"Anjani!"
Anushka langsung memeluk Anjani begitu Anjani menoleh ke arahnya. Meski,awalnya dia terdiam cukup lama karena pangling akan penampilan Anjani, namun semua itu kini tak jadi soal.
"Anushka!"
"Aku sangat merindukan kamu, Anjani," lirih Anushka. Gadis itu jujur. Benar-benar sangat jujur.
"Aku juga," balas Anjani.
Setelah itu, mereka duduk bersama di ruang tamu. Anjani langsung menceritakan semuanya kepada Anushka tanpa diminta. Semua beban yang selama ini berusaha ia pikul sendiri, kini perlahan dia bagi kepada sang sahabat.
"Dasar bodoh! Sudah tahu Aryan tidak pernah tulus kepadamu. Tapi, kenapa kamu masih saja mau menuruti perkataannya, hah? Lihat hasilnya sekarang! Kamu benar-benar terlihat seperti orang yang sangat berbeda."
"Mau bagaimana lagi, Anushka? Aku terpaksa. Kamu tahu sendiri jika kondisi Ibuku nggak stabil, kan? Saat suasana hatinya berubah, dia bisa melakukan apa saja. Termasuk... menganiaya aku," kata Anjani dengan suara lirih di akhir kalimat.
Anushka langsung memeluk Anjani dari arah samping. Dia tahu betul bagaimana kondisi keluarga Anjani.
Sejak sang Ayah membawa pulang wanita simpanan serta anak hasil selingkuhannya pulang ke rumah, Ibu kandung Anjani tiba-tiba menjadi depresi. Dia jadi sering mengamuk dan mencelakakan orang lain.
Hingga akhirnya, sang Ibu pun diusir dari rumah utama dan justru dipindahkan ke daerah pedesaan. Disana, sang Ibu dirawat oleh empat orang asisten rumah tangga. Dan, saat mendengar bahwa Anjani akan menikah, barulah kondisi Ibu Anjani berangsur-angsur membaik hingga akhirnya bisa kembali normal seperti sebelumnya. Ya, meskipun dia tak bisa lagi kembali ke posisinya yang lama sebagai Nyonya besar keluarga Syailendra karena sang suami yang tak menginginkan dirinya lagi.
"Tapi, kamu bilang kamu akan bercerai. Apa kamu sudah memikirkan cara untuk menyampaikan berita ini kepada Tante Mariana?"
Anjani menggeleng. "Belum," jawabnya.
"Terus, bagaimana?"
"Entah lah! Aku sedang tidak ingin memikirkan hal itu untuk saat ini. Lebih baik, aku fokus untuk menguruskan badan dulu. Sekalian, aku juga ingin mencari pekerjaan paruh waktu. Kira-kira, apa kamu bisa membantuku?"
"Tentu saja bisa," angguk Anushka. "Apa sih, yang tidak bisa aku lakukan untuk kamu?"
Mendengar itu, Anjani tersenyum lega. Untungnya, Anushka tidak menaruh dendam kepadanya. Padahal, dia sudah mengabaikan Anushka selama dua tahun.
"Besok, bersiaplah! Kita akan mulai diet dan olahraga!"
Anjani mengangguk. Dia sudah tak sabar untuk mendapatkan bentuk tubuhnya kembali.
****
Hari terus bergulir tanpa terasa. Empat puluh hari telah Anjani lewati tanpa kehadiran Aryan.Tenyata, semua baik-baik saja. Tanpa Aryan, Anjani justru bisa menikmati hidup yang sesungguhnya.
Dia jadi lebih sering tertawa. Dia tak lagi dikejar-kejar oleh pekerjaan rumah yang tak ada habisnya. Mau bangun atau tidur kapan saja, bebas. Pun, dalam hal memasak. Sekalipun, hanya memasak satu jenis lauk, tidak akan ada yang mengajukan protes.
"Anushka, sepertinya dasterku sudah melar semua. Apa kamu bisa menemaniku untuk membeli pakaian baru?"
"Bukan dastermu yang melar, Anjani. Tapi, tubuhmu yang sudah mulai kurus."
"Ah, tidak mungkin. Perasaan, tubuhku begini-begini saja. Belum ada perubahan."
"Itu hanya perasaanmu saja. Makanya, sesekali timbang berat badanmu! Selain itu, sering-seringlah berkaca!"
"Aku tidak berani," geleng Anjani.
Setelah mendengar rekaman suara Aryan yang dikirimkan oleh Luna, Anjani memang mendadak takut pada timbangan dan cermin.
Entahlah! Sepertinya ucapan Aryan berhasil memberi dampak psikologis yang cukup besar dalam diri Anjani.
"Kenapa tidak berani? Kamu tidak percaya pada perkataanku?" tanya Anushka.
"Aku takut, Anushka. Kalau ternyata aku masih sama saja dengan aku yang empat puluh hari lalu, bagaimana? Aku tidak mau."
Anushka mendesah samar. Dia merasa prihatin dengan kondisi Anjani saat ini. Tekadnya untuk berubah memang sudah ada. Namun, perkataan Aryan yang memang sangat menyakiti hati bahkan sampai melucuti harga diri, memang tidak semudah itu untuk diabaikan.
"Baiklah! Untuk saat ini, tidak ada timbangan maupun kaca. Tapi, empat puluh hari kemudian, kamu harus berjanji bahwa kamu akan menimbang berat badan dan juga melihat wajahmu sendiri didepan kaca," pinta Anushka.
"Baiklah," angguk Anjani.
Setelah Anushka pulang, Anjani kembali sendirian. Dia menatap ke arah cermin meja rias yang sudah dia tutupi dengan koran. Sengaja, agar dia tidak melihat wajahnya yang kata Aryan begitu buruk rupa.
Mengabaikan pikiran negatif yang kembali muncul, Anjani pun lekas membuka laptop kemudian mengerjakan sebuah desain rumah yang dipesan oleh klien perusahaan Anushka.
Ya, Anjani adalah seorang arsitek. Lulus dengan nilai tertinggi seangkatan dan pernah memenangkan lomba mendesain sebuah monumen bersejarah di kotanya.
Namanya pernah melambung tinggi. Tak hanya karena desainnya yang menarik namun karena wajahnya yang cantik. Namun, kini dirinya telah dilupakan. Semua prestasinya hanya tinggal kenangan yang bahkan bagi sebagian orang mungkin sudah tidak penting lagi.
Enam puluh hari lagi. Terdengar lama namun juga singkat. Pertanyaannya, sanggupkah Anjani benar-benar kembali seperti dirinya yang dulu setelah enam puluh hari itu berlalu?
*****
Ketika Anjani sedang mati-matian berjuang untuk merubah diri menjadi lebih baik di kota sebelah, Aryan justru sedang menikmati kebersamaannya dengan Luna di kota yang sekarang dia tinggali.
Hampir dua puluh empat jam mereka selalu bersama. Kebersamaan itu hanya akan terjeda jika Aryan punya pekerjaan ataupun rapat penting.
"Apa yang sedang kamu lihat, Kak Aryan? Kenapa kamu terus fokus pada layar ponselmu sejak tadi?"
Aryan tersentak kaget. Dia langsung mematikan layar ponselnya kemudian menyimpan kembali ponsel tersebut didalam saku jasnya.
"Tidak lihat apa-apa. Hanya sedang memeriksa beberapa pekerjaan," jawab Aryan berbohong.
"Sudah lewat empat puluh hari. Tapi, kenapa Anjani belum pernah menelfon atau mengirim pesan sekalipun?" gumam Aryan gelisah didalam hatinya.
"Dia... Baik-baik saja, kan?" lanjutnya bermonolog.
Entah kenapa, Aryan merasa sangat gelisah. Hilangnya Anjani dari hidupnya terasa begitu tiba-tiba. Dia belum terbiasa dengan kehidupan baru yang kini mereka jalani. Dia belum terbiasa tanpa ada pesan ataupun telepon dari Anjani yang selalu menanyakan kabarnya.
Dia belum terbiasa tanpa mendengar suara Anjani yang begitu lembut dan perhatian.
"Sebenarnya, aku kenapa? Kenapa tiba-tiba aku sangat merindukan Anjani?"
"Kak Aryan, cobalah! Makanan ini aku masak sendiri tadi sore."
Ucapan Luna kembali membuat Aryan jadi tersentak. Lamunannya seketika terputus. Dia mengangguk, lalu memakan makanan yang ada didepannya dengan antusias.
Huwek!
Baru satu suapan dan Aryan langsung memuntahkan makanan itu dari dalam mulutnya. Dengan wajah pucat, dia memegangi perutnya yang langsung bereaksi terhadap makanan buatan sang kekasih.
"Kak Aryan, kamu kenapa?" tanya Luna dengan panik.
"Perutku... Perutku sakit sekali," jawab Aryan.
Tak berselang lama, asisten Aryan langsung datang sambil membawa obat milik Aryan. Dia menghardik Luna dengan penuh emosi.
"Minggir!" ucapnya seraya mendorong Luna ke samping. Tutup obat itu ia buka. Satu pil ia keluarkan kemudian memberikannya ke mulut Aryan dengan cepat.
"Tuan Aryan tidak bisa makan makanan pedas. Apa Nona Luna tidak tahu akan hal ini?" tanya Asisten Aryan dengan marah.
Mata Luna seketika berkaca-kaca. Dia tertunduk dengan sedih.
"Maaf, aku memang tidak tahu," jawab Luna.
"Aneh," timpal asisten Aryan. "Katanya, Anda sudah kenal dengan Tuan Aryan sejak kecil. Jadi bagaimana mungkin, Anda lupa jika Tuan Aryan punya masalah dengan pencernaannya?"
Dan, tubuh Luna seketika menegang. Jelas, dia tidak tahu. Karena, sosok gadis kecil yang dulu Aryan kenal, sama sekali bukan Luna melainkan orang lain.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments