3. Cemburuan

“Ayo, ngerokok di depan aku, coba.” Senja menyodorkan sebatang rokok kepada Langit sembari bertolak pinggang memegang tangkai sapu.

Langit menatap ngeri sang tunangan yang tampak sangar. Senja benar-benar galak jika menghadapi Langit, tetapi hasilnya pria itu tak kunjung kapok.

“Aku tadi udah janji gak bakal ngerokok hari ini, Sayang,” sahut Langit berubah cupu.

Senja berdecih. “Jadi besok ngerokok lagi, gitu ‘kan?”

Langit cengengesan sambil menggaruk puncak kepalanya yang tak gatal. “Gak tau, tapi gak bisa janji. Mudah-mudah besok aku dilindungi dari marabahaya—eh, maksudnya dilindungi dari godaan syaiton yang terkutuk.”

Senja menatap malas kekasih sekaligus tunangan nakalnya itu. “Kamu tiap hari emang digodain setan, iman lemah.”

“Makanya, harusnya kamu itu selalu ada di samping aku biar aku gak digodain setan lagi. Kamu ‘kan malaikat aku, kalo deket kamu, godaan setan gak mempan sama aku,” ucap Langit tersenyum lebar ke arah Senja.

“Ha-ha-he-he lo! Koreknya mana?” Senja mengulurkan tangannya meminta korek api kepada Langit.

Langit merogoh saku celananya kemudian memberikan korek api itu dengan wajah ragu. Senja langsung menyambar benda  penghasil api tersebut. Ini tentunya bukan sitaan pertama, tetapi sudah ke sekian kalinya.

“Kalo emang gak mau ngerokok, biar gue yang ngerokok.” Senja mengangkat ujung rokok itu dan bersiap menjepitnya dengan kedua bibir.

Tentu hal itu membuat Langit melotot, ia langsung menyambar sebatang rokok di tangan Senja dan membuangnya. “Apa-apaan kamu? Gak boleh, rokok itu bahaya, gak sehat buat kamu.”

Senja tersenyum sinis. “Itu lo tau, kenapa masih ngerokok?”

Langit seketika terdiam, ia kembali menggaruk puncak kepalanya yang tak gatal. “Itu, aku—”

“Apa, kebal sama penyakit, iya?”

Langit menggeleng sembari cengengesan. Melihat itu, Senja kembali mendengkus kesal.

“Katanya mau jadi dokter, tau rokok bahaya, masih aja dikonsumsi,” gerutu Senja kesal. “Angkat kaki!”

Tanpa membantah, Langit langsung mengangkat sebelah kakinya. Ia masih merasa ngeri melihat tangkai sapu di tangan sang kekasih. Baru beberapa menit lalu tangkai sapu itu sempat menyapa pantatnya dan itu terasa begitu perih.

“Angkat tangan juga!”

Langit mengangkat jari telunjuknya ke atas. Senja melotot melihat itu.

“Yang bener, emangnya lo mau dangdutan? Angkat dua tangan dan pegang telinga!”

“Makanya aba-abanya yang jelas, dong, Sayang.” Langit mulai membawa dua tangannya ke daun telinga.

Mereka berdua kini tengah berada di lapangan sekolah. Tempat sakral sepasang kekasih itu setiap harinya, di mana Senja selalu memberi hukuman kepada Langit di lapangan outdor sekolahan.

Pemandangan itu disaksikan oleh beberapa murid yang berada di luar kelas. Termasuk Neo dan Rance, mereka melihat itu dari lantai atas sembari tertawa ngakak.

“Ngit, sekalian goyang dombret!” teriak Neo dari atas.

Senja dan Langit mendongak ke arah sumber suara. Mereka melihat Neo tengah memutar tubuh memperagakan goyangan yang dimaksud. Para murid lainnya tertawa melihat tingkah Neo.

“Goyang ngebor juga boleh! Ngit, liat gue, Ngit!” teriak Neo lagi.

“Ck, berisik,” gerutu Langit, ia memilih terus memandangi wajah cantik Senja. “Sayang, cari tempat yang teduh, di sini panas, aku gak bakal lari, kok.”

Senja menggulir bola matanya malas. Ia kembali mendongak dan menatap Neo serta Rance.

“Kalian berdua turun!” teriak Senja membuat goyangan Neo terhenti.

“Kita?” Neo menunjuk dirinya dan Rance bergantian.

“Iya, siapa lagi? Atau mau masalah ini gue kasih ke kepala sekolah, biar orang tua kalian dipanggi?” ancam Senja membuat Neo melotot.

“Anjir, jangan-jangan! Gue turun sekarang!” teriak Neo panik. “Bisa dipotong lagi uang jajan gue. Ini karna lo, nih,” gerutunya menatap Rance.

Rance tetap tenang, ia melangkah tanpa beban ke arah tangga untuk turun. Neo terus menggerutu di sela langkahnya menuruni tangga.

“Ce, lo kok anteng banget tiap mau dihukum, heran gue,” ucap Neo melirik Rance.

Rance ikut menoleh dan menatap Neo. “Terus mau gimana lagi? Ngereog?”

Neo berdecak kesal. “Dasar kipas angin!”

Akhirnya tiga murid nakal itu dihukum bersama di lapangan sekolah. Setiap harinya hukuman mereka berbeda-beda, kadang lari keliling lapangan, kadang membersihkan WC dan berbagai hal lainnya.

“Astaga Langit, kamu keringetan. Biar aku bantu lap.” Tiba-tiba seorang gadis datang dan mengelap keringat Langit dengan tisu.

Langit menepis tangan gadis itu dan memilih berpindah tempat. “Jangan deket-deket gue!”

“Aku cuma kasian sama kamu tau. Liat, kamu keringetan gini, cewek itu emang keterlaluan. Aku juga bawa air minum buat kamu, ini aku bukain.” Gadis itu membuka tutup botal air mineral di tangannya.

Duk ... byur ...

“Aaaa!” Gadis itu memekik ketika air di dalam botol tersebut tumpah membasahi tubuhnya.

“Ups, sorry. Kaki gue kesandung batu, lo gak papa? Eh, udah basah, ya? Maaf, ya.” Senja tersenyum manis kepada Mayang, gadis di depannya yang selalu mencoba mendekati Langit.

Mayang menggeram menatap tajam ke arah Senja. Ia mengepalkan tangannya marah.

“Lo sengaja, ‘kan?” teriak Mayang tak terima.

“Enggak, beneran kesandung batu,” sahut Senja santai.

Mayan menatap ke belakang, tak ada batu di lapangan basket itu. “Gak ada batu, lo harus tanggung jawab!”

Senja itu menunduk menatap lapangan yang ditatap Mayang. “Oh, mungkin batunya udah sembunyi, takut ketemu gorila.”

“Pfft, gorila pakai make up,” celetuk Neo menahan tawa.

Mayang menggeram, ia menatap Senja tajam. “Lo yang gorila, parasit! Awas lo!”

Senja menatap kepergian Mayang yang terburu-buru pergi dari sana karena tubuhnya sudah basah. “Cih, parasit? Kebalik kali, udah tau cowok punya pacar, masih aja digangguin,” decih Senja.

Senja menoleh ke arah Langit yang tengah tersenyum. “Apa lo senyum-senyum, sok ganteng lo!”

Langit tertawa melihat wajah kesal Senja. “Bukan sok ganteng, tapi emang ganteng,” balasnya sembari menyugar rambut.

“Dih.” Senja menatap Langit dengan bibir miring. “Hukuman kalian diperpanjang jadi satu jam lagi!”

“Lah!” Tiga pria itu melotot terkejut melihat Senja pergi dari sana dengan wajah kesal.

“Ja, kita kagak ikutan, loh! Ja, Langit aja yang diperpanjang hukumannya!” teriak Neo diangguki Rance.

“Kaki gue lemes, Ja!” sambung Rance.

“Aku makin keringetan ini, Sayaang! Honey bunny sweetie!” teriak Langit membuat Neo dan Rance menatapnya geli.

“Biar sekalian itu cewek balik dan lap keringet lo!” ketus Senja tak mau tahu. “Kamu keringetan, iki binti lip, yiii! Iuuuh!”

Neo dan Rance menoleh kesal ke arah Langit.

“Ulah lo, nih! Harusnya hukuman kita udah selesai,” gerutu Neo diangguki Rance.

“Kenapa jadi gue? Harusnya yang salah itu Ace, ngapain dia pake kasih rokoknya ke Senja?” balas Langit melirik Rance tak kalah kesal.

Neo pun akhirnya ikut mengangguk dan menatap Rance. “Bener, lo biang masalahnya. Pake acara kasih rokoknya ke Senja.”

“Ck, gue ‘kan niatnya mau jujur,” sahut Rance tanpa dosa.

“Bapak kau jujur! Basah ketek gue, bangsul!” teriak Langit kesal.

“Gue tempeleng juga lo. Dasar kipas angin!” gerutu Neo.

Beberapa waktu kemudian, tiga pemuda itu berbaring di tepian lapangan yang teduh. Mereka tampak kelelahan dengan peluh bercucuran di seluruh tubuh.

“Bener-bener si Senja, sampe basah ke dalem-dalem. Tuhaan, mana ke sekolah kagak bawa kolor, lagi,” celoteh Neo sembari mengibaskan bajunya karena gerah.

“Gue bawa.”

Langit dan Neo serentak menoleh ke arah Rance dengan wajah terkejut serta tak percaya.

“Anjir, lo bawa kolor ke sekolah? Buat apaan?” tanya Neo heran.

“Buat gambar.”

“Gambar pake kolor?” tanya Langit cengo.

“Iya, buat warnain gambarnya,” sahut Rance.

Langit dan Neo saling tatap sejenak, sebelum akhirnya mengumpat bersamaan.

“Itu color, pensil warna, tai lo!” umpat Langit serasa ingin menempeleng Rance.

“Emang iya, ‘kan? Gue salah apa?” sahut Rance tanpa dosa, Langit pun hanya bisa menarik napas penuh kesabaran.

“Lo salah karna lo napas, asu! Bangke emang ini anak,” gerutu Neo gemas.

“Untung gue penyabar,” ujar Langit lelah. Pria itu menoleh ke samping dan menggeram melihat Senja tengah berbicara bersama seorang pria. “Bedebah itu lagi,” desisnya.

Neo dan Rance menoleh ke arah Langit yang sudah berjalan cepat bak mengejar setan.

“Dih, baru aja dia bilang penyabar. Sekarang otw nonjok orang,” celetuk Neo berdiri dari duduknya.

“Ayo, sebelum Langit ngamuk beneran.” Rance berjalan cepat menyusul Langit.

Terpopuler

Comments

Nova Silvia

Nova Silvia

kan bilang ee suka ma ja

2025-09-15

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!