4 ~ Rencana Zahir (2)

BAB 4

 

Zahir sedang menelpon dan mengucap kata sayang saat berbicara. Sangat jelas di telinga Adel. Saat pria itu menoleh ke arahnya lalu mengarahkan untuk masuk dengan lambaian tangannya. Perasaan Adel tidak menentu, panggilan sayang yang Zahir ucapkan membuatnya bertanya-tanya ditujukan untuk siapa.

“Sudah dulu, ya. Nanti aku hubungi lagi. Bye, sayang.”

Lagi, Zahir mengucapkan kata sayang. Tidak mungkin kata itu untuk seorang pria, sudah pasti wanita. Namun, siapa wanita itu?

Sudah duduk di depan meja Zahir agak menunduk dengan map di atas pangkuan dan jemari saling meremas. Apa mungkin ia cemburu, rasanya tidak karena ia belum se cinta itu pada Zahir.

“Mana draftnya?”

Adel masih menunduk.

“Adelia,” panggil Zahir.

“Eh, iya, pak.” Adel mengangkat wajahnya menatap pria itu, atasannya.

Zahir tersenyum lalu mengulurkan tangannya. “Mana berkasnya.”

“Oh.” Adel menyerahkan dokumen yang dia bawa.

“Kamu, apa kabar?” tanya Zahir menatap Adel dan tidak berfokus pada berkas tersebut.

Adel sempat terpaku lagi. “Saya … baik, pak.”

“Yang itu, sudah tidak sakit lagi?”

Pagi itu saat di hotel, sebelum meninggalkan kamar. Adel masih merasakan tidak nyaman dengan tubuhnya. Saat itu Adel sempat dibuat terpesona dengan perhatian Zahir bahkan terucap akan menggendongnya ke mobil kalau sakit saat berjalan.

“Tidak, pak. Sudah tidak sakit lagi.”

“Syukurlah. Maaf sudah menyakitimu.”

Adel menarik nafas mendengar kalimat itu. Pikirannya belum bisa menyortir apakah kalimat itu murni perhatian atau basa-basi sekedar gombalan belaka.

“Adelia,” tegur Zahir lagi karena ia kembali melamun.

“Iya, pak.”

“Kamu … kenapa?”

Adel menggeleng cepat dan Zahir tersenyum karena ulahnya. Kekhawatiran dan keraguan masih ada dan ia tidak bisa membiarkan penasaran membuatnya sesak.

“Pak Zahir, malam itu … bapak bilang akan tanggung jawab.” Adel bicara lirih dan hati-hati, khawatir ia salah ucap dan ada rasa takut.

“Oh, tentu saja.” Zahir bicara sambil memandangnya dan bersandar, terlihat tanpa beban.

“Lalu yang tadi bapak panggil … sayang. Siapa?”

Zahir terdiam dan tatapannya tajam juga raut wajah datar. Mendadak mood Adel pun ikut berubah. Mungkin ia salah bicara, seharusnya tidak bertanya dan bersabar dulu. Berniat meminta maaf kalau ia salah bicara, tapi Zahir malah terkekeh.

“Pak!”

“Jadi kamu tidak fokus karena cemburu?”

“Oh, bukan begitu pak. Saya cuma … penasaran.” Adel menjelaskan sambil menggeleng pelan.

“Yang tadi itu, Bunda. Aku bisa panggil dia sayang.”

Ada hela lega dalam tarikan nafas Adel. Ternyata ia sudah berburuk sangka. Zahir memang pria idaman, selain tampan, berkharisma dan penuh tanggung jawab ternyata sayang dengan keluarganya. Pria yang sangat dekat dan begitu menyayangi ibunya, tidak akan menyakiti hati perempuan. Membuat Adel semakin menaruh harapan pada pria itu.

“Kita bicara lagi nanti, aku masih ada acara.” Zahir menekuk lengannya untuk melihat layar jam tangan.

“Maaf pak, kita perlu bicara masalah tanggung jawab yang bapak janjikan. Saya ….”

“Kita bicarakan lain waktu, aku hampir telat dan tidak bicarakan itu di kantor.”

Pak Zahir, mengusir atau menghindar, batin Adel.

“Maksudku, kita bicara di luar, café atau rumahmu juga boleh.”

Senyum Adel merekah, Zahir memang serius. Sempat takut pria ini akan mangkir karena berkesan ia diusir, nyatanya tidak begitu.

“Baik pak, kapan bapak siap saya akan luangkan waktu.”

Zahir tersenyum dan mengangguk. “Minta sekretarisku masuk!” titah Zahir lalu mengalihkan pandangan menatap layar laptop.

Adel berdiri. “Baik pak, terima kasih.” Ia mengangguk dan beranjak dari sana bahkan Zahir tidak menjawab pamitnya. Sempat menoleh untuk  menatap Zahir sebelum membuka pintu, pria itu tampak begitu serius. Padahal ia berharap pertemuannya kali ini bisa lebih hangat, tapi tidak masalah selama Zahir akan bertanggung jawab.

Setelah menyampaikan pesan untuk sekretaris Zahir, Adel kembali menuju ruang kerjanya. Nyatanya ia berpapasan dengan Mona.

“Mau kemana?”

“Ke HRD dulu. Makan siang jangan tinggalin aku ya.”

“Oke,” sahut Adel.

Mona tersenyum sekilas lalu berubah sinis saat Adel berlalu. Bergegas menuju ruang kerja Zahir, tepat saat sekretarisnya keluar dari sana.

“Bapak di dalam ‘kan?” tanya Mona menunjuk ke arah pintu.

“Hm. Ada perlu apa?”

“Bukan urusan kamu. Minggir!” usir Mona karena sekretaris Zahir masih berdiri di depan pintu menghalanginya untuk masuk.

“Jangan lama, bentar lagi beliau mau jalan. Ada pertemuan di luar.”

“Bawel.”

Mona pun mengetuk dan langsung membuka pintu, entah sudah dipersilahkan masuk atau belum.

“Hai, Pak Zahir,” sapa Mona sambil menutup pintu. “Gimana bersama Adel, seru?”

Zahir berdecak pelan dan Mona sudah duduk di depan mejanya dengan menyilang kaki.

“Masih orisinil, tapi … monoton. Kurang agresif.”

“Mungkin karena dia mabuk, lagian saya udah bilang pake obat aja. Dianya tetap sadar dan pasti liar. Ini malah suruh dibikin mabuk.”

Zahir melirik Mona sekilas lalu kembali fokus pada Layar laptopnya.

“Sebentar lagi saya jalan, kalau tidak ada yang mau dibahas sebaiknya kamu keluar.”

“Oke, tapi jangan lupa. Bonus saya bulan ini juga kompensasi karena sudah bantu bapak menjebak Adel. Gak murah ‘loh karena saya sudah mempertaruhkan pertemanan saya sama dia.”

“Nanti malam cek rekening dan jangan pernah bahas masalah ini lagi.”

Ucapan Zahir mengandung tekanan dan ancaman meski nada bicaranya biasa saja. Bukan hanya sekedar ancaman, biasa menggunakan jabatannya untuk melakukan sesuatu di perusahaan yang berhubungan dengan bawahannya. Juga menyelesaikan masalah dengan uang dan kekerasan untuk urusan pribadi.

“Siap, yang penting sesuai dengan janji bapak saya pun akan simpan rahasia ini.”

Mona sudah berdiri, tapi kembali duduk.

“Bapak mau nikahi Adel?”

“Nikah dengan dia? Jangan gila kamu.”

“Dia bilang bapak mau tanggung jawab,” seru Mona.

“Ya nggak nikahin dia juga. Istri saya mungkin sudah berjejer kalau setiap wanita yang saya tiduri harus dinikahi.”

“Dia berharap bapak nikahi loh.”

“Terserah dan jangan bahas masalah ini lagi!”

“Oke.” Mona pun benar-benar beranjak dari kursinya.

“Mona,” panggil Zahir saat wanita itu sudah hampir sampai pintu. “Kapan kita main lagi, bertiga dengan Neli,” seru Zahir, Neli adalah sekretarisnya.

“Tergantung waktunya dan tidak gratis.”

“Atur saja.” Zahir berdiri dan mengambil jas yang digantung tidak jauh dari kursi kerjanya.

“Siap, dijamin tidak akan monoton seperti dengan Adel.” Mona mengerling genit bahkan memberikan cium jauh pada Zahir. 

Terpopuler

Comments

Dwi ratna

Dwi ratna

idih bener² y s Zahir maniak ternyata, duh kesian klo Adel hamil anknya Zahir 😭😭😭

2025-09-06

0

hiro_yoshi74

hiro_yoshi74

wihhhhh ternyata di bab ini makin terkuak belangya si mujahir ma .......

2025-09-06

0

hiro_yoshi74

hiro_yoshi74

noh ternyata ada udang dibalik pertemanan.

2025-09-06

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!