Dua minggu berlalu dalam sekejap, namun bagi Isabella, waktu terasa meregang dan melipat dengan cara yang aneh. Setiap hari adalah surga sekaligus neraka yang ia jalani dengan napas tertahan. Surga, karena ia bisa menghirup udara yang sama dengan anak-anaknya, merapikan rambut mereka, dan mendengar tawa mereka dari dekat. Neraka, karena ia harus melakukannya di balik topeng seorang wanita bernama Celine, menahan keinginan yang menyiksa untuk memeluk mereka erat dan berbisik, "Ibu di sini."
Kehadirannya secara perlahan tapi pasti mengubah atmosfer penthouse yang dingin dan kaku itu. Keheningan yang biasanya hanya dipecah oleh perintah-perintah staf atau tangisan frustrasi anak-anak, kini sering kali diisi oleh celoteh riang Alden yang menceritakan petualangannya, senandung Eren saat menggambar, dan bahkan suara tawa Adrian yang jarang terdengar saat Isabella berhasil mengalahkannya dalam permainan catur strategi.
Perubahan itu tidak luput dari pengamatan Nyonya Diana. Kepala rumah tangga yang biasanya sinis itu mendapati dirinya lebih sering tersenyum tipis. Dapur tidak lagi tegang, karena anak-anak kini makan dengan lahap. Para pengasuh lain tampak lebih rileks, karena "Nona Celine" memiliki kemampuan magis untuk meredakan badai tantrum bahkan sebelum dimulai. Ia seperti seorang pawang yang memahami bahasa rahasia ketiga pangeran dan putri kecil keluarga Ferguson. Efisiensi di rumah itu meningkat, bukan karena aturan yang lebih ketat, tetapi karena kebahagiaan yang mulai merembes ke setiap sudut.
Isabella membangun rutinitasnya di atas ranjau darat emosional. Ia belajar untuk memanggil anak-anaknya dengan nama lengkap mereka, bukan dengan panggilan sayang yang hanya ia yang tahu. Ia belajar untuk menjawab pertanyaan mereka tentang "Ibu Isabella" dengan jawaban netral yang disiapkan Nyonya Diana, setiap kata terasa seperti asam di lidahnya. Ia belajar untuk menunduk dan menghindari tatapan Alex setiap kali pria itu berada di ruangan yang sama, karena menatap mata pria itu terlalu lama terasa seperti menyentuh api.
Alex sendiri menjadi sosok yang semakin membingungkan. Ia menghabiskan lebih sedikit waktu di kantor, sering kali pulang lebih awal dengan alasan yang dibuat-buat. Isabella tahu, pria itu mengamatinya. Kadang-kadang, saat ia sedang membacakan dongeng untuk anak-anak, ia akan merasakan sepasang mata tajam memperhatikannya dari ambang pintu. Saat ia menoleh, Alex akan segera berpaling atau menghilang, seolah tertangkap basah melakukan sesuatu yang terlarang. Kehadirannya di rumah menjadi semakin sering, namun jarak di antara mereka terasa semakin jauh dan penuh dengan kecurigaan yang tak terucap.
Malam itu, badai petir mengguncang ibu kota. Guntur menggelegar seperti genderang perang raksasa, dan kilat menyambar, menerangi langit yang gelap gulita. Isabella baru saja akan kembali ke kamarnya setelah memastikan semua anak tertidur lelap. Namun, saat melewati kamar Adrian, ia mendengar suara isak tangis yang tertahan.
Dengan pelan, ia mendorong pintu yang sedikit terbuka. Di dalam, di atas tempat tidurnya yang besar, Adrian duduk meringkuk sambil memeluk lututnya. Tubuhnya gemetar setiap kali guntur berbunyi. Putra sulungnya yang selalu berusaha tampil kuat dan tegar itu ternyata sangat takut pada badai. Sebuah rahasia kecil yang hanya diketahui oleh ibunya.
"Adrian?" bisik Isabella lembut dari ambang pintu.
Anak itu mengangkat kepalanya, matanya yang biasanya tajam kini basah dan penuh ketakutan. "Aku tidak apa-apa," katanya cepat, mencoba mempertahankan harga dirinya. "Aku tidak takut."
Isabella tersenyum tipis. Ia masuk dan duduk di tepi tempat tidur, menjaga jarak yang aman. "Tentu saja kau tidak takut," katanya setuju. "Kau hanya tidak suka suara berisik yang mengganggu strategimu untuk esok hari, kan?"
Adrian menatapnya, sedikit terkejut dengan pemahaman wanita itu. Ia mengangguk pelan.
"Dulu," Isabella memulai, suaranya pelan dan menenangkan, "saat aku masih kecil, ibuku selalu menyanyikan sebuah lagu untukku saat ada badai. Katanya, melodi lagu itu lebih kuat dari suara guntur mana pun."
"Lagu apa?" tanya Adrian, rasa penasarannya mengalahkan rasa takutnya.
Dan di sanalah, tanpa berpikir, Isabella melakukan kesalahan terbesarnya. Didorong oleh naluri seorang ibu yang ingin menenangkan anaknya, ia mulai menyenandungkan sebuah melodi. Melodi yang lembut, rumit, dan penuh kerinduan. Bukan lagu nina bobo biasa yang dikenal semua orang. Ini adalah lagu mereka. Sebuah melodi tanpa lirik yang Alex ciptakan khusus untuknya di awal pernikahan mereka, yang sering ia senandungkan untuk menidurkan bayi-bayi kembarnya.
Saat nada-nada pertama mengalun di ruangan yang temaram itu, ketegangan di bahu Adrian perlahan mengendur. Ia merebahkan kepalanya kembali ke bantal, matanya yang berat mulai terpejam, terbuai oleh keakraban yang tak bisa ia jelaskan.
Isabella terus bernyanyi, matanya terpejam, terbawa oleh kenangan manis yang menyakitkan. Ia tidak menyadari sosok tinggi dan gelap yang berdiri membeku di ambang pintu kamar yang terbuka, bayangannya terpantul oleh kilat yang menyambar sesaat.
Alex baru saja akan masuk ke ruang kerjanya saat mendengar suara senandung itu. Awalnya ia mengira itu hanya imajinasinya, gema dari masa lalu yang sering menghantuinya di malam-malam sepi. Tapi suara itu nyata, mengalir dari kamar putranya.
Jantungnya seolah berhenti berdetak. Dunia di sekelilingnya lenyap. Hanya ada melodi itu. Melodi rahasia mereka. Lagu yang ia ciptakan di atas piano pada suatu malam hujan, hanya untuk Isabella. Lagu yang belum pernah ia mainkan lagi sejak wanita itu pergi. Lagu yang seharusnya sudah mati dan terkubur bersama cintanya yang hancur.
Bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin wanita ini, Celine Severe, seorang orang asing, mengetahui melodi itu?
Saat nada terakhir dari senandung Isabella memudar, dan napas Adrian sudah teratur dalam tidurnya, Alex melangkah masuk ke ruangan. Gerakannya tiba-tiba dan tanpa suara, membuat Isabella terlonjak kaget saat menyadari kehadirannya.
"Tuan Ferguson!" serunya pelan, tangannya refleks meremas selimut.
Alex tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya menatapnya, matanya menyala dengan intensitas yang menakutkan di dalam kegelapan. Wajahnya adalah topeng kemarahan yang dingin dan keterkejutan yang tak terselubung.
"Lagu itu," desis Alex, suaranya rendah dan berbahaya. "Di mana kau mendengarnya?"
Pikiran Isabella menjadi kosong. Panik yang dingin menjalari tulang punggungnya. Ia sadar akan kesalahannya. Ia telah melanggar batas, membuka sebuah kotak Pandora yang seharusnya tetap terkunci.
"Sa-saya tidak tahu, Tuan," gagapnya, otaknya bekerja keras mencari kebohongan yang masuk akal. "Itu... itu hanya lagu nina bobo biasa, bukan?"
"Jangan bohong padaku!" bentak Alex pelan, namun penuh penekanan. Ia melangkah lebih dekat, menjulang di atasnya. "Itu bukan lagu biasa. Aku belum pernah mendengarnya dinyanyikan oleh orang lain. Siapa yang mengajarimu lagu itu?"
Pertanyaannya terasa seperti tuduhan. Seolah Alex sudah tahu jawabannya tapi ingin mendengarnya mengaku.
"Ibu saya," kata Isabella tiba-tiba, sebuah kebohongan putus asa meluncur dari bibirnya. "Ibu saya yang sudah meninggal... beliau biasa menyanyikannya untuk saya saat saya kecil. Saya bahkan tidak ingat semua notnya, itu hanya muncul begitu saja di kepala saya."
Ia menunduk, menggunakan rambutnya untuk menyembunyikan wajahnya, berharap kebohongannya terdengar meyakinkan.
Alex terdiam. Ia menatap puncak kepala wanita itu, mencoba mencari tanda-tanda kebohongan. Ibunya? Mungkinkah ini sebuah kebetulan yang luar biasa gila? Mungkinkah melodi yang ia pikir ia ciptakan ternyata adalah lagu rakyat tua yang juga diketahui oleh ibu Celine? Kemungkinan itu ada, sekecil apa pun. Tapi hatinya menolak untuk percaya.
"Jangan pernah," kata Alex akhirnya, suaranya serak karena emosi yang tertahan, "menyanyikan lagu itu lagi di rumah ini."
Tanpa menunggu jawaban, ia berbalik dan melangkah keluar dari ruangan dengan cepat, membanting pintu ruang kerjanya hingga menimbulkan gema di lorong yang sunyi.
Isabella tetap duduk di tepi tempat tidur Adrian, tubuhnya gemetar hebat. Ia hampir saja ketahuan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments