Dua perbedaan

Ternyata, minum obat saja tidak cukup untuk meredakan sakit perut yang diderita oleh Aryan. Malam itu juga, sang asisten langsung menelepon Ambulance untuk membawa Aryan ke rumah sakit.

"Kak Aryan... Maafkan aku. Aku benar-benar lupa jika Kak Aryan tidak bisa makan pedas," ucap Luna sambil menangis terisak.

Aryan yang terbaring di ranjang rumah sakit dengan wajah yang pucat hanya bisa terdiam. Tenaganya belum pulih. Sekadar mengatakan sepatah dua patah kata saja, dia tak sanggup.

Hanya Luna yang terus berceloteh sehingga menyebabkan dia tak bisa beristirahat sama sekali. Padahal, Aryan hanya ingin tidur sebentar. Berharap, ketika dia membuka mata kembali, rasa sakitnya akan menghilang.

"Kak Aryan, kenapa diam saja? Apa Kak Aryan nggak mau memaafkan aku?" lanjut Luna.

Karena benar-benar sudah tak tahan, maka Aryan langsung memberi kode kepada asistennya untuk membawa Luna keluar.

"Nona Luna, Tuan Aryan butuh istirahat yang cukup. Silakan Anda pulang ke apartemen terlebih dulu!" kata asisten pribadi Aryan dengan lugas.

"Tidak mau," tolak Luna. "Aku ingin di sini. Aku ingin menemani Kak Aryan di sini."

"Tuan Aryan tidak mau Anda kelelahan. Jadi, Tuan Aryan sudah mengatur sopir untuk mengantarkan Anda kembali ke apartemen."

"Tapi, nanti Aryan dengan siapa di sini?" tanya Luna lagi.

"Dengan saya," jawab sang asisten sambil menepuk dadanya.

Luna pun mengangguk. Sejujurnya, dia sangat lega karena Aryan membolehkan dia pulang. Bermalam di rumah sakit pastilah tidak nyaman. Kasurnya tidak seempuk kasur yang ada di apartemen. Selain itu, mengurus orang sakit juga pasti sangat merepotkan. Luna tidak suka.

"Baiklah. Kak Aryan, aku pulang dulu. Besok pagi, aku akan menjengukmu kembali. Cepat sembuh!"

Cup!

Luna mengecup pipi Aryan lalu beranjak pergi dengan cepat. Seolah-olah, dia takut jika Aryan berubah pikiran kemudian malah menahannya tinggal di rumah sakit.

Hal itu membuat Aryan tiba-tiba mengingat Anjani kembali. Andai sang istri tahu jika dia sedang sakit, pasti Anjani akan langsung menyusulnya kemari lalu bersikeras merawat Aryan hingga benar-benar sembuh.

Ya, Anjani memang seperhatian itu. Sayangnya, bagi Aryan, semua perhatian Anjani hanyalah sesuatu yang sangat sia-sia. Toh, pada akhirnya, Aryan memang berencana meninggalkan Anjani.

"Tuan, apa saya harus mengabari Nona Anjani tentang keadaan Anda?"

"Tidak usah," geleng Aryan. Mengabari Anjani hanya akan membuat wanita itu panik kemudian nekat menyusulnya ke kota ini.

Hal itu akan sangat berbahaya mengingat Luna yang juga ada di sini bahkan tinggal di apartemen yang sama dengan dirinya. Aryan tak ingin ada pertengkaran antara istri dan kekasihnya.

"Kalau begitu, apa saya perlu meminta resep bubur yang selalu Nona Anjani buatkan untuk Anda setiap kali sakit perut Anda kambuh?"

"Ya," angguk Aryan setuju. Dia memang sangat membutuhkan bubur itu untuk saat ini. Hanya bubur buatan Anjani yang selalu berhasil membuat sakit perutnya berangsur membaik.

"Tapi, jangan bilang jika saya sedang sakit. Katakan saja... saya sedang sangat ingin makan bubur itu," imbuh Aryan.

"Baik, Tuan."

Keesokan harinya, ketika Aryan terbangun, semangkuk bubur sudah berada diatas nakas dekat tempat tidurnya. Bubur itu mengeluarkan aroma yang khas. Namun, entah kenapa, Aryan merasa jika aroma bubur itu sedikit berbeda dari aroma bubur yang selalu dibuat sendiri oleh Anjani.

"Mungkin, hanya perasaanku saja" gumam Aryan dalam hati.

"Tuan, Anda sudah bangun?"

Asisten pribadi Aryan yang semula sedang fokus mengerjakan tugas di laptop, langsung berdiri dan menghampiri Aryan yang tampak kesusahan untuk duduk. Pria itu langsung membantu Aryan tanpa banyak basa-basi.

"Siapa yang memasak bubur ini?" tanya Aryan dengan suara lemas.

"Koki ahli yang ada di apartemen, Tuan," jawab sang asisten.

"Aromanya sedikit berbeda," gumam Aryan.

Sang asisten sebenarnya mendengar namun memilih untuk tidak berkomentar. Soal aroma, itu bukan masalah. Yang terpenting adalah rasanya.

"Anda ingin makan sekarang?" tanya sang asisten.

"Berikan padaku! Saya bisa makan sendiri!" titah Aryan yang menolak untuk disuapi oleh sang asisten.

Pria itu pun patuh memberikan mangkuk bubur itu kepada Aryan. Dia melangkah sedikit mundur. Menunggu untuk diberi perintah berikutnya oleh Aryan.

"Rasanya berbeda. Ini bukan bubur yang biasanya dibuatkan oleh Anjani," protes Aryan. Dia mengernyitkan keningnya sambil melepeh bubur itu kembali ke dalam mangkuk.

"Anda tidak suka?" Sang asisten langsung mengambil alih mangkuk bubur itu.

"Tidak," geleng Aryan. "Rasanya aneh. Jangan-jangan, resepnya salah."

"Tidak mungkin ada kesalahan, Tuan. Nona Anjani sendiri yang mengirimkan daftar bahan-bahannya."

"Lalu, kenapa rasanya berbeda?"

"Saya juga tidak tahu," jawab sang asisten kebingungan.

"Apa Anjani tidak bertanya, kenapa saya tiba-tiba ingin memakan bubur ini?"

"Tidak," geleng pria itu dengan sedikit kaku. "Saat saya bertanya resep, Nona Anjani langsung menjawab dan memberitahu semua bahan-bahannya. Setelah itu, Nona Anjani langsung mematikan teleponnya."

Tanpa sadar, telapak tangan Aryan mengepal kuat. Bagaimana mungkin Anjani tidak menanyakan kabarnya sedikitpun? Bukankah, selama ini Anjani adalah orang yang paling mengkhawatirkan dirinya?

Hampir setiap jam, Anjani pasti akan mengirim pesan menanyakan kabar ataupun kegiatannya. Namun, sudah lebih dari empat puluh hari berlalu dan Anjani belum bertanya kabar sama sekali.

Kenapa sikap Anjani tiba-tiba berubah? Apa karena permintaan cerai yang dilayangkan oleh Aryan?

"Kak Aryan!" pekik Luna dengan suara manja nan centilnya.

Sosoknya yang selalu tampak kekanak-kanakan adalah hal yang dulu sangat menarik perhatian Aryan. Tingkahnya sangat menggemaskan. Membuat Aryan selalu merasa dibutuhkan.

"Ada apa kamu kemari?" tanya Aryan.

"Aku bawakan semur daging untuk Kak Aryan. Bagaimana kalau kita makan sama-sama?"

"Nona Luna!" panggil asisten Aryan. Dia segera menahan tangan Luna yang hendak menyuapi Aryan.

"Ada apa? Lepaskan tanganmu!" balas Luna dengan nada galak.

"Tuan Aryan mengalami masalah perut. Untuk saat ini, beliau tidak bisa memakan makanan seperti itu."

Tangan Luna langsung mengendur. Ia menjatuhkan sendoknya ke dalam rantang.

"Maaf, Kak. Aku lagi-lagi nggak tahu. Aku memang bodoh," kata Luna yang kembali meneteskan air matanya.

"Kalau sudah tahu bodoh, maka cepat singkirkan makanan itu dari hadapan Tuan Aryan. Cepat!" titah asisten Aryan dengan nada tegas.

Luna mendengkus kasar. Dia berdiri dengan perasaan kesal lalu mengemasi kembali rantang yang tadi dia bawa.

Sebelum pergi, dia menatap asisten Aryan dengan sengit. "Awas kamu, Doni! Setelah aku resmi menjadi istri sahnya Kak Aryan, kamu akan menjadi orang pertama yang aku singkirkan!"

Sambil menghentakkan kakinya, Luna pun keluar dari ruangan itu.

"Jangan galak-galak pada Luna! Kasihan dia," kata Aryan sambil menghela napas panjang.

Asisten Aryan yang bernama Doni itu pun bereaksi. "Maaf! Tapi, saya benar-benar tidak tahan dengan tingkah laku Nona Luna. Dia sudah sangat keterlaluan. Ini bukan pertama kalinya dia membuat sakit perut Anda menjadi kambuh."

"Dia masih anak-anak. Jangan terlalu perhitungan, Doni," timpal Aryan sambil tersenyum kecil.

Doni berdecak sinis. "Ck! Anak-anak? Dia hanya lebih muda satu minggu dibanding Nona Anjani. Tapi, Nona Anjani jelas-jelas lebih dewasa dan perhatian dibanding dia."

Kata-kata Doni sukses membuat Aryan tercenung. Dia sempat lupa jika Anjani dan Luna hanya berbeda usia satu minggu. Tapi, kenapa Anjani bisa sedewasa itu? Kenapa Anjani bisa pengertian, bertanggungjawab, dan menunaikan segala tugasnya dengan baik? Sementara, Luna malah sebaliknya.

Luna selalu menggantungkan masalahnya pada Aryan ataupun kedua orangtuanya.

Terpopuler

Comments

Erna Wati

Erna Wati

semoga km sepat sadar aryan

2025-09-06

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!