakuan polos yang menghantam Isabella seperti sambaran petir.

Sebuah sengatan listrik yang menyakitkan sekaligus membahagiakan menjalari seluruh tubuh Isabella. Ia harus mengerahkan seluruh kekuatannya untuk tidak menarik putrinya ke dalam pelukannya dan menangis sejadi-jadinya.

Di sudut lain, Nyonya Diana menatap pemandangan itu dengan mulut sedikit terbuka. Selama bertahun-tahun, tidak ada satu pun pengasuh yang bisa menjinakkan amukan rindu Eren secepat dan selembut ini.

Tanpa mereka sadari, di ruang kerjanya di lantai paling atas, Alex Ferguson sedang mengamati semua itu melalui layar monitor keamanan yang tersembunyi. Rahangnya mengeras, buku-buku jarinya memutih saat ia mencengkeram tepi mejanya. Wanita ini... Celine Severe. Ada sesuatu yang mustahil tentangnya. Caranya bergerak, nada suaranya, dan pengetahuannya yang aneh tentang putrinya... semua itu membangkitkan hantu yang telah lama ia coba kubur.

Kembali di kantor, Nyonya Diana berdeham, memecah keheningan yang terasa magis itu. "Eren, ayo kembali ke kamarmu, sayang. Nanti Nona Celine akan menyusul dan membantumu mencari Bona, ya?"

Eren mengangguk, dan untuk pertama kalinya, ia menurut tanpa perlawanan, membiarkan pengasuhnya menuntunnya keluar.

Nyonya Diana lalu menatap Isabella dengan pandangan yang sama sekali baru. "Nona Severe," katanya, nadanya kini mengandung rasa hormat yang enggan.

Isabella berdiri, kakinya terasa sedikit lemas.

"Anda bisa mulai besok. Pukul delapan pagi. Jangan terlambat."

Harapan yang tadinya hampir padam kini menyala menjadi api yang berkobar. Ia berhasil. Gerbang istana telah terbuka untuknya. Ia telah melewati rintangan pertama. Rasa sakitnya sepadan. Ia selangkah lebih dekat untuk pulang.

Bab 3

Pukul delapan pagi kurang lima belas menit, Isabella, dalam balutan blus sederhana dan rok panjang milik Celine, berdiri di depan pintu masuk karyawan Ferguson Tower. Pintu kaca otomatis yang megah untuk para eksekutif dan tamu penting berada seratus meter di kanannya, berkilauan angkuh di bawah sinar mentari pagi Kekaisaran Matahari. Dulu, pintu itu adalah gerbang menuju kehidupannya yang gemerlap. Hari ini, ia harus melewati pintu baja tanpa hiasan di sisi gedung, sebuah portal menuju dunia yang terasa asing sekaligus begitu familier.

Perasaan gugup yang dingin mencengkeram perutnya saat ia menunjukkan kartu identitas sementara yang diberikan rumah sakit kepada penjaga keamanan yang bertubuh tegap. Setelah pemeriksaan singkat yang terasa seperti interogasi, ia diizinkan masuk. Lorong di baliknya begitu berbeda dari lobi utama yang berlapis marmer dan dihiasi karya seni abstrak seharga miliaran. Lorong ini steril, fungsional, dicat putih bersih dengan lantai abu-abu yang mengkilap. Baunya seperti pembersih beraroma lemon dan ambisi yang tertahan dari para staf yang berlalu-lalang. Ini adalah urat nadi tak terlihat yang membuat jantung istana modern ini tetap berdetak.

Seorang wanita berseragam dengan senyum profesional menyambutnya dan mengantarnya ke lift khusus staf. "Nyonya Diana sudah menunggu Anda di lantai penthouse," katanya singkat, nadanya efisien. "Selamat datang di Ferguson Corp."

Perjalanan lift ke atas terasa seperti selamanya, sebuah pendakian vertikal yang mengukur jarak antara kehidupan lamanya dan kehidupannya yang sekarang. Setiap meter yang ia naiki meningkatkan detak jantungnya hingga terasa memukul-mukul tulang rusuknya. Ini nyata. Ia benar-benar kembali. Bukan sebagai nyonya rumah yang dihormati, tetapi sebagai staf rendahan. Bukan sebagai Isabella yang anggun, tetapi sebagai Celine yang sederhana.

Pintu lift terbuka langsung ke area servis di belakang dapur utama penthouse. Aroma roti panggang yang baru diangkat dari oven dan kopi arabika segar—aroma yang sama persis seperti pagi-pagi bahagianya dulu bersama Alex—menyeruak, membawa gelombang nostalgia yang begitu kuat hingga hampir membuatnya terhuyung. Nyonya Diana sudah menunggunya di sana, memegang sebuah tablet digital, penampilannya sama kaku dan sempurna seperti kemarin.

"Selamat pagi, Nona Severe," sapanya tanpa senyum, matanya yang tajam seolah memindai untuk mencari kecacatan. "Tepat waktu. Saya menghargai ketepatan waktu. Mari, saya akan tunjukkan area Anda dan menjelaskan peraturan dasarnya."

Nyonya Diana membawanya dalam tur singkat yang terasa seperti inspeksi militer. Dapur baja tahan karat yang berkilauan, ruang cuci yang dipenuhi mesin-mesin canggih, lalu melalui sebuah pintu tersembunyi, mereka melangkah ke area utama. Jantung Isabella berdebar begitu keras saat ia melangkah ke ruang keluarga yang luas. Semuanya masih sama persis. Sofa beludru besar berwarna biru malam yang ia pilih sendiri dari seorang desainer ternama, lukisan abstrak raksasa di dinding yang merupakan hadiah ulang tahunnya untuk Alex, bahkan vas bunga kristal di sudut ruangan yang selalu ia pastikan terisi lili putih segar, bunga favoritnya. Rasa sesak yang menyakitkan memenuhi dadanya. Ini adalah rumah yang ia bangun dengan cinta, kini ia memasukinya sebagai orang asing yang diawasi.

"Peraturan utama di rumah ini adalah efisiensi dan privasi," jelas Nyonya Diana, suaranya yang tegas menarik Isabella kembali ke kenyataan. "Anda di sini hanya untuk anak-anak. Tanggung jawab Anda dimulai saat mereka bangun pukul tujuh dan berakhir saat mereka tidur pukul delapan malam. Anda tidak diizinkan memasuki area pribadi Tuan Ferguson, yang meliputi seluruh sayap kanan penthouse: ruang kerja dan kamar tidur utama. Area tersebut sakral. Jam makan Anda diatur bersama staf lain di dapur belakang. Semua komunikasi dengan Tuan Ferguson harus melalui saya, kecuali dalam keadaan darurat yang mengancam nyawa. Apakah saya sudah jelas?"

"Sangat jelas, Nyonya," jawab Isabella dengan suara yang lebih mantap dari yang ia duga. Jiwa Isabella yang terbiasa memberi perintah kini harus belajar untuk patuh.

"Bagus. Sekarang, mari kita temui anak-anak. Mereka sedang sarapan di ruang bermain."

Inilah saatnya. Momen yang telah ia impikan selama lima tahun yang menyiksa, momen yang menjadi bahan bakar hidupnya. Nyonya Diana membukakan pintu kayu ek yang berat ke ruang bermain, sebuah ruangan luas dan cerah yang jendelanya setinggi langit-langit, menghadap ke seluruh penjuru kota dari ketinggian yang memusingkan. Dan di sana, di sebuah meja kecil berbentuk awan, duduklah ketiga dunianya, tiga kepingan hatinya.

Adrian, si sulung yang selalu serius, dengan rambut gelapnya yang sama persis seperti Alex, sedang dengan cermat memotong panekuknya menjadi kotak-kotak kecil yang presisi, seolah sedang melakukan operasi bedah. Eren, putrinya yang manis, sedang mengaduk-aduk serealnya hingga menjadi bubur sambil menyenandungkan lagu kecil, dua kuncir kudanya bergoyang-goyang mengikuti irama imajinernya. Dan Alden, si bungsu yang paling aktif, sudah memiliki noda selai cokelat di pipi dan dahinya, meskipun sarapan baru saja dimulai.

"Anak-anak," kata Nyonya Diana dengan nada yang dibuat selembut mungkin. "Ini Nona Celine, pendamping baru kalian."

Ketiganya mengangkat kepala serempak. Tiga pasang mata yang identik dengan mata tajam Alex menatapnya. Untuk sesaat, Isabella lupa cara bernapas. Udara seolah tersedot dari paru-parunya.

Alden yang pertama memecah keheningan. "Halo!" serunya riang. "Kau mau cokelat?" Ia menunjuk noda di pipinya dengan bangga.

Eren tersenyum malu-malu, mengingat wanita baik hati yang kemarin memberitahunya tentang persembunyian kelinci Bona.

Hanya Adrian yang menatapnya dengan tatapan tajam dan penuh selidik. Tatapan seorang pewaris Ferguson. "Pengasuh kami yang lama pergi," katanya datar, nadanya lebih seperti pernyataan fakta daripada pertanyaan. "Dia bilang kami terlalu banyak menuntut."

Isabella menemukan kembali suaranya, mendorong ke samping rasa sakit yang menusuk. Ia melangkah maju perlahan, berlutut agar sejajar dengan mereka, menempatkan dirinya di dunia mereka. "Aku tidak berpikir kalian banyak menuntut," katanya lembut, matanya tertuju langsung pada Adrian, menantang dinding pertahanannya. "Aku pikir kau hanya suka jika segala sesuatunya teratur dan masuk akal."

Adrian tampak terkejut. Ia melirik panekuknya yang dipotong rapi. Bagaimana wanita ini tahu?

"Dan kau," Isabella menoleh pada Eren, senyum tulus terukir di wajah barunya, "kau punya musik di dalam hatimu dan cerita di matamu." Ia kemudian melirik Alden yang sedang menjilati selai dari jarinya. "Dan kau... kau punya petualangan di setiap gigitan sarapanmu."

Keheningan melanda meja kecil itu. Nyonya Diana mengangkat alisnya, sedikit terkesan. Para pengasuh lain biasanya memulai dengan pertanyaan standar dan canggung seperti "siapa namamu?" atau "berapa umurmu?". Wanita ini berbicara seolah-olah ia sudah mengenal jiwa mereka.

"Aku akan meninggalkanmu bersama mereka," kata Nyonya Diana akhirnya, nadanya sedikit lebih hangat dari sebelumnya. "Tunjukkan kemampuanmu, Nona Severe. Jadwal harian mereka ada di tablet di atas meja."

Sepanjang pagi itu, Isabella membenamkan dirinya dalam surga yang telah lama hilang. Ia tidak mengikuti jadwal di tablet. Ia mengikuti irama hati anak-anaknya. Ia bermain balok dengan Adrian, tidak hanya menumpuk, tetapi membangun benteng yang kokoh secara struktural dan logis, mendapatkan anggukan hormat dari si sulung. Ia menari bersama Eren, membiarkan putrinya memimpin dalam sebuah balet imajiner di negeri dongeng. Ia menjadi monster pura-pura yang dikejar oleh Alden di seluruh ruangan, berakhir dengan tawa terbahak-bahak saat ia berhasil menangkap dan menggelitik pahlawan kecil itu. Ia tidak perlu mencoba. Semua ini mengalir secara alami. Ini adalah bahasa ibu yang tidak pernah bisa ia lupakan.

Anak-anak meresponsnya dengan cara yang belum pernah mereka lakukan pada orang asing. Eren bahkan beberapa kali memanggilnya "Mama Celine" sebelum meralatnya dengan pipi merona. Setiap kali panggilan tak sengaja itu terdengar, hati Isabella terasa seperti diremas, perih sekaligus manis luar biasa.

Siang harinya, saat anak-anak akhirnya tertidur lelap untuk tidur siang, ia punya waktu untuk bernapas. Ia duduk di sofa di ruang bermain yang kini sunyi, memandangi mainan yang berserakan dengan senyum lelah. Semuanya terasa seperti mimpi yang indah dan menyakitkan.

"Mereka terlihat menyukaimu."

Sebuah suara berat dan dalam dari ambang pintu membuatnya melonjak kaget.

Alex Ferguson berdiri di sana, diam seperti bayangan. Ia pasti baru saja pulang dari kantor untuk makan siang. Setelan jasnya yang dijahit sempurna tampak kontras dengan kekacauan ceria di ruang bermain. Wajahnya sama tampannya seperti dalam ingatan Isabella, tetapi matanya jauh lebih dingin, membawa beban kesedihan dan kepahitan selama lima tahun.

"Tuan Ferguson," sapa Isabella, segera berdiri dan menundukkan kepalanya sedikit, memainkan perannya sebagai Celine dengan sempurna.

"Saya melihat rekaman dari wawancara kemarin," lanjut Alex, melangkah masuk ke ruangan. Matanya yang tajam memindai setiap inci dirinya, membuatnya merasa telanjang dan terekspos. "Dan saya mengamati interaksi kalian pagi ini dari kantor saya. Anda memiliki cara yang… tidak biasa dengan mereka."

"Saya hanya mencoba memahami mereka, Tuan."

"Memahami mereka," ulang Alex, nada sinis tipis terdengar dalam suaranya. "Banyak yang sudah mencoba. Apa rahasiamu, Nona Severe?"

"Tidak ada rahasia," jawab Isabella, jantungnya berdebar kencang di bawah tatapan menusuk itu. "Setiap anak adalah sebuah dunia yang unik. Kita hanya perlu belajar bahasa mereka untuk bisa masuk."

Alex terdiam, matanya menyipit. Kalimat itu. Kalimat yang persis sama pernah diucapkan Isabella padanya bertahun-tahun yang lalu saat mereka pertama kali membahas tentang memiliki anak di taman belakang rumah mereka. Sebuah kebetulan? Atau sesuatu yang lain yang lebih mengganggu?

"Dengar, Nona Severe," katanya akhirnya, suaranya kembali dingin dan berjarak, membangun tembok di antara mereka. "Tugas Anda di sini jelas. Urus anak-anak saya. Pastikan mereka aman, sehat, dan bahagia. Itu saja. Jangan mencoba untuk melewati batas. Jangan mencoba untuk terlibat dalam urusan lain di rumah ini. Dan yang paling penting," ia berhenti sejenak, tatapannya semakin tajam dan penuh peringatan, "jangan pernah, sekali pun, mencoba untuk menggantikan ibu mereka."

Setiap kata terasa seperti tamparan keras di wajah. Sakit, tapi ia tahu ia pantas menerimanya. Di mata Alex, Isabella adalah pengkhianat yang telah meninggalkan mereka.

"Saya mengerti, Tuan Ferguson," bisiknya, menahan air mata yang mengancam akan jatuh. "Saya tahu tempat saya."

Alex menatapnya sekali lagi, seolah mencari sesuatu yang tidak ia temukan, lalu berbalik dan pergi tanpa sepatah kata pun, meninggalkan keheningan yang berat dan dingin di belakangnya.

Malam itu, Isabella berbaring di tempat tidur kecil di kamar stafnya yang sederhana. Dindingnya putih polos, perabotannya minimalis. Sangat jauh dari kemewahan kamar tidur utamanya dulu yang menghadap ke pemandangan kota. Tubuhnya lelah luar biasa, tetapi pikirannya berpacu tanpa henti.

Hari pertama telah berakhir. Itu jauh lebih sulit dan lebih menyakitkan dari yang ia bayangkan. Melihat anak-anaknya memanggilnya dengan nama asing, melihat kebencian dan rasa sakit yang tak terucap di mata pria yang masih ia cintai… rasanya seperti jiwanya terkoyak menjadi dua.

Tapi kemudian, ia teringat momen-momen kecil yang berharga. Saat Eren menyentuh pipinya dan berkata ia wangi seperti ibunya. Saat Adrian akhirnya menunjukkan padanya cara membangun menara yang benar dengan senyum tipis yang langka. Saat Alden tertawa terbahak-bahak dalam pelukannya.

Itu semua sepadan. Rasa sakitnya sepadan.

Ia menyentuh dadanya, merasakan detak jantung Celine yang stabil dan kuat. Ini bukan lagi hanya tentang bertahan hidup. Ini adalah tentang merebut kembali surga yang telah direnggut darinya. Ini adalah medan perangnya. Dan ia baru saja mengambil langkah pertamanya. Dengan air mata yang akhirnya mengalir dalam diam di kegelapan, Isabella berjanji pada dirinya sendiri. Ia tidak akan menyerah. Ia akan memenangkan kembali keluarganya, satu hari yang menyakitkan pada satu waktu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!